- Perburuan badak masih berlangsung meskipun dalam tiga tahun terakhir tercatat adanya sedikit penurunan secara global, didorong oleh tingginya permintaan cula badak di Asia Timur, demikian menurut laporan terbaru dari TRAFFIC dan IUCN.
- Laporan tersebut mengungkapkan bahwa tiga dari lima spesies badak di dunia masih mengalami penurunan populasi, dengan populasi badak putih di Afrika menurun hingga titik terendah dalam hampir dua dekade.
- Di sisi lain, populasi badak bercula satu besar di India dan Nepal menunjukkan pemulihan yang cukup signifikan. Namun, kondisi berbeda dialami badak jawa dan badak sumatera di Indonesia yang berstatus kritis dan masih berada di ambang kepunahan.
- Para ahli menekankan bahwa untuk menyelamatkan megaherbivora ini diperlukan peningkatan intelijen dan kerja sama lintas batas, penguatan program komunitas serta penegakan hukum, dan penerapan hukuman yang lebih tegas bagi para pelaku perdagangan.
Selama dua dekade terakhir, para konservasionis menghadapi persoalan berat dalam upaya melindungi populasi badak yang tersisa di Afrika dan Asia dari ancaman pemburu liar.
Perburuan didorong oleh tingginya permintaan cula badak di Asia Timur, di mana benda tersebut menjadi simbol status dan digunakan dalam praktik pengobatan tradisional, meskipun berbagai studi telah membantah manfaat medisnya. Di pasar gelap, nilai cula badak bahkan melebihi harga emas atau berlian.
Meski jutaan dolar telah diinvestasikan dalam program konservasi badak — mulai dari perekrutan penjaga bersenjata hingga penelitian reproduksi dengan bantuan — praktik perburuan tetap berlangsung secara konstan.
Namun, di sisi lain, terdapat pula kemajuan signifikan. Upaya pemotongan cula terbukti mengurangi tingkat pembunuhan. Pihak komunitas lokal pun mulai mendukung perlindungan badak, dan sejumlah populasi berhasil pulih dari kondisi terendah dalam sejarah.
Sebuah laporan komprehensif terbaru dari organisasi pemantau perdagangan satwa liar, TRAFFIC, bersama IUCN selaku otoritas konservasi satwa global, menggambarkan kondisi berbeda untuk lima spesies badak di dunia.
Meskipun sejak 2021 insiden perburuan dan jumlah badak yang dibunuh dilaporkan menurun, namun tiga dari lima spesies masih menunjukkan tren penurunan populasi.

Spesies badak putih (Ceratotherium simum) di Afrika menghadapi tekanan besar akibat perburuan serta kekeringan yang diperparah oleh perubahan iklim. Dua spesies badak Indonesia yang berstatus kritis yaitu badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) pun tetap berada dalam kondisi sangat terancam.
Sebaliknya, populasi badak besar bercula satu di India dan Nepal (Rhinoceros unicornis) menunjukkan pemulihan signifikan, dan jumlah badak hitam (Diceros bicornis) di Afrika juga mengalami sedikit peningkatan.
Mengingat jenis-jenis badak adalah spesies yang berada pada ambang kepunahan, maka pembaruan status populasi diwajibkan oleh CITES, yaitu setiap tiga tahun sebelum Konferensi Para Pihak (COP).
Para ahli dari TRAFFIC bekerja sama dengan pakar badak dari IUCN pun menyusun laporan status ini, yang melaporkan tren populasi, dinamika perdagangan legal maupun ilegal, serta tantangan konservasi badak di Asia dan Afrika.
Laporan terbaru ini akan menjadi bahan utama dalam diskusi pada pertemuan ke-20 Conference of the Parties (COP) CITES yang dijadwalkan berlangsung pada November di Uzbekistan. Dalam forum tersebut, para delegasi dari berbagai negara akan membahas masa depan perdagangan sejumlah spesies liar, termasuk badak.
