- Masyarakat Adat Papua melawan perampasan untuk mempertahankan ruang hidup mereka dengan berbagai cara, antara lain lewat pasang palang adat dan salib merah.
- Hendrikus ‘Franky’ Woro, pemimpin Marga Woro, bagian Suku Awyu, bilang, palang adat dan salib merah mereka pasang pada lokasi-lokasi strategis yang bernilai penting bagi masyarakat Adat Awyu. Seperti, tanah-tanah marga, lokasi sakral, situs bersejarah, jalur nenek moyang, makam leluhur, sumber pangan, dan situs keanekaragaman hayati.
- Catatan akhir 2024 Yayasan Pusaka menunjukkan, terjadi perusakan hutan dan deforestasi di Tanah Papua seluas 27.454 hektar. Jumlah ini meningkat dari 2023, seluas 25.457 hektar dan 2022 seluas 20.780 hektar.
- Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pemasangan salib merah merupakan perlawanan Masyarakat Adat Papua atas perampasan tanah adat oleh korporasi dan negara.
Tarian adat lengkap dengan tabuhan tifa mengiringi prosesi pemasangan kayu berbentuk salib di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, pada Juni lalu.
Puluhan warga dari Suku Awyu—perempuan dan lelaki—memakai aksesoris adat bahu-membahu menarik kayu salib berwarna merah. Sebagian mereka, mendorong kayu besar itu dari bawah, lalu memperkuat fondasi dengan rotan.
Hanya dalam waktu singkat, kayu berukuran tujuh meter itu berdiri tegak.
Anak-anak turut larut dalam prosesi pemasangan salib merah ini. Mereka lincah menari sambil bernyanyi lagu adat. Selepas salib merah tertancap, mereka serentak menyerukan:
“Wiha Nasohoa.” “Ini Tanah Airku!
Suku Awyu rutin pasang batas wilayah adat yang mereka sebut: salib merah, sejak 2016. Mereka juga pasang palang adat, berupa satu tiang tegak lurus atau dua palang kayu yang terpasang menyilang.
Per Juni lalu, total sudah terpasang 1.400 lebih palang adat dan salib merah. Ini merupakan perlawanan mereka dalam melindungi wilayah adat dari ekspansi proyek skala besar.
Menurut catatan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, gerakan palang adat dan salib merah muncul sebagai respons atas proyek-proyek skala besar yang merampas wilayah adat dan merusak hutan Papua.
Proyek itu dari Merauke Food and Energy Estate sampai proyek strategis nasional pangan dan energi. Dua proyek besar itu pemerintah menggelontorkan izin korporasi untuk perkebunan sawit, tebu, dan sawah.
“Kami lakukan tanda-tanda itu bahwa setiap jengkal tanah itu ada penghuninya. Kalau kami biarkan begitu saja, maka orang anggap itu tanah kosong,” kata Hendrikus ‘Franky’ Woro, pemimpin Marga Woro, bagian Suku Awyu, kepada Mongabay.
Dia bilang, palang adat dan salib merah mereka pasang pada lokasi-lokasi strategis yang bernilai penting bagi masyarakat Adat Awyu. Seperti, tanah-tanah marga, lokasi sakral, situs bersejarah, jalur nenek moyang, makam leluhur, sumber pangan, dan situs keanekaragaman hayati.
Gerakan palang adat dan salib merah beberapa tahun ini meluas bukan hanya oleh Suku Awyu. Catatan Yayasan Pusaka, setidaknya 1.800 palang adat dan salib merah sudah terpasang.
Gerakan terus meluas di seluruh Tanah Papua, terutama di Boven Digoel, Mappi, dan Merauke. Bahkan, data Pusaka, salib merah tertancap di Jayapura, satu kota utama di Tanah Papua.
Pada masa lalu, palang adat untuk menjaga wilayah dan ruang hidup dari suku atau sub-suku lain.
Menurut Yayasan Pusaka, Suku Awyu mengenal dua jenis palang adat: hayo dan miri.
Hayo terpasang pada sebatang kayu besar untuk menandakan yang memasang akan memakai kayu itu. Misal, untuk membuat perahu atau rumah hingga pihak lain tidak menebang.
Miri, biasa di batas wilayah untuk menunjukkan batas wilayah atau ruang hidup. Miri sekaligus peringatan dan deklarasi perang.
Kalau pihak lawan melewati tanda dan membongkarnya, berarti orang itu melanggar atau tidak mengindahkan peringatan.

Simbol perlawanan
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pemasangan salib merah merupakan perlawanan Masyarakat Adat Papua atas perampasan tanah adat oleh korporasi dan negara.
