- Produksi kopi di wilayah Semende, Sumatera Selatan, mengalami penurunan hingga 60 persen, tahun 2025 Penyebabnya, akibat krisis iklim.
- Penurunan produksi terjadi tiga atau empat tahun terakhir.
- Krisis iklim menyebabkan cuaca dan musim tidak menentu. Musim kemarau yang seharusnya tidak ada hujan, justru hujan dan angin kencang melanda Semende.
- Diharapkan hadir varietas baru kopi, baik robusta maupun arabika, yang mampu bertahan terhadap krisis iklim global.
Produksi kopi di wilayah Semende, Sumatera Selatan, mengalami penurunan hingga 60 persen, tahun 2025 in.i Penyebabnya, akibat krisis iklim.
“Tahun 2024 lalu, kopi yang dihasilkan dari kebun saya sekitar 1,1 ton. Sekarang kisaran 450 kilogram,” kata Dapawi (49), warga Desa Kota Agung, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, awal Oktober 2025.
Dijelaskan Dapawi, yang menanam kopi sebanyak tiga ribu batang di Antaran Palang Mayan, tanah Marga Semende, di kaki Bukit Balai Embun atau sekitar lima kilometer dari kawasan Hutan Lindung Bukit Balai Embun, selama empat tahun terakhir produksi kopinya menurun.
Tahun 2022, produsi kopi kebunnya sempat mencapai dua ton lebih. Setelah itu, anjlok hingga sekarang. “Kami diselamatkan kenaikan harga kopi, sehingga pedapatan terjaga.”
Menurunnya produksi kopi karena banyak bunga dan buah muda berguguran saat musim kemarau, sekitar Agustus-September. “Padahal selama dua bulan itu, di sini musim kemarau, yang seharusnya tidak banyak hujan disertai angin kencang,” katanya.
Syarifudin (41), warga Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, menyatakan hal yang sama. “Produksi kopi di desa ini menurun hingga 60-70 persen.”
Di desa yang berada di ketinggian rerata 2.000 meter dari permukaan laut, terdapat perkebunan kopi seluas 500 hektar, yang sebagian besar kopi robusta, dan sedikit kopi arabika.
Tahun 2025, produksi kopi kebunnya hanya 400 kilogran. Dia menanam sekitar tiga ribu pohon. Sebelumnya, tahun 2024 sebanyak 1,2 ton, serta 2022 dan 2023 sebanyak 1,5 ton. “Sempat jatuh pada 2021, kisaran 500 kilogram.”
Penyebabnya, banyak bunga dan buah muda kopi berguguran saat musim kemarau.
“Masyarakat yang menanam kopi terbantu karena harganya mencapai Rp50-an ribu per kilogram saat panen ini. Sebelumnya, turun Rp40 ribu, lalu naik Rp70 ribu,” jelasnya.
Tahun 2026 nanti, Dapawi dan Syarifudin, memperkirakan produksi kopi dari wilayah Semende tetap rendah. “Sebab, selama Agustus dan September kemarin banyak bunga dan buah muda kopi gugur,” kata Dapawi.
“Harapan kami, harga kopi terus baik, sehingga membantu kehidupan petani, meskipun produksinya rendah,” tambah Syarifudin.

Pekebunan kopi di Semende luasnya mencapai 15.640 hektar. Tersebar di Kecamatan Semende Darat Laut (10.504 hektar), Kecamatan Semende Darat Ulu (2.766 hektar), serta Kecamatan Semende Darat Tengah (2.370 hektar).
Sementara, luas wilayah Semende sekitar 99.802 hektar. Kecamatan Semende Darat Ulu yang terluas (42.664 hektar), Semende Darat Laut (26.914 hektar), dan Semende Darat Tengah (30.224 hektar).
Semende menjadi wlayah andalan Sumatera Selatan dalam produksi kopi. Sumatera Selatan adalah produsen kopi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] Tahun 2023, Sumsel menghasilkan 198 ribu ton dari total produksi nasional sekitar760 ribu ton. Produksi ini berasal dari kebun kopi seluas 267.187 hektar.
Menurunnya produksi kopi turut memengaruhi pemenuhan kebutuhan kopi untuk regional. “Kami yang menampung dan memasarkan kopi premium baik robusta maupun arabika mengalami kesulitan mendapatkan biji kopi. Permintaan tinggi dan harga naik, tapi biji kopi sulit didapatkan,” kata Aidil Fikri dari Gerai Hutan Coffee, Kamis (9/10/2025).
Gerai Hutan Coffee adalah sebuah kelompok usaha, yang memasarkan kopi dari sejumlah kelompok tani yang tergabung dalam skema perhutanan sosial (PS) di Sumatera Selatan. “Setiap bulan, kami memasarkan sektar enam ton kopi, baik robusta maupun arabika,” kata Aidil.

Krisis iklim
Zain Ismed, Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan, membenarkan penurunan produksi kopi di Sumatera Selatan, khususnya wilayah Semende. “Secara umum, kami belum memiliki data pasti. Tapi selama tiga tahun terakhir, berdasarkan informasi dari petani, terjadi penurunan produksi,” katanya, Kamis (9/10/2025).
Krisis iklim global, kata Ismed, memberikan dampak negatif tehadap produksi kopi dunia. “Brasil dan Vetnam sudah merasakan dampaknya. Sehingga memberikan keuntungan bagi petani kopi di Indonesia dikarenakan harga, akibat berkurangnya ketersediaan kopi di dunia.”
Ismed juga mengingatkan, jika kopi di Indonesia dalam kondisi terancam. Selain dampak perubahaan iklim global, juga rusaknya ekosistem hutan, akibat aktivitas ekonomi ekstraktif, seperti penambangan dan penebangan liar.
Adios Syafri, Direktur Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI), membenarkan krisis iklim memberikan dampak sigifikan terhadap produksi kopi di Sumatera Selatan.
“Berdaasarkan informasi dan data petani kopi yang terlibat PS yang kami dampingi, terjadi penurunan produksi tiga atau empat tahun terakhir.”
Penyebabnya, banyak bunga dan buah muda berguguran. “Ini bisa saja akibat krisis iklim global, yang membuat musim tidak menentu. Selain itu, perubahaan bentang alam dan aktivitas industri di sekitar kawasan hutan, turut memperparah kondisi iklim.”

Varietas baru
Krisis iklim global, kata Adios, akan menurunkan produksi kopi global. Bahkan, dalam beberapa tahun ke depan, diperkirakan kopi menjadi barang langka.
“Jika kopi ingin bertahan, harus hadir varietas baru, baik robusta maupun arabika, yang mampu bertahan terhadap cuaca tidak menentu.”
Menurunnya produksi kopi, juga dapat mendorong petani membuka lahan baru. Sebab, permintaan terus ada dan harga naik. “Pembukaan lahan kopi baru jelas mengancam keberadaan hutan. Sebab, kebanyakan petani kopi yang menetap di dataran tinggi, berada di sekitar hutan.”
Zain Ismed berharap, hadirnya varietas baru mampu bertahan terhadap cuaca dan musim tidak menentu.
“Hingga saat ini belum ada varietas baru yang bertahan di tengah krisis iklim. Termasuk, di negara-negara produsen kopi yang sudah maju teknologi dan pengetahuannya, seperti Brasil dan Kolombia. Semoga ada solusi,” jelasnya.
*****
Kopi Tapia, Simbol Kepedulian Masyarakat Penukal Terhadap Hutan