“Penting untuk melihat tren dalam jangka waktu panjang, dan itulah yang telah dilakukan laporan ini selama bertahun-tahun,” ujar Nina Fascione, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada konservasi badak.
Perburuan dan Perubahan Iklim Ancam Badak Afrika
Laporan tersebut memperkirakan populasi badak Afrika — mencakup badak putih dan badak hitam — mencapai 22.540 individu pada tahun 2024. Populasi badak hitam yang berstatus kritis mengalami peningkatan sekitar 10%, dari 6.195 ekor pada 2021 menjadi 6.788 ekor.
Sebaliknya, populasi badak putih yang lebih melimpah, dengan status “hampir terancam” dalam Daftar Merah IUCN, justru menurun sekitar 200 ekor dalam periode yang sama, dari 15.942 menjadi 15.752 ekor.
Setelah sempat meningkat pada 2022, jumlah badak putih turun kembali sebesar 11,2% sejak 2023, menyentuh titik terendah dalam dua dekade terakhir.
“Penurunan badak putih ini sangat memprihatinkan, mengingat semua upaya yang telah dilakukan dalam konservasi badak,” kata Fascione. “Badak putih jauh lebih sering menjadi sasaran perburuan dibandingkan badak hitam.”
Permintaan yang seolah tak pernah surut terhadap cula badak masih menjadi ancaman terbesar bagi spesies badak di benua Afrika.
“Perburuan tetap memainkan peran penting dalam membentuk tren populasi di beberapa wilayah, tetapi pengaruh relatifnya terhadap penurunan populasi secara keseluruhan menurun dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan semakin kuatnya tekanan lain,” jelas Sam Ferreira, koordinator Red List Authority dari IUCN African Rhino Specialist Group, melalui surel kepada Mongabay.
Salah satu tekanan utama adalah kekeringan berkepanjangan selama bertahun-tahun yang diperparah oleh perubahan iklim, yang mengeringkan habitat badak di Afrika Timur dan Selatan sehingga membuat megaherbivora ini kelaparan.
Masalah lain adalah fragmentasi populasi. Populasi badak di Afrika kini terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, yang membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan lingkungan seperti penyakit, kekeringan, kehilangan habitat, dan perkawinan sedarah.
Sebaliknya, populasi besar menghadapi risiko berbeda. “Populasi besar justru lebih menarik bagi pemburu,” ujar Nina Fascione.
Selain itu, pengelolaan populasi badak di lanskap geografis dan politik yang luas dengan struktur tata kelola serta kebijakan yang beragam juga menjadi tantangan tersendiri. Meski demikian, secara keseluruhan angka perburuan badak di Afrika menurun, dari 540 kasus terdokumentasi pada 2021 menjadi 516 pada 2024.

Keberhasilan Pemulihan Badak Asia di India dan Nepal
Pemulihan badak bercula satu besar, yang juga dikenal sebagai badak India, kini bisa menjadi kisah sukses. Pada tahun 1904, populasi spesies ini di negara bagian Assam, India, diperkirakan hanya tersisa sekitar dua lusin individu.
Jumlah tersebut melonjak menjadi 1.500 pada dekade 1980-an, dan sejak itu meningkat hingga 170%, mencapai 4.014 individu pada 2024. Laporan terbaru mencatat populasi mencapai 4.075 ekor, dengan hampir 80% berada di India dan sisanya di Nepal.
Bibhab Talukdar, ketua IUCN Asian Rhino Specialist Group, menyatakan bahwa pertumbuhan ini merupakan hasil dari perlindungan yang kuat serta menurunnya tingkat perburuan di kedua negara.
India berhasil meningkatkan pengawasan dan pemantauan, memulihkan habitat, serta membangun koridor satwa liar yang menghubungkan kawasan lindung sehingga memungkinkan badak untuk menyebar. Meski demikian, spesies ini masih berstatus “rentan” dalam Daftar Merah IUCN.