“Di batas-batas tanah yang sudah diklaim oleh perusahaan, mereka datang ke situ kemudian memancang salib merah dan mereka lakukan ritual-ritual,” katanya saat diskusi di Bogor, akhir Juli lalu.
Lewat gerakan salib merah, Masyarakat Adat Papua ingin menegaskan lahan yang perusahaan klaim merupakan tanah leluhur masyarakat.
Franky bilang, di palang adat dan salib merah itu tak lupa mereka tuliskan dasar hukum klaim hutan adat, yakni, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012.
Lewat putusan itu, MK menegaskan hutan adat sebagai hutan masyarakat adat, bukan hutan negara. Ia mengoreksi UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Menurut Angky, sapaan akrabnya, gerakan itu sebagai narasi tandingan menolak proyek-proyek skala besar yang merampas dan merusak hutan di Papua.
Hutan adat Suku Awyu di selatan Papua seluas 36.094 hektar, lebih dari setengah luas Jakarta, terancam hilang menjadi perkebunan dan pabrik sawit.
Suku Awyu, katanya, sempat jalani serangkaian proses hukum untuk menghalau perampasan hutan adat.
Mereka lakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado untuk batalkan izin perusahaan sawit di hutan adat.
Suku Awyu juga ajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan PTUN Jayapura dan banding PTTUN Manado. Semua perlawanan hukum tak berbuah manis, MA menolak kasasi!
Hal senada Maikel Peuki, Direktur Walhi Papua katakan. Gerakan salib merah, katanya, bukan sekadar bentuk protes, melainkan perjuangan mempertahankan nilai-nilai budaya serta keyakinan Masyarakat Adat Papua.
“Ini bukan hanya tentang tanah. Ini tentang masa depan anak cucu, tentang warisan moyang, dan tentang ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Aksi memasang salib merah adalah bentuk perlawanan ekologis dan spiritual yang sangat bermakna bagi masyarakat Awyu,” katanya kepada Mongabay.
Catatan Walhi Papua, wilayah adat Awyu terus terancam perluasan konsesi perusahaan sawit. Mereka ekspansi hutan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Hutan sumber segala, keanekaragaman hayati terancam
Hutan, kata Hendrikus, bagi masyarakat adat di Papua, sangat penting. “[Hutan] merupakan nomor rekening abadi bagi kami dan merupakan supermarket. Kami makan di sana [hutan] semua gratis, tanpa uang kami bisa hidup,” katanya.
Suku Awyu, katanya, bergantung hidup pada hutan sejak lahir. Sumber pangan mereka berasal dari hutan. Sehari-hari Suku Awyu berburu babi, rusa, burung, tikus, hingga ambil sagu dari hutan.
Sumber pengobatan mereka juga dari hutan, seperti kulit pohon matoa untuk sakit demam, kepala pusing, nyeri otot dan sendi. Juga kulit pohon lawang biasa sebagai obat luka luar.
Bahkan, aksesoris budaya Suku Awyu dari bahan-bahan yang tersedia di hutan, seperti daun sagu untuk rok rumbai hingga hiasan kepala, lalu, pinang hutan untuk membuat panah dan busur.
Sementara noken—tas khas Masyarakat Papua—biasa terbuat dari kulit kayu gaharu dan kulit kayu ganemo yang dirajut mama-mama Papua.
“Kalau hutan rusak, kami mau kemana? Sudah pasti kami punah,” kata Hendrikus.
Catatan akhir 2024 Yayasan Pusaka menunjukkan, terjadi perusakan hutan dan deforestasi di Tanah Papua seluas 27.454 hektar. Jumlah ini meningkat dari 2023, seluas 25.457 hektar dan 2022 seluas 20.780 hektar.
Menurut catatan Yayasan Pusaka, aktivitas perusahaan perkebunan di Papua paling menonjol sebagai drivers of deforestation. Deforestasi menyebabkan kepunahan dan pemusnahan spesies.
Tahun 2022, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat ada 42.108 jenis spesies terancam punah. Pada 2023, jumla menjadi 44.016 jenis, bertambah 1.908 hanya dalam satu tahun. Indonesia menjadi penyumbang spesies terancam punah paling banyak di Asia.
Maikel mengatakan, hutan-hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan alami, hingga pengetahuan leluhur Suku Awyu, terancam lenyap pembukaan lahan skala besar.
“Mereka (perusahaan) masuk dengan alat berat, membabat hutan, mengeruk tanah, dan membawa kayu seperti pencuri di siang hari. Semua ini terjadi terang-terangan, dan sayangnya negara belum cukup berpihak kepada masyarakat adat.”
Menurut dia, Masyarakat Adat Awyu yang tersebar di Boven Digoel dan Mappi terus aksi damai dan kampanye publik untuk menolak ekspansi perusahaan sawit.
