- Penelitian lapangan dan dokumentasi foto di Brasil menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu, betina anaconda hijau dapat memangsa pejantan setelah kawin, sebuah perilaku langka namun nyata di alam liar.
- Fenomena ini dipicu oleh dimorfisme seksual ekstrem, kebutuhan energi besar selama kehamilan tujuh bulan, dan peluang yang muncul dalam formasi breeding ball yang intens dan berkepanjangan.
- Kasus Brasil 2012 menjadi bukti visual pertama perilaku ini, sekaligus menegaskan pentingnya memahami strategi reproduksi ekstrem untuk mendukung upaya konservasi predator puncak di ekosistem rawa Amazon
Di sistem sungai dan rawa yang membentang di Amazon hingga Orinoco, anaconda hijau (Eunectes murinus) berdiri sebagai predator puncak. Dengan panjang tubuh yang dapat melampaui tujuh meter dan bobot mencapai ratusan kilogram, ular ini memiliki kekuatan untuk menaklukkan berbagai hewan besar, mulai dari kapibara hingga kaiman. Namun, riset lapangan mengungkapkan sebuah fakta yang jarang sekali teramati namun nyata: dalam kondisi tertentu, betina anaconda memakan pejantan setelah kawin.
Fenomena ini bukan cerita rakyat atau mitos belaka. Sejumlah penelitian telah mencatat perilaku ini sebagai bagian dari strategi reproduksi yang ekstrem. Salah satu dokumentasi ilmiah terpenting berasal dari penelitian jangka panjang oleh Jesús A. Rivas dan R. Y. Owens di Venezuela. Dalam publikasi di Herpetological Review, mereka melaporkan beberapa insiden kanibalisme seksual yang terjadi selama atau segera setelah musim kawin. Perilaku tersebut sulit diamati secara langsung karena anaconda hidup di habitat berlumpur dan terpencil, namun catatan ilmiah serta bukti visual dari Brasil membuktikan bahwa fenomena ini benar-benar terjadi di alam liar.
Proses Kawin yang Intens dan Berisiko
Musim kawin anaconda merupakan salah satu peristiwa paling dramatis di ekosistem rawa dan sungai Amazon. Pada periode ini, betina yang siap bereproduksi melepaskan feromon ke air dan udara sekitarnya, menciptakan jejak kimia yang dapat terdeteksi pejantan dari jarak beberapa kilometer. Rangsangan ini memicu kedatangan pejantan dari berbagai arah, terkadang dalam jumlah yang mencengangkan. Ketika mereka tiba, terbentuklah formasi yang dikenal sebagai breeding ball, satu betina berada di pusat lilitan, sementara beberapa pejantan, bisa mencapai 7 hingga 13 ekor, bersaing ketat untuk mendapatkan posisi terbaik demi membuahi.
Persaingan di dalam breeding ball tidak sekadar berlangsung dalam hitungan jam, tetapi bisa berhari-hari hingga berminggu-minggu. Data lapangan dari Jesús A. Rivas di Venezuela menunjukkan bahwa rata-rata durasi breeding ball sekitar 18 hari, dengan kasus terpanjang mencapai 46 hari. Selama waktu itu, pejantan hampir tidak makan dan menghabiskan energi secara terus-menerus untuk mempertahankan posisi di sekitar betina. Lingkungan tempat terjadinya peristiwa ini biasanya berupa perairan dangkal, keruh, dan berlumpur, sering kali di antara vegetasi rapat seperti rerumputan air atau akar tumbuhan rawa, yang membatasi pergerakan semua ular di dalamnya.

Kondisi ini menempatkan pejantan pada titik kelelahan fisik yang ekstrem, sementara betina yang jauh lebih besar memiliki keunggulan dalam kekuatan dan kendali tubuh. Rivas mencatat bahwa interaksi fisik yang terus-menerus, kontak tubuh yang sangat dekat, dan ruang gerak yang terbatas menciptakan peluang unik bagi betina untuk beralih dari perilaku reseptif kawin menjadi perilaku predasi. Dalam situasi tertentu, terutama setelah proses pembuahan selesai, betina dapat menggunakan kekuatan lilitannya untuk menaklukkan pejantan, memanfaatkan momen ketika sang jantan tidak lagi waspada atau terlalu lemah untuk melawan.
Lingkungan rawa juga berperan penting dalam meningkatkan risiko ini. Air keruh mengaburkan pandangan, substrat berlumpur mengurangi kemampuan bergerak cepat, dan kepadatan tubuh ular dalam breeding ball menciptakan kondisi fisik yang “terperangkap” bagi pejantan. Kombinasi semua faktor ini membuat breeding ball bukan hanya arena persaingan reproduksi, tetapi juga potensi medan berburu yang efektif bagi betina.
