- Warga Halmahera, Maluku Utara, dominan hidup dari alam, dari pertanian, perkebunan sampai perikanan. Belakangan, ruang hidup mereka terus menyusut kala investasi skala besar, seperti tambang nikel, masuk menguasai tempat mereka menggantungkan kehidupan.
- Ketika menguasai lahan, perusahaan tambang ada yang ‘ganti rugi’ ada juga yang tidak. Ganti rugi atas lahan warga pun warga nilai, tidak berkeadilan karena bukan harga hasil kesepakatan.
- Penelitian Climate Rights Internasional 2024 menemukan praktik perampasan tanah warga oleh perusahaan tambang. Dalam laporan berjudul Dampak Industri Nikel di Indonesia terhadap Manusia dan Iklim, menyebut, proses pembebasan lahan dengan perampasan tanah, sedikit, bahkan tanpa kompensasi, serta penjualan tanah yang tidak adil.
- Penelitian Transparency International Indonesia (TII) pada 2024 juga menemukan beragam praktik perampasan lahan dan ganti rugi sewenang-wenang oleh perusahaan tambang di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
Setidaknya tiga kali rumah Rudy,—nama samaran—perusahaan tambang nikel, PT Arumba Jaya Perkasa (AJP) datangi bersama personel berseragam cokelat diduga dari Polsek Wasile Selatan, medio Juni lalu.
Mereka menawarkan ganti rugi kebun kelapa Rudy Rp20.000 per meter. Tanpa membayar tanaman kelapa usia produktif yang ada di lahan itu.
“Polisi datang suruh paksa, bilang ambil sudah uangnya (harga perusahaan). Tapi saya nggak mau,” kata Desa Loleba, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara kepada Mongabay, awal Juli lalu.
Polisi berusaha membujuk Rudy. Sayangnya, dia tidak merekam atau memfoto wajah personel itu.
Polisi melarang mendokumentasikan pertemuan itu.
AJP tengah membangun akses tambang nikel di Kecamatan Wasile Selatan, Perusahaan mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) nikel seluas 1.818,47 hektar.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melalui izin bernomor 188.45/174.b-545/2010, memberikan konsesi tambang nikel pada AJP hingga 2030.
Sebelum mulai eksploitasi, AJP lakukan tahap pengembangan dengan membangun jalan hauling dan fasilitas pelabuhan (jetty) tambang. Tiga desa terdampak, Talaga Jaya, Saramaake, dan Loleba.
Mereka perlu bebaskan lahan warga, yang mayoritas kebun kelapa, ada juga pala, cengkih dan lain-lain yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Sebagian lahan berhasil perusahaan bebaskan dengan harga Rp20.000 per meter.
Di Desa Loleba, sebagian warga menolak rencana pembebasan lahan. Menurut Rudy, ada sekitar 10 orang belum melepas kebun kelapa mereka. Berbagai pertimbangan sehingga warga enggan melepas lahannya.
Rudy menganggap perusahaan menawarkan harga terlalu murah. Lahan Rudy ada sekitar 60 kelapa, hanya Rp84 juta. Itu pun tanpa ganti rugi tanaman.
Perusahaan menentukan harga secara sepihak, tanpa musyawarah dengan warga. Harga itu tidak sebanding dengan nilai ekonomi dari kebun kelapa.
Padahal, kelapa merupakan sumber penghidupan warga. Mereka mengolah menjadi kopra, lalu jual ke pengepul dengan harga fluktuatif, saat ini Rp18.000 per kilogram.
Hibor Nalande, warga Loleba, mengkalkulasi nilai ekonomi yang hilang kalau kebun kelapa berubah wajah jadi jalan tambang. Dia punya kebun kelapa seluas empat hektar, per tiga bulan panen.
Sekali panen empat ton, jika olah jadi kopra beromzet Rp72 juta, kurangi ongkos angkut Rp2-3 juta per ton; lalu bagi dua keuntungan pada buruh tani yang bantu urus kebun.
Dalam setahun, empat kali panen, bisa hasilkan omzet Rp288 juta. Nilai ekonomi itu terancam hilang oleh tambang.
“Baik bagi mereka yang masih muda dipekerjakan di tambang, tapi bagi kami yang sudah tua bagaimana?” ujar Hibor saat Mongabay temui di rumahnya, akhir Juni lalu.
Dia memikirkan nasib anak-cucu kalau kebun kelapa hilang berubah tambang. Tanaman kelapa, menurut Hibor, punya masa produktif hingga ratusan tahun. Meski dia sudah tak ada, anak-cucu bisa lanjutkan kelola kebun.

