- Banyak keluhan masyarakat menderita penyakit pernapasan, terutama anak-anak yang tinggal di dekat PLTU Teluk Sepang. Dari flu, batuk-batuk sampai menderita sakit paru-paru. Ada juga yang menderita gatal-gatal tak berkesudahan.
- Asap hitam yang mengepul dari cerobong raksasa PLTU maupun debu batubara diduga jadi penyebab pencemaran. Partikel-partikel halus yang mengandung berbagai polutan berterbangan di udara dengan mudah masuk ke paru-paru mungil anak-anak, memicu peradangan dan iritasi. Air juga diduga tercemar limbah cair.
- Sejak awal warga khawatir dan protes proyek PLTU ini. Muncul juga pro kontra di tengah masyarakat hingga kehidupan sosial berubah. Warga penolak mendapat pengucilan secara social maupun intimidasi.
- Ali Akbar, Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau, menyoroti persoalan sentralisasi energi dan impunitas terhadap PLTU. PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB), pelaksana PLTU Teluk Sepang, sudah mendapatkan proper merah tiga kali, tetapi tidak ada sanksi tegas.
Rumah itu berdinding papan cat merah muda dan hijau terlihat kusam. Seorang anak perempuan meringkuk di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar hebat dengan batuk tak kunjung usai. Mata merah dan berair. Papas pendek, tersengal. Ibunya, Yesi Sepriani, cemas dan memeluk erat, sesekali mengusap dahi anaknya yang panas.
Helda Fitriani, begitu nama anak perempuan murid kelas 3 SD ini. Sejak PLTU batubara raksasa di Bengkulu ini berdiri tak jauh dari rumahnya, Helda tak lagi mengenal udara segar. Batuk menjadi keseharian, mengganggu tidur, merampas keceriaan, dan menghambat untuk bermain.
“Batuknya itu nggak berhenti-henti sudah 10 hari ini. Kasihan saya lihatnya,” kata Yesi.
Dia sudah mencoba berbagai obat, dari beli di warung sampai apotik tetapi batuk tetap saja muncul.
Helda bukan satu-satunya. Di Teluk Sepang, batuk menjadi “penyakit langganan” anak-anak. Puskesmas Pembantu (PUSTU) kewalahan menangani lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Mimi Elzakiah, petugas PUSTU sudah tujuh tahun mengabdi di Teluk Sepang, dengan mata lelah membenarkan.
“ISPA ini hampir semua anak pernah kena. Kadang sembuh, lalu kambuh lagi,” katanya.
Data rekap laporan Puskesmas Pembantu (Pustu) periode Oktober 2024, ada 53 pasien melakukan pengobatan ISPA. Meliputi, usia bayi 0-11 bulan tiga laki-laki, dan dua perempuan. Usia 1-4 tahun ada lima laki-laki dan tujuh perempuan. Usai lebih lima tahun ada 16 laki-laki dan 20 perempuan.
Sedangkan periode Desember, untuk bayi 0-11 bulan ada delapan, laki-laki, dan perempuan masing-masing empat. Anak 1-4 tahun ada sembilan laki-laki dan 11 perempuan. Anak lebih lima tahun ada 14 laki-laki dan 26 perempuan.
Asap hitam yang mengepul dari cerobong raksasa PLTU maupun debu batubara diduga jadi penyebab utama pencemaran. Partikel-partikel halus yang mengandung berbagai polutan berterbangan di udara dengan mudah masuk ke paru-paru mungil anak-anak, memicu peradangan dan iritasi.
Penyakit kulit juga momok anak-anak Teluk Sepang. Gaska, anak laki-laki teman sekelas Helda di Kecamatan Kampung Melayu, Bengkulu. Tubuh Gaska penuh bintik merah dan bentol-bentol, memicu gatal-gatal.
Di ruang kelas yang pengap, Gaska seringkali tak bisa fokus belajar karena sibuk menggaruk kulit. Malam hari pun jadi siksaan, karena gatal makin menjadi-jadi dan mengganggu tidur.
“Dulu, waktu masih tinggal di Simpang Kandis, Gaska itu sehat sekali. Nggak pernah kena penyakit kulit seperti ini,” kenang Eva Pripesa, ibu Gaska, pelan.
Lagi-lagi, PLTU kuat sebagai penyebab. Limbah cair ke laut diduga mencemari air yang anak-anak gunakan untuk mandi dan bermain. Abu terbang yang mengendap di tanah dan beterbangan di udara juga memperparah kondisi kulit mereka.