Sementara itu, dua spesies badak Indonesia yang berstatus kritis masih bertahan dalam kondisi yang sangat genting. Pada 2023, otoritas Indonesia melaporkan keberadaan 76 individu badak Jawa. Namun, dengan terjadinya pembunuhan hingga 26 ekor akibat perburuan pada 2024, jumlahnya kemungkinan turun menjadi sekitar 50 individu. Enam anak badak yang lahir tahun lalu memberikan sedikit harapan di tengah ancaman serius tersebut.
Keadaan badak sumatera bahkan lebih mengkhawatirkan, dengan perkiraan populasi hanya tersisa 34 hingga 47 individu di alam liar. Meski demikian, kabar terbaru mengenai ditemukannya kembali populasi yang sebelumnya dianggap hilang di sebuah taman nasional di Indonesia memberikan secercah harapan bagi para konservasionis.

Tantangan dalam Penghitungan Populasi
Menentukan jumlah badak secara akurat merupakan pekerjaan yang sulit. Meski laporan ini coba menampilkan perkiraan terbaik, namun untuk menghitung salah satu mamalia terbesar di planet ini jelas bukan perkara mudah.
“Sulit mendapatkan data populasi yang akurat karena di sejumlah wilayah badak sangat sulit ditemukan,” ujar Nina Fascione. Ia juga menambahkan, bahwa tidak semua negara melaporkan data jumlah badak secara tepat waktu maupun akurat.
Dalam beberapa kasus, pelaporan populasi badak justru dapat berbahaya. “Seolah-olah Anda sedang memberikan sinyal bagi para pemburu,” tambahnya.
Sharon Baruch-Mordo, spesialis perdagangan gading gajah dan cula badak dari TRAFFIC, menyebut mengamini hal tersebut.
Selama bertugas, ia menyaksikan langsung betapa sulitnya memperoleh data yang benar-benar akurat. Menurutnya, satu-satunya data yang tersedia mengenai perdagangan cula badak berasal dari kasus penyitaan. Namun, tidak ada cara untuk memperkirakan berapa banyak yang lolos tanpa terdeteksi.
Perdagangan cula badak ini dijalankan oleh sindikat kejahatan transnasional yang juga terlibat dalam penyelundupan narkoba, senjata, dan manusia. Wildlife Justice Commission, sebuah lembaga investigasi nirlaba, memperkirakan bahwa perdagangan cula badak dalam 10 tahun terakhir bernilai antara 874 juta hingga 1,13 miliar dolar AS.
“Laporan ini bisa membuka peluang untuk menyelidiki sindikat kriminal tersebut,” ujar Sharon Baruch-Mordo.

Pembunuhan Ilegal dan Perdagangan Legal Masih Berlangsung
Laporan tersebut menemukan bahwa antara 2021 hingga 2023, sekitar 676 hingga 853 cula badak masuk ke jalur perdagangan ilegal setiap tahunnya. Tiga tahun sebelumnya, angka tersebut diperkirakan mencapai 1.531 hingga 1.729.
Namun, penulis laporan menegaskan bahwa angka-angka ini sulit diinterpretasikan dan tidak dapat dibandingkan secara langsung karena adanya penyesuaian statistik dalam metode penghitungan cula. Tanpa penyesuaian tersebut, jumlah terbaru diperkirakan mencapai 1.160 hingga 1.289 cula, menunjukkan perubahan yang jauh lebih kecil.
Terdapat penurunan signifikan sebesar 81% dalam jumlah cula badak yang disita pada 2023 — sekitar 150 cula — dibandingkan dengan 600 cula pada 2019. Antara 2021 hingga 2023, hampir 1,8 metrik ton cula badak, setara dengan sekitar 716 cula, berhasil disita. Afrika Selatan mencatat penyitaan terbesar, yakni 160 kilogram yang dikirim ke Malaysia.
Berbeda dengan gading gajah atau sisik trenggiling, penyitaan cula badak dalam jumlah berton-ton jarang terjadi karena berat tiap cula relatif kecil, hanya sekitar 1-3 kilogram, sementara gading gajah beratnya dapat mencapai 36-70 kilogram.
