- Senyulong tidak seperti buaya yang umum kita kenal dengan moncong lebar, namun juga bukan gharial yang bermoncong runcing dan panjang. Moncongnya memang mirip gharial yang runcing, namun dengan pangkal yang melebar mirip buaya.
- Para konservasionis sempat keliru mengklasifikasikan senyulong yang memiliki nama ilmiah Tomistoma schlegelii ini. Ia sempat berpindah keluarga 'angkat', sebelum akhirnya menemukan keluarga 'kandung' sampai sekarang berkat kemajuan analisis genetika.
- Untuk mendeteksi keberadaan senyulong peneliti memanfaatkan lampu sorot di malam hari atau yang dikenal sebagai metode spotlight survey. Mereka bisa mengetahui keberadaan buaya dari pantulan sorot mata satwa ini.
- Habitat senyulong kian menyusut dan terfragmentasi, begitupun populasinya. Sebelum 1950, diperkirakan habitat senyulong meliputi Kalimantan, Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaysia, dan kemungkinan hingga daratan Asia. Namun kini, diperkirakan tinggal di Sumatera, Kalimantan, dan Semanjung Malaysia.
Senyulong buaya istimewa. Ia tidak seperti buaya yang umum kita kenal dengan moncong lebar, namun juga bukan gharial yang bermoncong runcing dan panjang. Gara-gara ini, senyulong mendapatkan nama yang kurang enak didengar, False Gharial alias gharial palsu. Moncongnya memang mirip gharial yang runcing, namun dengan pangkal yang melebar mirip buaya.
Bagi orang awam, semua reptil berkaki empat dengan ekor kuat, tubuh besar, berkulit keras, moncong panjang dengan gigi tajam, dan hidup di dua alam itu dianggap buaya. Sebenarnya, secara taksonomi reptil yang disangka buaya itu punya tiga keluarga. Yaitu, Crocodylidae (buaya sejati), Alligatoridae (aligator dan caiman), serta Gavialidae (gharial dan senyulong).
Para konservasionis sempat keliru mengklasifikasikan senyulong yang memiliki nama ilmiah Tomistoma schlegelii ini. Ia sempat berpindah keluarga ‘angkat’, sebelum akhirnya menemukan keluarga ‘kandung’ sampai sekarang berkat kemajuan analisis genetika.
“Setahu saya, ia merupakan satu-satunya buaya yang sempat berpindah penempatan keluarganya. Dari pertama kali dideskripsi, buaya ini dimasukkan dalam keluarga Crocodylidae karena morfologinya. Namun pada 2007, dengan mulai berkembangnya analisa molekular, ditemukan bukti bahwa spesies ini lebih dekat dengan keluarga Gavialidae dan ditetapkan seperti itu sejak 2018 oleh Crocodile Specialist Group,” ungkap Herdhanu Jayanto kepada Mongabay, Sabtu, (1/11/2025). Dia adalah ilmuwan konservasi dan manajer program Yayasan Konklusi, yang fokus pada spesies terancam punah dan terabaikan seperti senyulong.

Selain perjalanan sejarah taksonominya yang menarik, senyulong juga memiliki reputasi unik di dalam keluarga buaya. Senyulong cenderung menghindari kontak dengan manusia. Bersembunyi di rawa gambut, sungai pedalaman, atau hutan banjir di Sumatera dan Kalimantan.
“Tomistoma dikenal sebagai pemalu, merupakan hasil informasi anekdotal kolektif dari banyak nelayan maupun peneliti, yang berinteraksi dengan spesies tersebut di Sumatera hingga Kalimantan. Pemalu didefinisikan dari perilakunya yang cenderung menghindar manusia dan cenderung tidak lebih agresif dibandingkan buaya jenis lain di Indonesia, yang terkenal lebih agresif yaitu buaya muara,” papar Dhanu lagi.
Umumnya, untuk mendeteksi keberadaan senyulong peneliti memanfaatkan lampu sorot di malam hari atau yang dikenal sebagai metode spotlight survey. Mereka bisa mengetahui keberadaan buaya dari pantulan sorot mata satwa ini. Karena perangai pemalunya, para peneliti menggunakan cara survei dan perhintungan tertentu. Sehingga, kendala deteksi yang tidak sempurna tetap bisa diatasi dan menghasilkan data populasi lebih akurat.

Jenis sulit diamati
Kyle Shaney, penulis utama penilaian Daftar Merah IUCN untuk senyulong yang dirilis 2025, menggambarkan beratnya proses survei satwa ini. Survei senyulong bukanlah pekerjaan ringan, yang bisa dilakukan dengan santai di malam bulan purnama sambil menyusuri sungai terbuka dengan perahu atau sampan. Spesies ini sangat cryptic atau sulit diamati.
Dalam paparannya di podcast yang dipandu Sally Isberg, dari IUCN SSC Crocodile Specialist Group, Shaney mengatakan beratnya medan dan sifat satwa ini kerap menjadi kendala pemantauan.
“Ada tempat kami harus mengangkut sampan selama dua atau tiga hari melalui saluran lumpur kecil untuk mencapai lokasi penelitian. Begitu sampai, mereka satwa cryptic yang tidak mau ditemukan. Sulit untuk masuk dan mempelajari ekologi mereka. Itulah yang membuat mereka begitu menarik,” ungkapnya.
Dia menyusuri Sungai Air Hitam Taman di Nasional Berbak-Sembilang, Jambi, pada 2015, sebelum berjumpa dengan kawanan senyulong. Taman Nasional Berbak-Sembilang memiliki ekosistem khas, yaitu kombinasi hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut.

