- Pengusaha dan ekonom-akademisi Indonesia Denica Riadini-Flesch memenangkan Penghargaan Pritzker Emerging Environmental Genius 2025 dari UCLA.
- Pendekatan Riadini yang unik adalah menciptakan rantai pasokan “dari pertanian ke dunia mode busana” yang terbukti meregenerasi lahan, menghidupkan kembali busana tradisional, dan memberdayakan perempuan pedesaan melalui perusahaan sosialnya, SukkhaCitta
- Lewat upayanya, SukkhaCitta telah memulihkan lebih dari 120 hektar lahan, mengurangi polusi dari pewarna sintetis, dan meningkatkan pendapatan perempuan hingga 60%.
- Pemenang penghargaan lainnya, Anthony Waddle dari Universitas Macquarie berhasil mengembalikan populasi katak lonceng hijau dan emas australia yang terancam punah lewat "sauna katak"; dan Seema Lokhandwala, pendiri Elephant Acoustics Project, yang menggunakan sensor frekuensi rendah untuk mendeteksi gajah di dekat desa-desa di India Timur Laut.
Dalam dunia yang ditentukan oleh berbagai eksploitasi alam, Denica Riadini-Flesch membuktikan bahwa dunia kreatif dapat dipadukan dengan upaya restorasi dan pelestarian alam.
Ekonomi sekaligus wirausahawan asal Indonesia ini memenangkan Penghargaan Pritzker Emerging Environmental Genius 2025 dari UCLA atas keberhasilannya membangun rantai pasok “dari pertanian ke dunia mode busana”—sebuah sistem yang mampu meregenerasi lahan, mendorong pelestarian warisan budaya, dan upaya pemberdayaan para perempuan di pedesaan.
Dari mimpi itu, Riadini lalu mendirikan SukkhaCitta, setelah ia ‘mengalami pencerahan’. Sebagai orang yang besar di Jakarta, ia pernah mengilusikan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah garis lurus yang terus menanjak tanpa ada batas akhir.
Namun pemikiran itu berubah sejak ia berkunjung ke sebuah desa tempat para perempuan bekerja keras selama berminggu-minggu untuk mengolah produk tekstil sintetis untuk mendapatkan upah minim. Saat itu ia menjumpai kenyataan dari seorang perempuan pekerja tekstil.
“Rasanya tangan, mata, dan paru-paru saya terasa terbakar,” sebutnya mengulangi ucapan seorang ibu pekerja yang dijumpainya.
Pernyataan itu mengungkapkan apa yang disebut Riadini sebagai “harga yang harus ditanggung oleh pekerja demi kenyamanan konsumen”.
SukkhaCitta lalu berupaya membalikkan logika tersebut. Alih-alih membangun pabrik besar yang tersebar luas, produksi busana dilakukan di pekarangan dan pertanian kecil di Jawa, Bali, Flores, dan Timor Barat.
Kapas ditanam di lahan campuran yang meregenerasi tanah; pewarna berasal dari daun nila dan mahoni; kain ditenun dengan menggunakan alat tenun tangan.
Perusahaan ini sekarang telah memulihkan lebih dari 120 hektar lahan terdegradasi, mencegah lima juta liter limbah pewarna sintetik beracun mencemari sungai, dan meningkatkan pendapatan perempuan rata-rata sebesar 60 persen.
Melalui Rumah SukkhaCitta, para perempuan pun diajak belajar literasi ekologi, kewirausahaan, dan teknik warisan secara berdampingan. Generasi muda desa —yang dulunya bekerja di pabrik-pabrik di kota, sekarang kembali ke kampung halaman untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
“Para pengrajin dan petani adalah mata rantai yang hilang untuk menyelesaikan krisis iklim,” ujar Riadini. “Ketika para pengrajin pedesaan memimpin, kita meletakkan cetak biru untuk masa depan yang regeneratif.”

Suami Riadini sekaligus salah satu pendiri SukkhaCitta, Bertram Flesch, menerima penghargaan tersebut di Los Angeles atas nama Riadini yang sedang hamil tujuh bulan, ia sendiri bergabung secara daring dari Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Riadini berbicara tentang konsep tumpang sari yang telah lama dikenal oleh masyarakat adat, di lokasi dimana kapas ditanam berdampingan dengan dua puluh tanaman lain, yang masing-masing saling mendukung ekologi.
“Kami telah membuat studi kasus bisnis untuk regenerasi,” ujarnya. “Ini menunjukkan bahwa kita dapat menjalankan rantai pasokan yang memulihkan lingkungan, alih-alih merusaknya.”
Model tersebut telah menarik minat di luar mode. Perusahaan-perusahaan di bidang makanan, kosmetik, dan farmasi berupaya mengadaptasi prinsip-prinsipnya yang dikembangkan Riadini.
Apa yang awalnya merupakan usaha sosial sederhana kini menjadi contoh bagaimana industri dapat berfungsi lebih seperti sebuah ekosistem: siklus, inklusif, dan tangguh.

