- Masyarakat lokal sekitar wilayah muara Astanajapura tempat berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon yang dulunya lumbung ikan sebagai Jomblang Selar; sebuah tanah ulayat yang sistem pengelolaannya berlapis, kini tak ubahnya 'laut mati'
- Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel) mendata kerugian masyarakat nelayan dari aktivitas pembangunan PLTU Cirebon sangat besar, meliputi hilangnya zona tangkap ikan seluas 140 hektar
- Warga pesisir meyakini bahwa kehadiran PLTU mewujudkan prediksi nenek moyang tentang munculnya 'Pasar Kemis' yang membawa kutukan, menjerat siapa pun yang berhubungan dengannya dengan sakit parah atau bahkan kematian mendadak
- Proyek ekspansi PLTU menghadapi serangkaian kontroversi serius, termasuk skandal suap yang melibatkan pejabat tinggi. Hyundai Engineering & Construction (HDEC) mengakui memberikan suap berkisar antara Rp 6,5 miliar hingga Rp 9,5 miliar kepada Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra untuk meredam penolakan penduduk terhadap konstruksi PLTU II.
Kodori belanja dua bungkus nasi kuning lengkap dengan lauk mie goreng seadanya, di lapak kaki lima yang tidak jauh dari rumahnya di Desa Kanci Kulon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Jabar).
“Hari ini sudah ada (lauk) ikan?” tanya kakek 75 tahun ini kepada penjual nasi kaki lima, tak jauh dari rumahnya.
“Belum ada,” jawab si penjual.
Meski kecewa, Kodori tetap meminta si penjual membungkus dua nasi dengan lauk mi goreng. Setelah itu, dengan menenteng kantong kresek, dia beranjak pulang menyusuri gang sempit di menuju rumahnya. istrinya sudah menunggu.
Sudah bertahun-tahun, Kodori dan warga lain jarang mengonsumsi ikan karena pasokan ikan terus berkurang, terlebih sejak ada PLTU I Cirebon di muara Kecamatan Astanajapura.
Gara-gara pembangkit yang bersumber dari batubara itu pula, Kodori yang semula jadi nelayan, beralih menjadi tukang becak.
“Kalau sekarang menyelam di laut (dekat PLTU), kaki gatal, tangkapannya sudah nggak ada,” katanya.
Dulu, kawasan muara-pesisir yang kini terbangun PLTU itu sebagai kawasan Jomblang Selar, warga yakini sebagai tempat ‘angker’ dan ‘keramat.’
Tidak jauh dari situ, Wariah, nelayan perempuan menyambut Wartani, suaminya, pulang dari melaut membawa tangkapan kerang hijau.
Makin hari, tangkapan makin sedikit. Kondisi itu, Wariah dan keluarga rasakan dalam 10 tahun terakhir, setahun setelah PLTU I beroperasi.
Nelayan pun mengalami sakit kalau melaut, terutama di musim kemarau.
“Kalau musim kemarau pasti gatal-gatal (di laut), kena limbah batubara,” timpa Wartani.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Ikan makin sulit, usaha pun setop
Wariah, selain membantu suaminya, juga berjualan hasil laut, seperti kerang hijau yang dia olah menjadi pepes. Dia juga merintis bisnis terasi dari rebon (udang kecil) yang mempekerjakan para ibu rumah tangga di lingkungan tempat tinggalnya.
Bisnis terasi Wariah, yang dulu bikin 30 kg terasi per hari dan menghasilkan hingga Rp1 juta, kini berhenti beroperasi. Penyebabnya, pasokan udang rebon dari nelayan terus berkurang.
Bahkan terkadang suaminya hanya mendapatkan tangkapan rebon 10 ekor. Kondisi ini mereka kaitkan dengan kehadiran PLTU yang mengurangi hasil tangkapan laut secara keseluruhan.
Usaha terasi tutup. Wariah dan suaminya beralih menjadi petani, berkebun, menanam kacang dan ubi di tanah yang tidak dikelola, tidak jauh dari kawasan PLTU.
“Saya orang miskin, nggak punya apa-apa,” katanya.
Jawaban perusahaan
Pada 5 November 2025, pengelola PLTU Cirebon menanggapi berbagai tudingan terkait operasional perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan dan sosial. Termasuk, aktivitas pembuangan limbah cair yang menyebabkan ekosistem laut rusak dan menurunkan hasil tangkapan nelayan.