Sementara pada 2022, Herdhanu dan tim harus menempuh perjalanan 10 jam untuk sampai hulu Sungai Air Hitam yang airnya memang sehitam minuman teh itu. Kali ini lebih cepat dibanding Shaney. Target mereka adalah memasang alat GPS pada beberapa ekor senyulong. Mereka berhasil menangkap total sembilan ekor senyulong dengan perangkap tradisional. Panjang senyulong pada rentang 3,9 – 4,7 meter.
Dhanu menjelaskan keuntungan memasang GPS pada senyulong. Dengan alat itu, kita dapat menerima data spasial dan temporal pergerakan satwa yang dikirim melalui satelit. Beberapa perangkat GPS lain juga dilengkapi sensor biologger untuk mengukur suhu, kedalaman air, sensor kering atau basah. Data-data tersebut sangat berharga untuk memahami bagaimana suatu individu atau spesies menggunakan waktu dan habitatnya.
Misalnya, kita bisa mengetahui luas ruang jelajah (home range), hubungan dinamika sumber-lubuk (source-sink), dan refugia. Informasi ruang jelajah ini membantu kita melakukan prioritas intervensi landscape. Misalnya, besaran dan konektivitas yang diperlukan untuk area High Conservation Value (HCV), karena adanya senyulong, sebagai satwa dilindungi yang perlu dikelola.
“Informasi ini juga bermanfaat untuk melakukan pencegahan, maupun mitigasi konflik manusia dan satwa,” ungkap Dhanu. Saat satwa ini masuk ke kawasan padat penduduk, petugas dapat segera mengambil tindakan cepat.
“Satu buaya kami, memberikan insight ruang jelajah dari data 2022 hingga 2025 mencapai 380,4 hektar dengan estimasi menggunakan metode Kernel Density 95 persen. Buaya lainnya, teramati melakukan perpindahan sejauh 8,7 kilometer dari lokasi tangkapnya,” jelas Dhanu, saat ditanya berapa ruang jelajah senyulong. Angka itu masih di bawah yang dicapai buaya muara (Crocodylus porosus).
Masih banyak misteri dan hal yang belum diketahui tentang ekologi spesies ini, termasuk adaptasinya. Sejauh ini, menurutnya, studi ruang jelajah yang mereka lakukan adalah satu-satunya untuk senyulong dewasa jantan dan betina.
“Kami terus berkomitmen melakukan studi ekologi buaya ini. Selain di Taman Nasional Berbak-Sembilang, kami juga akan melakukan pemasangan GPS dan radiotelemetry di sungai yang melintasi wilayah konsensi perkebunan di Kalimantan Tengah. Kami berharap studi ini bisa mendorong konservasi buaya senyulong yang efektif,” ungkap Dhanu.

Serangan meningkat
Mengutip data Global Forest Watch, dari 2002 hingga 2024 Indonesia telah kehilangan 11 juta hektar hutan primer basah, yang menyumbang 34 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Sementara lima wilayah teratas yang bertanggung jawab atas 58 persen dari semua kehilangan tutupan pohon adalah Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur.
Habitat senyulong kian menyusut dan terfragmentasi, begitupun populasinya. Sebelum 1950, diperkirakan habitat senyulong meliputi Kalimantan, Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaysia, dan kemungkinan hingga daratan Asia. Namun kini, diperkirakan tinggal di Sumatera, Kalimantan, dan Semanjung Malaysia. Sementara populasinya, diperkirakan kurang dari 24 ribu ekor. Jika pada 2014 statusnya dinyatakan Rentan, pada 2024 dinyatakan Genting.
Menurut Herdhanu, senyulong sebenarnya cukup resiliens terhadap perubahan habitat. Mereka dilaporkan berada di habitat sawit, bahkan membuat sarang. Mereka juga mampu hidup di habitat sekunder yang sudah terdegradasi. Namun, apakah mereka hanya bertahan hidup atau sudah beradaptasi, masih menjadi pertanyaan.
“Yang kami ketahui kini, bahkan tren serangan dan konflik yang melibatkan Tomistoma semakin meningkat, khususnya, saat manusia terus masuk ke habitat mereka. Deforestasi di satu sisi, berkurangnya ketersediaan mangsa atau defaunasi di sisi lain terus terjadi.”

Sebuah laporan menyebut bahwa konflik buaya dan manusia di Indonesia adalah yang terparah di dunia, pada periode 2014 hingga 2023. Serangan terutama berasal dari buaya muara. Namun terdapat satu laporan kematian akibat serangan buaya senyulong.
Dalam podcast itu, Shaney berpendapat, serangan menjadi alarm bahwa tekanan habitat semakin mendorong senyulong keluar dari zona nyaman mereka untuk mendekati manusia. Senyulong dengan moncong uniknya itu sigap memangsa ikan, juga burung, meski binatang yang lebih besar seperti babi hutan bisa menjadi makanannya. Dalam kondisi habitat terganggu, mereka terpaksa mencari mangsa alternatif, yang membawa mereka semakin dekat ke area permukiman atau pemancingan.
Senyulong mungkin bukan sedang menyerang, namun bertahan.
*****