“Kasihan kalau sudah kambuh gatalnya. Digaruk sampai luka,” ujar Eva, sembari menunjukkan bekas garukan di lengan Gaska.
Dia khawatir, penyakit kulit ini akan berdampak buruk pada perkembangan psikologis anaknya. Dia khawatir anaknya minder, malu, dan kehilangan kepercayaan diri.

Nayumi, tetangga Eva, duduk termangu. Suara serak, tercekat di antara batuk-batuk kecil. Tubuh kurus, nyaris hanya tulang berbalut kulit, kontras dengan tatapan mata yang menyimpan kesedihan mendalam.
Asap PLTU batubara Teluk Sepang yang mengepul di kejauhan menjadi saksi bisu perjuangan Nayumi melawan penyakit paru kronis yang menggerogotinya selama lima tahun terakhir.
Penyakit itu bermula dari batuk pilek biasa, namun tak kunjung reda, hingga hasil rontgen di rumah sakit menghantam kenyataan pahit: lebih dari separuh paru-parunya penuh lendir dan air.
Ironisnya, petaka ini kuat dugaan berawal dari pekerjaannya dulu, membentangkan terpal di area stockpile batubara yang saban hari menebarkan debu halus ke paru-parunya. Kini, setiap tarikan napas adalah perjuangan, dan masa depannya tampak suram di tengah pekatnya polusi.
“Saya hanya bergantung dengan obat-obatan ini untuk bisa bernapas setiap harinya,” katanya.
Dia memperlihatkan antibiotic Azithromycin dan Acetylcysteine atau asetilsistein adalah obat untuk mengencerkan dahak pada beberapa kondisi, seperti asma, emfisema, bronkitis, atau cystic fibrosis.
Nayumi bilang, tidak hanya dia yang menderita paru kronik di Teluk Sepang, ada beberapa warga lain juga mengalami nasib serupa. Dia bercerita, tak pernah ada bantuan dari pihak manapun, termasuk pengecekan gratis bagi warga dan pekerja stockpile.
“Pekerjaan itu susah mau dibilang, itu hanya pekerjaan bagi orang putus asa, yang dak punya pilihan lain lagi. Kami kehilangan mata pencaharian di sini.”
PLTU Teluk Sepang dengan kapasitas 2×100 MW resmi pada 25 Oktober 2016 ditandai peletakan batu pertama oleh Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti. Ia berada di Teluk Sepang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pembangunan PLTU oleh investor asal Hong Kong, Sinohydro Hong Kong Limited selama 36 bulan dengan system build operate transfer (BOT) selama 25 tahun.
Pembangkit batubara ini bagian dari proyek 35.000 MW Presiden Joko Widodo, dengan dana dari Tiongkok, Power China, bekerja sama dengan PT Intraco Penta Tbk (INTA).
Pengelola PLTU PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) dengan kepemilikan saham, 70% Power China dan 30% INTA.
Produksi listrik sekitar 1.400 GWh per tahun pemerintah canangkan untuk memenuhi kebutuhan di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), termasuk Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Perlawanan yang terbungkam
Sejak awal warga khawatir dan protes proyek PLTU ini. Muncul juga pro kontra di tengah masyarakat hingga kehidupan sosial berubah. Warga penolak mendapat pengucilan secara social maupun intimidasi.
Posko Lentera, jadi pusat perlawanan warga, walau mengalami kemunduran. Jumlah relawan aktif menyusut drastis, dari 25 orang jadi kurang dari 10.
Yesi Sepriani, satu-satunya perempuan tersisa di posko, bahkan harus menghadapi pengucilan sosial dan pencabutan beasiswa anaknya.
Hariyanto, Ketua Posko Lentera bercerita, mengalami pengucilan dari aktivitas sosial dan pemerintahan di kelurahan. Selama satu tahun, dia tidak diakui dalam kegiatan masyarakat dan sering diikuti orang-orang tak dikenal setelah aksi demonstrasi.
Keterbatasan lapangan pekerjaan juga membuat warga makin rentan. Suci dan Leni, pekerja di stockpile PLTU, terpaksa menerima kondisi kerja tak manusiawi, tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
“Yang penting bisa makan,” kata Suci, pasrah.
Mereka hanya menerima upah Rp5.000 untuk setiap lembar terpal bak mobil truk pengangkut batubara. Mereka bergiliran, ada sekitar 90 orang sebagai pembuka terpal.