Kebun jadi jalan tambang
Siang hari akhir Juni, Klemengs Papua mengajak Mongabay melihat kebun kelapa yang terkena pembangunan jalan hauling AJP. Kebun Klemengs berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Perusahaan bangun jalan tambang membelah perkebunan kelapa warga hingga ke pinggir laut, dekat fasilitas jetty yang akan terzbangun.
Patok tanda sudah terpasang di kebun Klemens. Coretan pilox warna merah di pohon kelapa jadi tanda batas kebun yang terkena proyek pembukaan jalan tambang.
Dia bersikeras tak mau menjual kebun. Dia bilang, kebun satu-satunya mata pencaharian. Lelaki usia kepala enam itu ingin mewariskan kebun kepada anak dan cucu.
Klemengs bingung harus bekerja apa kalau kebun tergusur. Apalagi usia sudah senja, sulit bekerja di perusahaan tambang. Hingga kini, dia bergeming dengan rencana pembangunan perusahaan.
“Biar bagaimanapun tidak saya kasih. Perusahaan juga belum tawar harga, saya baru dengar dari tetangga yang sudah ditawar harga Rp20 ribu,” ujar Klemengs kepada Mongabay.
AJP menyebut, proses pembangunan jalan dan jetty tambang sudah sesuai aturan.
Alfian, penanggung jawab lapangan AJP, mengatakan, pembebasan lahan warga sesuai Peraturan Bupati (Perbup) Halmahera Timur.
“Kami sudah berkonsultasi kepada instansi terkait sebelum menentukan nilai kompensasi,” katanya kepada Mongabay, 25 Juli lalu.
Perbup yang Alfian maksud ialah Keputusan Bupati Halmahera Timur/2012 tentang Penetapan Harga Dasar Tanah dan Tanaman Halmahera Timur.
Alfian bilang, berdasarkan perbup itu, masyarakat yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan dibayar murah; yang punya sertifikat lebih mahal Rp45.000 per meter.
Dia tidak membantah harga Rp20.000 per meter perusahaan tawarkan. Juga tak membantah kalau perusahaan tak membayar ganti rugi tanaman kelapa.
Perihal pelibatan personel polisi dalam proses pembebasan lahan, Alfian tidak gamblang membantah. “Hal lain-lain merupakan hal tidak benar.”
Alfian tidak merinci ‘hal lain’ apa yang dia maksud.
Fachry Bamatraf, Kapolsek Wasile Selatan mengatakan, tidak menginstruksikan personelnya untuk terlibat dalam negosiasi harga antara perusahaan dengan masyarakat.
Dia mengatakan, hanya perintahkan personel untuk mengawal alat berat dan pengawalan terhadap pegawai perusahaan saat survei ke dalam hutan.
Tugas pengawalan itu, katanya, berdasarkan permintaan perusahaan melalui surat resmi.
“Kami segera cek dan turun untuk mengecek. Tidak ada perintah tertulis maupun tidak tertulis, apalagi sampai menyuruh anggota untuk lakukan nego, karena di luar tugas kami!” katanya kepada Mongabay melalui WhatsApp, 14 Juli lalu.
Dia berjanji menindak tegas personel yang terbukti bekerja di luar prosedur kepolisian. “Saya tegaskan dan perintahkan jangan coba-coba atau bermain-main untuk lakukan kegiatan yang di luar prosedur, akan saya tindak tegas!”

Konflik agraria di sekitar tambang
Persoalan pembebasan lahan juga terjadi di Halmahera Tengah. Iqbal Musa, warga Desa Lelilef Waibulen, Kecamatan Weda Tengah, bercerita kebun kelapanya 9.000 meter persegi kena kuasai perusahaan tambang.
Kebun tertanam 80 tanaman kelapa itu merupakan tanah warisan keluarga Iqbal dari mendiang kakek. “Pohon sudah usia tua-tua; sekali panen 600 kilogram,” ujar Iqbal pada awal Juli.
Dia bilang, lahan tergusur tanpa ganti rugi, bahkan tidak ada pemberitahuan. Kebun Iqbal berada di dekat Sungai Kobe. Perusahaan berencana menormalisasi sungai itu.
“Tidak ada pembicaraan ganti rugi-kah apa-kah.”
Iqbal baru mengetahui kebun tergusur selang beberapa hari. Dia kaget saat melihat kebun sudah rata dengan tanah. Perusahaan, katanya, sempat mengukur luas kebun, tetapi belum bayar ganti rugi.
Hernemus Takuling, juga warga protes tambang nikel di Desa Lelilef Sawai bilang, perusahaan melebarkan sisi kanan-kiri Sungai Kobe sekitar 50 meter. Sungai itu akan jadi akses masuk kapal perusahaan dari laut ke darat.
“Normalisasi sungai kurang lebih 10 kilometer yang mau diluruskan. Itu menurut saya, penyerobotan! Nanti kapal masuk lewat sana, dinormalisasi sungai kiri-kanan 50 meter, total 100 meter,” katanya kepada Mongabay.
Penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang nikel banyak terjadi di Halmahera Tengah. Mubalik Tomagola, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Maluku Utara mengatakan, kerap temukan pola perusahaan asal serobot lahan warga.
Saat pemilik lahan tahu, mereka rata-rata emosi dan marah ke orang perusahaan. Celah inilah, menurut Mubalik, perusahaan manfaatkan untuk mengintimidasi warga.
“Ketika warga datang dengan parang, dapatlah surat panggilan (polisi). Bagaimana mau diproses atau lepas? Ya, sudah lepas! Itu terjadi pada semua desa di lingkar tambang.”
Pola lain juga temukan Mubalik. Perusahaan kerap sengaja merusak lahan warga yang tidak mau dijual. Dia bilang, biasa tanah warga saling berhadapan, perusahaan beli tanah warga yang bersedia.
Lalu, mereka lakukan aktivitas asal-asalan di tanah itu. Hingga limpasan air mengalir ke kebun warga yang belum mau dijual.
“Dia bikin tercemar itu kebun, hingga produktivitas tanah berkurang. Kalau tidak ada hasil panen, warga jual kebun. Agar warga mau jual murah,” katanya.
Penelitian Climate Rights Internasional 2024 menemukan praktik perampasan tanah warga oleh perusahaan tambang. Dalam laporan berjudul Dampak Industri Nikel di Indonesia terhadap Manusia dan Iklim, menyebut, proses pembebasan lahan dengan perampasan tanah, sedikit, bahkan tanpa kompensasi, serta penjualan tanah yang tidak adil.
“Tanah milik masyarakat yang tinggal di dekat IWIP telah dirampas, digunduli, atau digali oleh perusahaan nikel dan pengembang tanpa persetujuan mereka,” tulis laporan penelitian itu.
Menurut laporan itu, beberapa anggota masyarakat yang enggan menjual tanah atau menolak harga tanah yang mereka tawarkan mengalami intimidasi, menerima ancaman. Juga, menghadapi pembalasan dari perwakilan perusahaan, aparat kepolisian, dan anggota TNI.
Penelitian Transparency International Indonesia (TII) pada 2024 juga menemukan beragam praktik perampasan lahan dan ganti rugi sewenang-wenang oleh perusahaan tambang di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
Penelitian berjudul Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multidimensi, temukan praktik perampasan lahan di sejumlah desa: Lelilef Sawai, Kobe Kulo, Waekob, dan Gemaf.
Pola perampasan lahan yang sering terjadi dengan modus pemalsuan sertifikat. Aktor yang terlibat mulai dari anggota dewan, kepala desa, makelar tanah, hingga polisi dan TNI.

Penelitian Transparansi Internasional Indonesia (TII) juga menyebutkan, lahan seluas dua hektar milik Julius Burnama, warga Desa Lelilef Sawai, tergusur paksa pada 2019 oleh perusahaan tanpa biaya ganti rugi sepeserpun.
Lahan Julius merupakan tambak berisi ribuan ikan. Kini, tambaknya itu sudah berganti rupa menjadi Bandar Udara Cekel, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Belakangan Julius baru mengetahui lahan lokasi tambak telah bersertifikat atas nama IWIP.
“Ini namanya penipuan, penyerobotan, adanya pemalsuan lahan orang sebagai pemilik lahan. Saya tidak pernah menjual tanah kepada siapapun, ini namanya mafia tanah,” katanya, dikutip dari laporan TII.
Pola pemberian ganti rugi lahan tidak adil juga sering terjadi. Penelitian menyebut, warga hanya ganti rugi lahan Rp8.000-Rp9.000 per meter. Alih-alih melindungi warga, pemerintah daerah justru bekerja sama dengan perusahaan untuk mendorong warga menjual lahan dengan harga rendah.
“Mereka mengklaim bahwa angka tersebut berdasarkan peraturan daerah. Negosiasi terkait jual beli lahan bukan terjadi antara perusahaan dengan warga lokal namun dengan pemerintah daerah. Mayoritas warga telah menjual tanah mereka,” tulis laporan TII.
Laporan menyebut, kehadiran perusahaan membawa petaka bagi kebanyakan masyarakat dan hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya. Pola pemberian ganti rugi lahan ini, mengakibatkan konflik antara masyarakat dan korporasi.
Korporasi menganggap kontrak karya merupakan dasar penguasaan mutlak atas tanah. Atas dasar inilah rakyat sekitar tambang nikel bisa digusur sewenang-wenang kapan saja.
“Sayangnya, posisi pemerintah daerah pada kasus tersebut, justru lebih cenderung melindungi korporasi dengan dalih peningkatan dan pemujaan investasi ekonomi daerah.”

*****