Afrika Selatan, yang memiliki populasi badak terbesar di dunia — sebagian besar merupakan badak putih — tetap menjadi target utama pemburu liar. Negara ini juga menjadi salah satu dari hanya dua negara, selain Namibia, yang masih mengizinkan perburuan badak berlisensi.
Hampir 90% cula badak Afrika yang diperdagangkan secara ilegal berasal dari Afrika Selatan, dan sejak awal 2025 terjadi lonjakan perburuan yang mengkhawatirkan. Antara Januari hingga Maret saja, tercatat 91 ekor badak dibunuh.
Di Chad, dua ekor badak hitam betina menjadi korban perburuan pada Maret lalu. Di India, sembilan ekor badak bercula satu besar terbunuh antara Januari 2021 hingga Desember 2024, sementara di Nepal tercatat empat individu dibunuh. Di Indonesia, para pemburu yang ditangkap polisi mengaku telah membunuh hingga 26 ekor badak jawa antara 2019 dan 2023 di Taman Nasional Ujung Kulon, satu-satunya habitat tersisa spesies ini di dunia.

Badak Afrika Masih Jadi Target Perburuan
Selain perdagangan ilegal, perdagangan legal atas beberapa spesies badak yang sangat terancam juga masih berlangsung, termasuk dalam bentuk trofi perburuan maupun perdagangan individu hidup.
Semua spesies badak sebenarnya tercatat dalam Apendiks I CITES, yang berarti perdagangan internasional untuk tujuan komersial dilarang. Namun, populasi tertentu di Afrika Selatan, Namibia, dan Eswatini diklasifikasikan dalam Apendiks II, yang memungkinkan perdagangan komersial dilakukan secara terbatas dengan izin resmi.
Laporan mencatat adanya 276 ekor badak hidup yang diperdagangkan sepanjang 2022–2024, sebagian besar merupakan badak putih, dengan Amerika Serikat menjadi tujuan utama.
Ekspor tersebut umumnya ditujukan untuk kebun binatang dan program pembiakan, berdasarkan data perdagangan CITES. Selain itu, tercatat 379 ekor badak diburu sebagai trofi, dengan mayoritas pemburu berasal dari Amerika Serikat.
Perburuan badak yang diatur secara legal di Namibia dan Afrika Selatan, menurut laporan, “terjadi pada tingkat rendah relatif terhadap populasi nasional” dan “dapat memberikan pendapatan nyata yang mendukung konservasi bila dikelola secara transparan dan diinvestasikan kembali.”
Perburuan badak hitam dapat menghasilkan biaya antara USD 170.000 hingga 250.000. Sementara itu, harga perburuan badak putih terakhir tercatat sebesar USD 88.208 per ekor pada 2018.
Namun, klaim bahwa perburuan trofi berkontribusi terhadap konservasi masih sangat kontroversial. Banyak pihak berpendapat praktik tersebut sarat dengan korupsi dan hanya sedikit memberi manfaat bagi masyarakat lokal maupun bagi kelestarian badak itu sendiri.
Menjelang pertemuan CITES mendatang, Namibia mengajukan proposal untuk mengubah status badak dalam Apendiks II di negaranya, agar memperbolehkan perdagangan internasional satwa hidup untuk tujuan konservasi, perburuan trofi, dan perdagangan stok cula badak yang telah ada.
“Namibia memiliki catatan konservasi yang luar biasa dan telah mencatat kemajuan signifikan dalam memulihkan populasi badaknya,” kata Sam Ferreira.
Dari 2005 hingga 2024, populasi badak putih di negara itu meningkat dari 293 menjadi sekitar 1.500 ekor, sementara badak hitam naik dari 1.141 menjadi 2.098 ekor. Namun, capaian tersebut kini terancam mundur. Dalam tiga tahun terakhir, insiden perburuan melonjak: 95 ekor pada 2022, 77 ekor pada 2023, dan 83 ekor pada 2024.