Filantropis Tony Pritzker, yang mendirikan penghargaan ini pada tahun 2017, menyebut Riadini -Flesch sebagai “contoh menonjol seorang wirausaha sosial yang memiliki komitmen keberlanjutan lingkungan untuk melestarikan tradisi Indonesia dan menciptakan model bisnis yang layak.”
Dalam sambutannya melalui Zoom, Riadini merenungkan perjalanan hidupnya yang tak terduga berubah dari dunia akademisi menuju dunia mode regeneratif.
“Saya benar-benar orang paling tidak modis yang pernah Anda temui,” candanya. “Tapi saya belajar dari para perempuan di desa-desa ini bahwa bahkan di saat-saat tersulit, kita bisa memilih untuk menjadi seorang pelopor.”
Untuk tujuan cita-cita berikutnya, Riadini merancang untuk meregenerasi 2,5 juta hektar lahan dan menciptakan penghidupan berkelanjutan bagi 10.000 perempuan pada tahun 2050. Baginya, ukuran kesuksesan bukanlah kekayaan, melainkan martabat.
Para Pemenang Lainnya
Anthony Waddle , seorang fellow di Schmidt Science di Macquarie University, meneliti jenis regenerasi yang berbeda—regenerasi spesies, alih-alih regenerasi tanah.
Fokusnya adalah katak lonceng hijau dan emas, yang pernah hampir punah di Australia Timur akibat serangan jamur chytrid, patogen yang telah memusnahkan lebih banyak amfibi daripada penyakit lainnya.
Dalam karyanya, Waddle menguji vaksinasi, menyempurnakan program penangkaran, dan membangun “sauna katak”— yang memberikan iklim mikro hangat bagi amfibi yang resistan terhadap jamur.
Berkatnya, tingkat kelangsungan hidup katak di alam meningkat dua kali lipat dan aktivitas perkembangbiakannya melonjak. Ia kini mengeksplorasi ketahanan genetik melalui biologi sintetis.

Seema Lokhandwala, pendiri Elephant Acoustics Project, menggunakan pendengaran sebagai alat konservasi. Di negara bagian timur laut India, tempat rute migrasi gajah membelah pertanian dan desa, sensor frekuensi rendah yang diciptakannya mampu mendeteksi gemuruh kawanan gajah yang mendekat dan memperingatkan masyarakat sebelum konflik satwa-manusia terjadi.
Dengan temuannya, sekarang warga desa yang berada di dekat Taman Nasional Kaziranga dapat mencegah gajah dengan isyarat suara yang aman, sehingga menyelamatkan nyawa manusia dan tanaman produktif warga.

Lokhandwala dinilai berhasil memadukan keahlian teknologinya dengan keterlibatan lokal yang mendalam, serta melatih warga untuk merawat perangkat berbasis GPS dan memetakan rute gajah.
Di India, negara di mana ratusan orang meninggal setiap tahunnya dalam konflik manusia-satwa liar, karyanya menawarkan solusi yang berakar pada prinsip hidup koeksistensi.
“Perluasan lahan pertanian, tekanan ekonomi, dan laju globalisasi yang tak henti-hentinya mengikis toleransi yang selama ini sebenarnya memungkinkan manusia dan gajah hidup berdampingan. Kesadaran ini lalu mendorong saya untuk berupaya melindungi hubungan antara manusia dan gajah dalam hubungan koeksistensi,” tulisnya.

Hadiah Pritzker
Memasuki tahun kesembilannya, Pritzker Emerging Environmental Genius Award telah menjadi salah satu penghargaan paling bergengsi bagi para inovator di bawah usia 40 tahun.
Penghargaan ini berhadiah $100.000 dan membuka pintu global di tahap awal karier inovasi mereka. Dua pemenang kedua tahun ini masing-masing menerima tambahan $10.000.
“Kalian bertiga melakukan hal-hal yang luar biasa dan layak mendapatkan pengakuan,” kata Pritzker pada acara tersebut.
Penghargaan ini unik, karena mampu menyoroti para pemimpin muda yang menggabungkan sains dengan imajinasi moral. Panel seleksi tahun 2025 terdiri dari para dekan di UCLA, pejabat sipil, dan pemimpin pendanaan iklim.
Berbicara di acara tersebut, Pritzker menekankan pendidikan sebagai akar kesuksesan setiap finalis.
“Instrumen yang Anda gunakan, semuanya muncul dari proses pembelajaran. Menyelamatkan planet tidak terjadi secara kebetulan melainkan melalui proses di tingkat dasar, yang kemudian berkembang,” sebutnya.
Bagi Riadini, penghargaan ini merupakan pengakuan sekaligus undangan untuk memperluas semangatnya dalam regenerasi dari desa ke berbagai wilayah di seluruh dunia. “Kita tidak dapat memiliki pertumbuhan tak terbatas di planet yang terbatas,” tutupnya.
Tulisan asli pertamakali diterbtikan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit
*****
Bumi Makin Terbebani Kala Pembangunan Terus Eksploitasi Alam