Perjuangan Masyarakat Adat Papua tidak akan berhenti. Perlawanan ini, katanya, akan terus berjalan, selama hak tanah adat tidak negara akui. “Hutan mereka terus dihancurkan. Ini bukan soal investasi atau pembangunan semata, ini tentang keberlanjutan kehidupan dan keadilan ekologis.”

Minim pengakuan wilayah adat
Sejak 2016, Hendrikus bersama marga lain aktif pemetaan wilayah adat Awyu secara mandiri di Boven Digoel, Papua Selatan.
Rangkaian pemetaan itu mulai dengan musyawarah adat pada 27 Oktober 2015. Forum bersepakat, mereka harus membuat batas atau patok wilayah adat.
Bermodal pengetahuan dan alat seadanya, mereka mulai petakan wilayah adat dengan pemasangan patok atau palang di lokasi-lokasi strategis seperti batas antara kampung, situs sejarah, hingga makam leluhur.
Mereka mencatat, luas tanah ulayat Suku Awyu 39.000 hektar, ada Marga Woro dan marga-marga lain, yang kini terancam proyek sawit.
Suku Awyu sudah pemerintah akui lewat Peraturan Daerah (Perda) Boven Digoel Nomor 2/2023. Namun, pemetaan dan penetapan wilayah adat Suku Awyu belum terlaksana.
“Kami melihat, pemerintah tidak memperhatikan hak-hak kami. Terus kami tidak punya peta wilayah tanah adat. Tanda itu merupakan bentuk pemetaan wilayah adat secara garis besar untuk melindungi tanah dan manusia di wilayah keluarga saya,” ujar Hendrikus.
Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sama sekali belum mencatatkan wilayah adat Awyu. Kasmita Widodo, Kepala BRWA bilang, ada dua faktor utama wilayah adat Suku Awyu belum teregistrasi.
Pertama, tanah ulayat Suku Awyu masih tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit. “Memang wilayah adat Suku Awyu belum teregistrasi. Itu akan jadi HGU di daerah Boven Digoel,” katanya kepada Mongabay.
Kedua, meski Boven Digoel sudah punya Perda Masyarakat Adat dan membentuk panitia masyarakat adat, tetapi belum bisa pemetaan wilayah.
Menurut Kasmita, panitia masyarakat adat di Boven Digoel dan daerah lain banyak tak memiliki kompetensi. Belum lagi, tidak ada panduan teknis panitia menjadi kendala.
“Mereka si panitia ini belum bisa bekerja, karena gak punya kapasitas. Mereka gak punya panduan [teknis].”

Mandeknya penetapan wilayah adat juga terjadi pada suku-suku lain di Papua dan di nusantara ini, seperti O’Hongana Manyawa di Halmahera, Maluku Utara.
Suku yang tinggal nomaden di hutan itu hingga kini belum dapat pengakuan pemerintah.
Penetapan wilayah adat harus melalui sejumlah prosedur, mulai dari permohonan registrasi ke BRWA, lalu pendokumentasian wilayah dan penyusunan peta adat. Kemudian, verifikasi dan validasi hingga penetapan resmi melalui perda atau Surat Keputusan (SK) Bupati.
Kasmita mengatakan, tarik-ulur kepentingan politik-ekonomi daerah jadi faktor penghambat. Terkadang, pemerintah daerah menganggap penetapan wilayah adat dapat mengganggu kepentingan politik-ekonomi.
“Karena dianggap pengakuan masyarakat adat akan mengganggu investasi yang sedang berjalan atau rencana investasi yang akan masuk,” katanya.
Dia bilang, pengakuan tidak akan pernah terlaksana kalau kepala daerah tak punya komitmen politik melindungi masyarakat adat.
Belum lagi, katanya, faktor teknis seperti kompetensi panitia masyarakat adat, tidak ada pedoman teknis, hingga alokasi anggaran minim.
Di Merauke, misal, bupati membentuk panitia masyarakat adat berada di bawah Dinas Kebudayaan–tetapi panitia belum bisa bekerja karena minim kompetensi.
“Mereka memerlukan dukungan kapasitas teknis, bagaimana cara membuat peta? Bagaimana mereka bisa lakukan proses verifikasi dan identifikasi. Validasinya gimana?”
Kasmita mengatakan, tanpa komitmen nyata dari pemerintah, masyarakat adat terus menghadapi ketidakpastian hukum atas wilayah mereka yang sudah turun-temurun.
“Lambat dan sedikitnya pengakuan wilayah adat berimplikasi pada meningkatnya potensi konflik tenurial di wilayah adat,” katanya.

*****
Suku Awyu dan Moi Tolak Sawit, Minta MA Peduli Tanah Adat Papua