Untuk mendapatkan uang Rp50.000 per hari mereka harus bekerja hingga larut malam. Sekitar 90% pembuka terpal truk pengangkut batubara di stockpile adalah perempuan.
Warga Teluk Sepang, terutama para ibu, tak ingin menyerah begitu saja. Mereka terus berjuang, meski dengan tekanan ekonomi, dan kemiskinan.
“Kami ingin anak-anak kami sehat. Kami ingin masa depan lebih baik untuk mereka,” kata Eva.
Mereka mendesak, pemerintah dan TLB bertanggung jawab. Mereka menuntut kompensasi adil, pemulihan lingkungan, dan jaminan kesehatan bagi anak-anak mereka.
“Mereka harus bertanggung jawab terhadap kesehatan, kesejahteraan kami setelah mengambilnya secara paksa” kata Yesi .
Menurut Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) yang melakukan penelitian di Teluk Sepang, dalam kasus PLTU di Teluk Sepang, terjadi reprisal (tindakan pembalasan) terhadap masyarakat atau aktivis lokal di sekitar PLTU , yang protes atau berkampanye melindungi lingkungan mereka.
Reprisal itu bentuk kekerasan, intimidasi, pelecehan, pengabaian hukum, kampanye kotor, dan kriminalisasi. ”Mereka berusaha membungkam aktivisme masyarakat lokal yang menolak dan menekan upaya mereka mempertahankan lingkungan. Masyarakat dibuat takut dan pasrah takut.”
Nukila bilang, modus reprisal lain adalah persekongkolan untuk menghambat akses bantuan sosial, pelatihan atau kesempatan kerja bagi masyarakat lokal.
“Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas untuk menghentikan operasional PLTU batubara. Kompensasi adil bagi masyarakat terdampak dan pemulihan lingkungan harus menjadi prioritas utama,” katanya.
Dia juga menyoroti pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait energi dan lingkungan.

Penolakan sejak lama
Penolakan warga sejak 2015. Mereka membentuk posko-posko sebagai corong bersuara. Mulai dengan kehadiran Posko Langit Biru yang bubar karena tekanan di internal pengurus. Anggota tersisa yang masih berkomitmen berjuang menolak TLB bersepakat mendirikan kembali posko perjuangan dengan nama Posko Lentera di 2019.
Posko Lentera mendampatkan pendampingan dari Yayasan Kanopi Hijau Indonesia. Mereka melakukan berbagai upaya menolak PLTU, berpuluh kali orasi, dan menyurati pemerintah daerah, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka juga sudah ajukan gugatan.
Ketika Mongabay konfirmasi, Soraya, Manajer Humas TLB mengatakan, telah memenuhi regulasi lingkungan selama proses konstruksi dan operasional. Dia juga klaim, PLTU gunakan batubara dengan kadar sulfur rendah (≤0,8%).
Pembakaran batubara, katanya, diberi lime stone untuk mengurangi Sox. Sistem gas buang PLTU dilengkapi electro static precipitator (ESP) dan cCerobong dibangun dengan ketinggian minimal 2-2,5 kali ban.
Mereka juga berikan dana tanggung jawab social (corporate social responsibility/CSR) untuk membantu pendidikan, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Dia bilang, TLB sudah memberikan bantuan untuk SDN 83 Teluk Sepang, panti asuhan, masjid , kegiatan sosial masyarakat serta membantu 1.000 bibit untuk penanaman pohon bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bengkulu.
Ali Akbar, Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau, menyoroti persoalan sentralisasi energi dan impunitas terhadap PLTU.
“PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) ini, meskipun sudah mendapatkan proper merah sebanyak tiga kali, tidak ada sanksi tegas. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan perlu dipertanyakan pertanggungjawaban dari berbagai pihak,” katanya.
Kondisi ini mencerminkan sentralisasi energi yang tidak berpihak pada keadilan lingkungan dan sosial.
Kanopi Hijau, kata Ali, tegas menyatakan solusi satu-satunya adalah menghentikan operasional PLTU batubara dan segera beralih ke energi bersih.
“PLTU batubara ini terbukti merugikan masyarakat dan lingkungan. Transisi ke energi terbarukan adalah pilihan yang tidak bisa ditunda lagi. Suntik mati PLTU sekarang juga.” (Bersambung)

*****
PLTU Teluk Sepang, Sudah 19 Penyu Mati di Sekitar Pembuangan Limbah [Bagian 2]