Yuda Panjaitan, Head of Communication PLTU Cirebon katakan, perusahaan selalu memenuhi kewajiban sesuai dengan periizinan dan peraturan lingkungan yang berlaku. PLTU, katanya bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada dalam melakukan pemantauan. Sekaligus, melakukan pelaporan lingkungan hidup sesuai dengan persetujuan lingkungan (RKL-RPL).
PLTU Cirebon, kata Yuda, menggunakan teknologi cooling tower untuk mendinginkan air laut yang telah menyerap panas dari kondensor untuk selanjutnya dipergunakan kembali (closed cycle). “Cooling tower membuat PLTU lebih efisien dalam penggunaan air laut dan memastikan air yang kembali ke alam suhunya hampir sama dengan suhu alami air laut.”
Hasil pengukuran suhu oleh Laboratorium Terakreditasi KAN BBSPJPPI Semarang. Suhu air laut di sekitar pembangkit Cirebon 1 dan Cirebon 2 berkisar antara 27 – 31 oC. Jadi, dia klaim tak ada dampak kenaikan suhu air laut dari operasional PLTU. Kondisi inilah yang membuat ekosistem mangrove di sekitar pembangkit Cirebon Power justru berkembang pesat. “Dari yang sebelumnya gersang, kini menjadi green belt yang menjadi rumah bagi bermacam spesies flora dan fauna pesisir.”
Mengenai paparan debu dari cerobong, Yugda katakan, gas buang yang keluar dari cerobong telah lewati beberapa tahapan filtrasi. Ada teknologi electrostatic precipitator, yang berguna menyaring hampir seluruh debu yang mungkin terkandung dalam gas buang.
Dia klaim, sejak beroperasi, emisi pembangkit di PLTU Cirebon selalu berada jauh di bawah ambang batas ketentuan pemerintah. Perusahaan mengoperasikan beberapa air quality monitoring system di dalam pembangkit, dan kawasan permukiman, untuk memastikan kualitas udara tetap terjaga.
Pemantauan emisi tersebut berlangsung secara real time dan tersambung dengan Sistem Informasi Pemantauan Emisi Industri Kontinyu (SISPEK)Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain itu, PLTU juga menggandeng pihak ketiga untuk melakukan pemantauan dan analisa data keluhan penyakit pada unit kesehatan Masyarakat (puskesmas) secara berkala, khususnya keluhan penyakit saluran pernafasan akut (ISPA).
Dari hasil pemantauan, katanya, pemicu penyakit pernapasan, lebih karena kondisi lingkungan dan kebiasaan masyarakat yang sering membakar sampah di tempat terbuka.
Studi ini juga menemukan perilaku masyarakat di desa-desa sekitar PLTU juga sangat mempengaruhi kondisi lingkungan desa-desa itu.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, perusahaan rutin lakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di delapan desa sekitar pembangkit. Pada 2024 saja, layanan ini menjangkau lebih 3.000 warga.
Sejak awal, pembangunan PLTU Cirebon aktif libatkan berbagai kelompok masyarakat lokal.
“Di dalam area PLTU Cirebon 1 tidak terdapat tanah masayarakat adat atau hak ulayat.”
Lahan itu, katanya, punya perorangan berdasarkan hak kepmilikan. Jelombang Selar susngguhnya adalah nama kelompok nelayan Desa Kanci Kulon, yaitu kelompok nelayan Jelombang Selar.
PLTU pun, katanya, banyak bekerjasama dengan mereka, seperti memberikan pendampingan dan penguatan kepada kelompok nelayan ini secara konsisten melalui program CSR. Di antaranya, dengan membantu alat tangkap yang memadai, memberikan asuransi nelayan bila nelayan alami kecelakaan saat bekerja di laut.
Dia berdalih, perusahaan memberikan 3.000 asuransi nelayan setiap tahun untuk puluhan kelompok nelayan di pesisir Cirebon. PLTU juga menginisiasi program budidaya kepiting bakau, berkolaborasi untuk menghijaukan kembali ekosistem pesisir dengan menanam mangrove.

