- Kerusakan habitat menjadikan kucing kuwuk banyak berkeliaran di luar kawasan hutan, tak terkecuali di Jawa Timur (Jatim). Hal itu ditunjukkan tren temuan satwa dengan nama latin Prionailurus bengalensis di luar kawasan yang terus meningkat belakangan ini.
- BKSDA Jatim mencatat, dalam lima tahun terakhir, tercatat 10 hingga 20 kasus Prionailurus bengalensis yang berhasil diamankan, baik itu oleh petugas lapangan, penyerahan warga, hingga penyerahan dari aparat kepolisian.
- Temuan kucing kuwuk itu tersebar secara sporadis di beberapa wilayah di Jatim yang berdekatan dengan kawasan hutan, baik Perhutani maupun taman nasional. Seperti Lamongan, Jember, Kediri, dan beberapa daerah tapal kuda lainnya.
- Perdagangan ilegal anak kuwuk dan penggunaan jerat liar menjadi ancaman paling dominan saat ini. BRIN mendorong sosialisasi dan revisi regulasi perlindungan berdasarkan data ilmiah terbaru, termasuk penguatan perlindungan habitat.
Kerusakan habitat menjadikan kucing kuwuk banyak berkeliaran di luar kawasan hutan, tak terkecuali di Jawa Timur (Jatim). Hal itu terlihat dari tren temuan satwa dengan nama latin Prionailurus bengalensis di luar kawasan yang terus meningkat belakangan ini.
Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur menyebut, dalam lima tahun terakhir, tercatat 10-20 kucing kuwuk diamankan, baik oleh petugas lapangan, penyerahan warga, atau aparat kepolisian.
“Sebagian besar dari mereka ditemukan dalam kondisi terluka, terserempet kendaraan, atau terjebak jerat,” kata Nur Patria Kurniawan, Kepala BKSDA Jatim, belum lama ini.
Menurut dia, temuan kucing kuwuk itu tersebar secara sporadis di beberapa wilayah di Jatim yang berdekatan dengan kawasan hutan, baik Perhutani maupun taman nasional. Seperti Lamongan, Jember, Kediri, dan beberapa daerah tapal kuda lainnya.
Kendati frekuensi perjumpaan dengan kucing kuwuk cenderung meningkat, Nur belum memiliki angka pasti terkait estimasi populasi spesies pemangsa mini ini di wilayahnya. Alasannya karena keterbatasan data monitoring populasi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Nur jelaskan, keberadaan satwa kecil yang oleh IUCN dikategorikan sebagai spesies berisiko rendah (Least concern) ini masih tercatat di sejumlah kawasan hutan konservasi dan non-konservasi. Misalnya saja, di kawasan suaka alam atau tutan lindung yang berada di bawah naungan Perhutani.
“Di luar kawasan inti, kemungkinan besar kucing kuwuk masih menghuni daerah penyangga dan zona transisi antara hutan dan permukiman,” katanya.
Kemungkinan itu makin terbuka area sekitar didukung elemen habitat alami seperti tutupan semak, pepohonan, dan keberadaan mangsa alami seperti tikus dan burung kecil.

Kian terancam
Namun, habitat alami kucing dikenal juga dengan leopard cat ini terancam oleh berbagai tekanan. Ancaman terhadap kelangsungan spesies ini datang dari banyak sisi, mulai dari rusaknya habitat hingga perdagangan ilegal. Terutama terhadap anak kucing kuwuk yang kerap dijadikan satwa peliharaan eksotik.
Kajian ilmiah oleh Rafihanifah Dimas Aprianza dari IPB University, yang mencatat sebanyak 40 kasus perdagangan ilegal kucing kuwuk selama periode sembilan tahun (2014-2023). Selama kurun waktu itu, total 109 individu kucing kuwung diperjual-belikan.
Data ini terhimpun dari berbagai sumber, seperti Direktori Pustaka Mahkamah Agung, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), media daring, hingga platform media sosial.
“Interaksi negatif dengan manusia, terutama di wilayah pertanian dan pemukiman dekat hutan, juga menjadi ancaman serius.”
Selain itu, penggunaan jerat oleh pemburu liar turut memperburuk situasi.
Alat tangkap yang tidak selektif ini sering kali menjebak satwa non-target seperti kucing kuwuk. “Saat ini, ancaman perdagangan ilegal dan interaksi dengan manusia tampaknya menjadi paling dominan,” kata Nur.
Kendati hadapi berbagai tekanan, di waktu yang sama, kesadaran untuk mengkonservasi satwa ini juga meningkat. Hal itu terlihat pelaporan dan penyerahan kucing kuwuk oleh masyarakat. Tak jarang, inisiatif ini juga datang dari komunitas pecinta satwa maupun mitra lokal yang peduli terhadap isu konservasi.
Nur bilang , meningkatnya pelaporan oleh warga mencerminkan tren positif kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan satwa liar. Meski demikian, ia tekankan bahwa kesadaran ini masih perlu terus diperkuat melalui edukasi yang berkelanjutan dan menjangkau hingga ke tingkat tapak.
“Untuk mendorong penyelamatan satwa liar, termasuk kucing kuwuk dari masyarakat akar rumput, kami telah menggulirkan berbagai program edukasi.”
Salah satunya, melalui program Rimbawan Mengajar, sebuah kegiatan yang menyasar sekolah-sekolah, desa-desa, dan komunitas yang berada di sekitar kawasan hutan. Edukasi ini, jelas Nur Patria turut diperkuat dengan pelatihan pengenalan satwa liar dilindungi kepada tokoh masyarakat dan mitra lokal yang jadi garda depan konservasi tingkat desa.

Perkuat perlindungan
Nurul Inayah, Periset dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, perlindungan terhadap spesies karnivora kecil ini perlu diperkuat. Tidak hanya dari sisi sosial dan edukatif, namun juga melalui kerangka hukum berbasis data ilmiah.
“Kucing kuwuk memang kecil, tapi ia adalah satwa liar karnivora yang dilindungi. Perjumpaannya di luar habitat semakin sering terjadi, bahkan kerap diperdagangkan secara ilegal,” katanya.
BRIN, mendorong adanya sosialisasi dan kampanye publik yang lebih masih tentang status perlindungan kucing kuwuk.
Dia tegaskan, perlindungan ini tidak cukup hanya pada spesiesnya saja, namun harus mencakup pelestarian habitat alaminya.
“Masyarakat perlu terus diingatkan bahwa kucing kuwuk bukanlah satwa peliharaan, melainkan bagian penting dari ekosistem sebagai predator alami.”
BRIN juga menyoroti urgensi pembaruan regulasi perlindungan satwa liar di Indonesia.
Sebagai bagian dari anggota Scientific Authority Indonesia, BRIN tengah mempersiapkan usulan revisi regulasi perlindungan satwa liar, termasuk pembaruan nomenklatur spesies seperti kucing kuwuk. Langkah ini, katanya, penting untuk memastikan bahwa kebijakan perlindungan satwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika lapangan.
*****