Nina Fascione menambahkan bahwa upaya serupa untuk melonggarkan aturan perdagangan badak pernah ditolak dalam COP-CITES sebelumnya.
Ia meyakini bahwa proposal Namibia kali ini juga akan menghadapi nasib serupa karena “diperlukan lebih banyak bukti untuk menunjukkan bahwa melegalkan perdagangan cula akan benar-benar berkontribusi pada konservasi badak.”
Para ahli menilai bahwa memperdagangkan stok cula yang ada dapat membuka celah besar bagi perdagangan ilegal. “Risikonya terlalu banyak, kita harus mencari cara lain untuk mengatasi masalah ini,” ujar Nina Fascione.

Jalan ke Depan bagi Konservasi Badak
Meskipun tren populasi badak masih menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan, laporan ini juga menyoroti sejumlah capaian positif dalam konservasi badak di Afrika dan Asia. Banyak negara telah memperketat penegakan hukum, berhasil menghukum pemburu, dan menjatuhkan hukuman lebih berat yang berfungsi sebagai efek jera.
Sejumlah organisasi dan pemerintah telah berupaya melakukan rewilding guna membantu badak berkembang biak di habitat yang tersisa. Pada 2023, setelah LSM African Parks membeli peternakan badak milik seorang peternak John Hume, dan meluncurkan inisiatif untuk melepaskan kembali sekitar 2.000 ekor badak ke alam liar dalam kurun waktu 10 tahun.
Di India, program translokasi badak juga berperan penting dalam meningkatkan jumlah populasi mereka.
Tahun 2024 menandai pencapaian bersejarah ketika para ilmuwan berhasil mencatat kehamilan pertama badak hasil pembuahan in vitro (IVF) di dunia, dengan memindahkan embrio badak putih hasil laboratorium ke dalam induk pengganti (surrogate).
Terobosan ini meningkatkan harapan akan pemanfaatan teknik reproduksi dengan bantuan untuk konservasi badak di masa depan.
Pemerintah dan LSM juga semakin banyak bekerja sama dengan komunitas lokal untuk menyelamatkan badak. Di India, misalnya, International Rhino Foundation bermitra dengan masyarakat sekitar Taman Nasional Manas untuk menyingkirkan spesies tanaman invasif dan memulihkan 20 hektar habitat utama badak. Sementara di Zimbabwe, badak telah berhasil diperkenalkan kembali ke lahan yang dimiliki oleh komunitas.
Meski demikian, berbagai tantangan besar masih menghambat. Korupsi tetap masih jadi masalah. Perdagangan ini sangat menguntungkan, sementara sumber daya untuk perlindungan terbatas dan proses hukum berjalan lambat.
Para penjaga hutan pun sering kalah persenjataan dibandingkan pemburu liar yang dilengkapi senjata mutakhir. Kurangnya koordinasi juga melemahkan upaya konservasi badak, dan jaringan perdagangan ilegal sulit diungkap.
“Mengatasi tantangan ini membutuhkan kemauan politik yang berkelanjutan, pendanaan yang lebih besar dan terarah, pemanfaatan teknologi penegakan hukum modern, serta partisipasi komunitas yang lebih kuat,” kata Sam Ferreira.
Nina Fascione pun turut menegaskan harapannya bagi konservasi badak. “Semoga pemerintah menyadari pentingnya peran badak, serta manfaat yang mereka berikan bagi kita sebagai manusia dan bagi masyarakat.”
Tulisan ini pertamakali diterbitkan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

*****
Foto utama: Seekor badak sumatera dengan anaknya yang berusia empat hari. Spesies yang sangat terancam punah ini merupakan yang terkecil di antara semua badak, dengan hanya 34–47 individu tersisa di alam liar. Foto: International Rhino Foundation/FunkMonk melalui Wikimedia Commons (CC BY 2.0)