Tanah ulayat
Sebelum PLTU hadir, masyarakat lokal menyebut Muara Astanajapura sebagai kawasan Jomblang Selar. Ia merupakan tanah ulayat dengan sistem pengelolaan berlapis. Mulai dari pemanfaat zona air pasang-surut, hutan pantai hingga persawahan di pesisir darat. Masyarakat turun temurun menggantungkan hidup di sana.
Kini, cerita-cerita itu tinggal bisik yang kian redup. Pesisir yang dulu mereka anggap sakral itu, telah menjulang dua cerobong PLTU yang menjadi penanda baru.
“Dulu, jarak 2-3 mil dari garis pantai sudah cukup untuk penuh muatan perahu,” kenang Hasim, nelayan yang tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan pagar PLTU.
Sekarang, dia mesti mengisi solar lebih banyak untuk menjangkau lautan lepas, boros, dan tangkapan ikan tidak sebanding dengan biaya pengeluaran. Bagi dia, Jomblang Selar kini lebih sering disebut sebagai ‘laut mati’ ketimbang lumbung ikan.
Di kalangan masyarakat pesisir lokal, Jomblang Selar bukan sekadar keramat . Mereka percaya prediksi nenek moyangnya, yang suatu saat titik itu akan berubah menjadi ‘Pasar Kemis’ dengan konotasi negatif.
“Barang siapa yang berhubungan dengan Pasar Kamis akan kena kutukan–mengalami sakit parah atau bahkan mati mendadak.”
Dalam tradisi lisan lokal yang sebagian masih menggunakan bahasa Siloka, mengungkapkan prediksi nenek moyang mereka tentang kondisi sekarang, seperti kemunculan PLTU yang merampas hak masyarakat atas ulayat Jomblang Selar.
Riki Rasi S., aktivis lingkungan yang tergabung dalam Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), menirukan ulang pepatah kuno yang dia dengar sejak lama dari warga.
“Besuk ning akhire zaman, yen pasar Kemis wis dadi, jagat bakal rame. Anak putune ingsun sing gabung karo Pasar Kuen, balik balik bakal tinggal aran, sebab bakal kecampur ning kang arane siluman. Yen jagat wis rame bakal muncul sing arane Satria Kanci atau Ratu Adil sing wani mbela kebeneran lan keadilan.”
Artinya kira-kira, nanti di akhir zaman, Pasar Kemis terwujud–lokasi yang sekarang menjadi kawasan PLTU-, jagat akan ramai. Siapa saja yang menggabungkan diri dalam pasar kemis itu, kelak akan pulang tinggal nama, lantaran ikut menjadi orang yang zalim.
Ketika jagat sudah ramai akan muncul yang namanya Satria Kanci atau Ratu Adil yang berani membela kebenaran dan keadilan.
“Ya benar juga bahwa siapa yang masuk ke PLTU…pulang-pulang namanya jelek, karena pengaruh dari PLTU itu konotasi negatif, …kayak kutukan jadinya.”

Strategi izin baru
Sarjum, Ketua Kelompok Nelayan di Kanci Kulon, memperlihatkan jaring pukat yang sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak gunakan.
“Banyak yang tawar, tapi saya tidak jual. Karena ini sejarah saya.”
Dia menceritakan bagaimana kehidupan keluarganya yang makmur bersumber dari kelimpahan Jomblang Selar, sejak masa kecil.
“Kalau musim hujan (jadi) nelayan, kalau musim kemarau bertani garam.”.
Bagi warga, pembangunan PLTU I yang berlangsung tahun 2008 telah mengubah segalanya. Ganti rugi lahan tak sebanding dengan kerugian yang dialami pemilik lahan tambak garam. Tambak-tambak garam yang dulu disewa warga, banyak pemilik jual, membuat sebagian masyarakat pesisir kehilangan pekerjaan.
Beroperasinya PLTU I memperparah tangkapan nelayan yang semakin hari semakin berkurang. Dugaan kuat, limbah cair panas PLTU yang mengalir melalui pipa ke laut di malam hari menyebabkan ikan berpindah tempat, menjauh bermil-mil ke tempat lain.
