- Ular viper palsu (Psammodynastes pulverulentus) merupakan jenis tidak berbahaya.
- Viper palsu kerap dijumpai di tumpukan daun kering ketimbang di bawah tegakan pohon besar. Ia memangsa tikus, kodok, dan kadal.
- Spesies yang disebut Common Mock Viper ini, tergolong adaptif dan tidak selalu bergantung pada hutan lebat. Selama masih ada tumpukan daun kering atau semak tempat sembunyi, ia bisa bertahan. Bahkan, kadang terlihat di pinggir jalan atau mendekati rumah penduduk mengejar tikus.
- Viper palsu tersebar luas di Indonesia. Spesies ini bisa ditemukan di dataran rendah, hutan sekunder, hingga pegunungan. Namun, meskipun sebarannya luas, kajian ilmiah biologi dan ekologinya sangat terbatas
Pagi itu, di sela rutinitas membersihkan kebun kakao di Pulau Enggano, Bengkulu, Zulfan Zaviery tak menyangka akan kembali menjumpai seekor ular kecil cokelat kusam di tumpukan daun kering.
Tubuhnya menggulung, kepala sedikit mendongak, seolah siap menyerang. Namun, Zulfan paham bahwa ular ini tidak berbahaya. Ia seekor ular viper palsu (Psammodynastes pulverulentus), spesies yang kerap disalahpahami oleh umumnya warga Enggano.
“Ular ini cuma diam. Posisi kepalanya selalu sama, naik sedikit seperti mau menyerang, padahal tidak,” jelasnya, Selasa (7/10/2025).
Perilaku pasif itu kerap disalahartikan. Posisi kepalanya yang sedikit terangkat membuat banyak orang mengira ular ini bersiap menyerang. Padahal, itu hanya respons bertahan hidup dari ancaman pradator.
Fotografer satwa liar ini bilang, viper palsu kerap dijumpai di tumpukan daun kering ketimbang di bawah tegakan pohon besar.
“Warna tubuhnya yang menyerupai tanah dan daun kering membuatnya hampir tak terlihat.”
Selain di kebun, Zulfan mengaku, juga beberapa kali melihat ular yang panjang maksimal berkisar antara 50-77 cm ini di hutan.
“Selalu sendirian. Setiap kali ketemu, polanya sama. Tubuh melingkar, kepala naik sedikit, tanpa agresi.”

Penjaga ekosistem
Zulfan menjelaskan, jenis ini punya peran penting di kebun dan hutan, yaitu sebagai pengendali ekosistem alami. Viper palsu yang tersebar di Asia, khususnya Asia Tenggara, ini memangsa tikus, kodok, dan kadal.
“Kalau tidak ada ular ini, bisa-bisa tikus makin banyak. Jadi, sangat membantu kami,” terang Zulfan, yang juga berprofesi sebagai petani.
Namun, peran ekologis itu kerap tidak disadari masyarakat. Di Enggano, sebagaimana di banyak daerah lain di Indonesia, ular sering dianggap ancaman. Menurutnya, ketakutan itu bisa dikurangi melalui pemahaman lebih baik. Fungsi ular ini seperti burung hantu (Strigiformes), berperan penting mengendalikan populasi tikus.
“Bedanya, kalau burung hantu berburu di atas, ular di bawah.”
Selama tinggal di Enggano, Zulfan belum pernah mendengar kasus gigitan viper palsu. Namun, orang tetap takut karena dipikir semua ular berbahaya.
“Sekarang banyak kebun dibuka, daun-daun dibersihkan, jadi tempat sembunyi mereka berkurang.”
Spesies yang disebut Common Mock Viper ini, kata Zulfan, tergolong adaptif dan tidak selalu bergantung pada hutan lebat. Selama masih ada tumpukan daun kering atau semak tempat sembunyi, ia bisa bertahan. Bahkan, kadang terlihat di pinggir jalan atau mendekati rumah penduduk mengejar tikus.

Minim kajian ilmiah
Ganjar Cahyadi, Kurator Museum Zoologi Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan viper palsu tersebar luas di Indonesia. Spesies ini bisa ditemukan di dataran rendah, hutan sekunder, hingga pegunungan. Namun, meskipun sebarannya luas, kajian ilmiah biologi dan ekologinya sangat terbatas.
“Misalnya tentang makanannya, perilaku aktifnya siang atau malam, atau preferensi habitatnya. Masih minim sekali datanya,” terangnya, Sabtu (11/10/2025).
Keterbatasan riset, menurut dia, terjadi karena perhatian penelitian di Indonesia cenderung pada satwa besar atau endemik dengan nilai konservasi tinggi. Padahal, keberadaan spesies ‘biasa’ seperti viper justru penting sebagai indikator kesehatan ekosistem.
“Kalau populasi ular menurun, efeknya bisa terasa di pertanian.”
Untuk itu, penting dilakukan edukasi publik. Tujuannya, agar masyarakat tidak membunuh ular, dapat mengidentifikasi ular berbisa atau tidak, serta reaksi ketika bertemu ular. Ular biasanya tidak akan menyerang manusia kecuali terpojok. Bahkan, ular berbisa pun lebih memilih pergi.
“Kalau setiap ketemu dibunuh, bisa berkurang di satu daerah tertentu. Edukasi itu penting sekali, agar masyarakat tahu ular mana yang perlu dihindari dan mana yang cukup dibiarkan.”
Secara global, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan viper palsu dalam kategori Least Concern (Risiko Rendah). Artinya, populasi spesies ini masih stabil dan sebarannya luas.
Meski demikian, status ini bukan berarti tidak perlu perhatian. Dalam jangka panjang, tekanan akibat perusakan habitat dan ketakutan masyarakat bisa berdampak pada keberlanjutan populasinya di alam.
*****
Dari Welang hingga Viper, Inilah Ular-Ular Paling Berbahaya di Tiap Benua di Dunia