Mengapa Hal Ini Terjadi?
Fenomena kanibalisme seksual pada anaconda hijau diyakini berkaitan erat dengan dimorfisme seksual ekstrem. Betina dapat mencapai panjang 5–7 meter dengan bobot lebih dari 100 kilogram, sedangkan jantan jarang melebihi 4 meter dan biasanya berbobot sekitar 30 kilogram. Perbedaan ini memberi keunggulan mekanis mutlak bagi betina untuk mengendalikan dan menaklukkan pejantan. Dalam catatan Rivas & Owens, seluruh kasus kanibalisme yang jenis kelaminnya teridentifikasi menunjukkan pola yang konsisten: betina sebagai pelaku dan pejantan sebagai korban.
Selain itu, kebutuhan energi selama masa kehamilan yang berlangsung hingga tujuh bulan menjadi alasan kuat terjadinya perilaku ini. Selama periode tersebut, betina umumnya tidak makan sama sekali. Untuk mempertahankan kondisi tubuh dan memastikan perkembangan embrio berjalan optimal, betina mengandalkan cadangan nutrisi sebelum masa gestasi.

“Sekitar 30 persen dari berat tubuh betina digunakan untuk membentuk anak-anaknya. Mendapatkan tambahan tujuh atau delapan kilogram daging sebelum memasuki tahap itu bukanlah ide yang buruk,” ujar Jesús A. Rivas.
Kutipan ini memperjelas bahwa perilaku kanibalisme bukan sekadar tindakan agresif, melainkan strategi adaptif untuk menjamin energi yang cukup selama masa kehamilan yang panjang.
Faktor terakhir adalah konteks ekologi selama musim kawin. Breeding ball menciptakan situasi di mana pejantan berada sangat dekat dengan betina dalam waktu lama, sering kali dalam keadaan lelah dan kurang waspada. Rivas mencatat bahwa formasi ini dapat melibatkan hingga 13 pejantan dan berlangsung lebih dari dua minggu. Lingkungan perairan yang dangkal dan berlumpur, serta terbatasnya ruang gerak, memberi keuntungan strategis bagi betina untuk melakukan serangan ketika kesempatan muncul.
Kronologi Kasus di Brasil dan Dokumentasi Foto Pertama
Pada 2012, fotografer satwa liar Luciano Candisani dari Brasil berhasil mengabadikan momen yang sangat jarang terlihat di alam liar: seekor betina anaconda hijau raksasa di Sungai Formoso, dekat Bonito City, Mato Grosso do Sul, membelit erat seekor pejantan yang lebih kecil. Candisani menggambarkan tubuh betina itu “setebal ban truk” dengan panjang yang mengesankan. Ia memotret dari jarak sekitar satu meter menggunakan peralatan selam, mengamati interaksi tersebut selama beberapa jam di perairan yang jernih namun penuh vegetasi bawah air.
Proses pembelitannya terjadi di area tepian sungai yang dangkal, di mana vegetasi air seperti Eichhornia crassipes (eceng gondok) dan akar pohon menciptakan ruang terbatas bagi korban untuk melarikan diri. Candisani mencatat bahwa setelah lilitan mengencang, betina menyeret tubuh pejantan ke area berumput yang lebih tertutup di tepi sungai. Meskipun ia tidak dapat memastikan apakah pejantan tersebut akhirnya ditelan seluruhnya—karena anaconda sering kali memakan mangsanya jauh dari pandangan—rangkaian foto ini menjadi dokumentasi visual pertama yang memvalidasi laporan kanibalisme seksual pada anaconda di alam liar.
Menurut Jesús A. Rivas, kasus ini merupakan laporan keempat yang pernah tercatat secara ilmiah di dunia, sekaligus yang pertama diabadikan dengan kamera. Ia menegaskan bahwa perilaku ini kemungkinan besar berkaitan dengan strategi energi reproduksi: betina anaconda dapat mengalokasikan hingga 30 persen bobot tubuhnya untuk perkembangan embrio, dan selama masa kehamilan yang bisa berlangsung tujuh bulan, mereka berpuasa total.
Bagi para peneliti, momen yang direkam Candisani ini memberikan bukti visual yang krusial, memperkuat data lapangan jangka panjang dan menegaskan bahwa strategi kanibalisme seksual memang merupakan bagian dari perilaku alami anaconda, meski jarang terjadi dan sulit teramati di habitat liar.