Sebelum PLTU I ada, hutan pantai–mangrove di sini kaya akan sumber protein yang bernilai ekonomi. Dulu, Sarjum bisa mendapatkan satu ember penuh kepiting bakau dalam dua jam. Situasi itu berbeda dengan sekarang ini. Alih-alih, untuk mendapatkan satu kepiting saja sulit.
Tangkapan kepiting berkurang karena limbah yang dibuang oleh PLTU. Para nelayan mengaku melihat limbah itu sebabkan banyak hewan laut mati dan mengambang di air, serta membuat air terasa hangat hingga panas dan kadang menyebabkan gatal-gatal.
Sarjum hanya bisa mengenang, dulu, hasil dari penjualan tangkapan kepiting ke pengepul secara intens sangat menopang perekonomian rumah tangganya. Begitu pula dengan nelayan lainnya
Khawatir akan kerusakan lingkungan yang terus meluas, dia bersama warga lainnya mengajukan gugatan pembatalan izin lingkungan atas pendirian PLTU II ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung. Pengadilan mengabulkan gugatan tersebut.
Meskipun PTUN Bandung mencabut Izin Lingkungan PLTU II, pada 19 April 2017, media lokal melaporkan pembangunan tetap berjalan selama Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar mengajukan banding.
Pengelola PLTU, PT. Cirebon Electric Power (CEP) segera memohon izin lingkungan baru kepada Dinas Lingkungan Hidup Jabar. Akhirnya, DPMPTSP menerbitkan izin lingkungan baru pada 17 Juli 2017. Ia berdasarkan jaminan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang tertanggal 29 Mei 2017 yang menyatakan proyek itu tidak bermasalah karena sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13/2017 tentang RTRW Nasional, meskipun melanggar Perda RTRW Cirebon.
Sehari setelah penerbitan izin baru itu, DPMPTSP segera menarik permohonan bandingnya, hingga Japan Bank for International Cooperation (JBIC) merasa mendapat jaminan dari pemerintah bahwa proyek ini aman secara hukum.
Akhirnya, JBIC mencairkan dana untuk termin pertama pada November 2017.
Menurut Sarjum, mendirikan pabrik-pabrik yang dapat menyerap tenaga kerja lokal lebih baik daripada pembangunan PLTU. “Kalau bikin pabrik roti atau sepatu, keluaran SMA bisa masuk bekerja.”

Skandal suap
PLTU Cirebon yang beroperasi di Kanci Kulon, Astanajapura berkapasitas minimum 1.584 megawatt (MW). Pembangkit ini mengoperasikan dua PLTU utama: PLTU I sebesar 660 MW yang menggunakan teknologi supercritical dan telah beroperasi sejak tahun 2012, serta PLTU II sebesar 924 MW yang menggunakan teknologi ultra-supercritical dan mulai beroperasi pada tahun 2023.
Seperti Independent Power Producer (IPP) lainnya di Indonesia, PLTU Cirebon menjual listrik produksinya kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dengan harga tarif feed-in yang telah disepakati. Sementara rencana ekspansi PLTU III 1.000 MW batal.
CEP merupakan perusahaan patungan yang melibatkan kepemilikan dari empat perusahaan, yaitu Marubeni Corporation (32,5%), Korea Electric Power Corp (27,5%), PT Indika Energy Tbk (20,0%), dan Samchully Co Ltd (20%).
Dalam pelaksanaannya, ekspansi PLTU Cirebon II menghadapi serangkaian kontroversi, termasuk skandal suap dan tantangan hukum.
Global Energy Monitor (GEM) dalam laporannya mengenai Cirebon Power Station mengungkap ada praktik lancung itu. Dalam laporannya, skandal itu melibatkan tokoh-tokoh kunci dan memicu penyelidikan serta tuntutan hukum baik di Indonesia maupun Korea Selatan.
Skandal suap PLTU II bermula dari Hyundai Engineering & Construction (HDEC) yang mengakui pembayaran ilegal pada Mei 2019, antara Rp6,5-Rp9,5 miliar kepada Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. HDEC memberikan dana ini untuk meredam penolakan penduduk terhadap konstruksi PLTU II.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas melarang tiga tersangka tambahan (yang tidak disebutkan) dalam kasus ini bepergian ke luar negeri selama tiga tahun. Pengadilan Indonesia kemudian menetapkan vonis bersalah terhadap pejabat tinggi yang menerima suap itu.
Pada Agustus 2023, pengadilan memvonis mantan Bupati Sunjaya Purwadisastra bersalah atas kasus suap dan pencucian uang, termasuk suap yang berkaitan dengan perluasan PLTU II. Mahkamah Agung menguatkan vonis ini Agustus 2024.
Menyusul putusan itu, Walhi dan organisasi masyarakat sipil lainnya menuntut JBIC segera menangguhkan pinjaman proyek dan meminta prabayar wajib atas pinjaman PLTU II.
Kasus ini terus berjalan dan menarik perhatian internasional, terutama dari Korea Selatan.
Pada Desember 2022, otoritas Indonesia mengumumkan penangkapan mantan broker HDEC atas dugaan keterlibatannya. Kemudian, pada Mei 2025, jaksa Korea Selatan berhasil melobi KPK Indonesia agar mengaktifkan kembali penyelidikan terhadap dugaan pembayaran suap US$368.493 oleh seorang pejabat HDEC kepada mantan Bupati Sunjaya Purwadisastra.
Penyidik KPK bahkan telah mewawancarai Herry Jung, yang saat itu menjabat manajer umum HDEC dan menetapkannya sebagai tersangka pada tahun 2019. Meskipun demikian, otoritas Korea Selatan menghentikan kasus suap internasional ini terhadap Hyundai.
Pada Agustus 2025, Kantor Kejaksaan Distrik Pusat Seoul mengumumkan bahwa mereka menghentikan penyelidikan terhadap Hyundai dibawah International Anti-Bribery Act . Kejaksaan membenarkan bahwa karyawan perusahaan itu membayar suap 550 juta won (US$395.000) kepada pejabat militer, yang meminta dana itu 1,7 miliar won (US$1,22 juta) untuk menekan protes dari penduduk dan kelompok masyarakat sipil.
Kejaksaan Seoul menyatakan, kesulitan menetapkan “niat memperoleh keuntungan yang tidak semestinya,” karena perusahaan berargumen mereka tidak punya pilihan selain membayar suap demi menjamin keselamatan stafnya.

Berbagai dampak
Berbagai laporan juga ungkap berbagai dampai buruk operasi PLTU Cirebon. Terutama bagi kesehatan dan komunitas masyarakat di sekitarnya. Tiga desa terdekat melaporkan peningkatan drastis kasus penyakit pernapasan akibat abu dan asap pembakaran batubara yang mencemari area permukiman.
Untuk mengatasi dampak itu, Pemerintah Indonesia dan Asian Development Bank (ADB) mengumumkan kesepakatan untuk memensiunkan PLTU 1 lebih awal pada akhir tahun 2035.
Kesepakatan ini mengakhiri Perjanjian Pembelian Daya (PPA) PLTU I tujuh tahun lebih cepat dari jadwal semula melalui kerangka Energy Transition Mechanism (ETM).
Meskipun rencana pensiun dini PLTU I telah diumumkan, penolakan masyarakat terhadap proyek tersebut masih berlanjut. Pada November 2024, penduduk dari lima komunitas sekitar mengadakan demonstrasi menuntut kompensasi atas tanah mereka yang kini diduduki oleh PLTU II.
Cerita tentang kutukan tanah keramat di lokasi PLTU sudah menjadi buah bibir warga lokal, mulai dari para calo tanah yang tidak berumur panjang meninggal akibat; kecelakaan, sakit atau mati mendadak. Adapun yang hidup, semuanya sakit parah.
Menurut Riki, Jomblang Selar bukan sekadar mitos, tetapi kenyataan pahit tentang ruang hidup yang terebut proyek energi terbarukan.
Rapel mendata kerugian yang dialami masyarakat nelayan jauh lebih besar dari sekadar kehilangan lahan. Zona tangkap ikan seluas 140 hektar, yang dulu menghasilkan hingga Rp600.000 per hari per rumah tangga, hancur.
Dia bersama warga lain berharap semua PLTU Cirebon ditutup, dibongkar, kemudian rehabilitasi lahan untuk mengembalikan ‘fungsi’ Jomblang Selar.
Catatan: Artikel ini telah disunting ulang dengan menambahkan keterangan dari pihak PLTU Cirebon pada Jumat, 07 November 2025.
*****