- Bentang alam di Kecamatan Maba Selatan relatif terjaga berkat kearifan lokal masyarakat adat di Desa Bicoli. Lewat kesepakatan tak tertulis yang dibuat para tetua adat, mereka melarang memperjual-belikan lahan dan atau menyerahkan lahan di bawah penguasaan perorangan.
- Kesepakatan ini cukup efektif mencegah kerusakan alam oleh industri ekstraktif, seperti yang saat ini terjadi di wilayah Halmahera Timur. Catatan Jatam, terdapat 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektar yang saat ini beroperasi di Halmahera Timur.
- Pada Desember 2024, lembaga Jefferson memfasilitasi pertemuan forum adat di bawah Kesangajian Bicoli di Halmahera Timur. Kegiatan yang berlangsung di Balai Desa Wayamli, Halmahera Timur itu dihadiri Para Sangaji dan tetua adat masing-masing di Maba. Perwakilan masyarakat adat O’Hongana Manyawa, atau Suku Tobelo Dalam Desa Lili Maba Utara juga ikut hadir.
- Pertemuan melahirkan lima rekomendasi. Pertama, penguatan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah dan stuktur adat kesangadjian, penegasan tata batas wilayah adat di darat/hutan dan laut, penguatan aturan adat tentang tanah, hutan dan perairan; perlindungan ekosistem hutan, sungai, pesisir dan laut dan kelima, reclaiming wilayah hutan dan perairan.
Sarade Kasim tampak begitu sibuk. Ditemani istrinya, Nurima, dia membuat rumah kayu di lahan yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya di Desa Bicoli Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Lebih 15 tahun lalu dia memanfaatkan lahan seluas dua hektar itu untuk pala dan kelapa. Ketika ke sana belum lama ini, pala sedang berbuah. Sebagian sudah panen. Dari menjual hasil pala dan kelapa itu pula, dia dan keluarga gantungkan hidup.
Rumah kayu sengaja dia buat untuk tempat istirahat saat berada di kebun. “Buat tempat istirahat pas jaga kebun. Rencananya juga mau tanam pisang,” katanya.
Cerita Sarade dan istrinya, adalah contoh ruang hidup warga yang masih terjaga. Dari kebun di pinggir jalan itu, ida manfaatkan dengan menanaminya berbagai tanaman. Selain pala dan kelapa, ada juga tanaman pangan lain, seperti sagu yang membuatnya tak harus bergantung dari komoditas lain.

***
Maba Selatan, dengan laut, hutan dan bentang karstnya memang relatif terjaga. Kondisi ini berbeda dengan saudara-saudara mereka di Maba Utara maupun sekitar Kota Maba, ibu kota Halmahera Timur. Hutan dan lahan di kawasan itu sebagian besar sudah hancur akibat masuknya industri ekstraktif (tambang).
Masyarakat adat di Desa Bicoli, Kasuba, Momole, Sil dan Sowoli, Maba Selatan memiliki kesepakatan tidak tertulis dari para tetua adat mengenai pemanfaatan ruang laut dan darat. Salah satu kesepakatan penting itu adalah larangan untuk memperjualbelikan lahan atau menyerahkan penguasaan lahan pada satu orang. Tujuannya tidak ada monopoli sumber daya.
“Kita sudah punya pegangan kesepakatan orang tua–tua bahwa laut dan darat tidak bisa dibagi atau dijual. Ruang hidup itu dikelola bersama dan menjadi sumber kesejahteraan bersama,” kata Sangaji Bicoli Samaun Seba belum lama ini.
Sangaji dalam struktur Kesultanan Tidore adalah kepala wilayah di bawah kesultanan, sekaligus sebagai pemangku adat.
Menurut dia, kesepakatan tidak tertulis itu sudah pernah berjalan saat perkebunan monokultur pada 2010. Saat itu, warga memegang dasar kesepakatan, akhirnya mereka menolak investasi perkebunan sawit di Maba Selatan.
“Waktu itu kita diundang ke Maba Ibu Kota Kabupaten bahas perkebunan sawit. Namun masyarakat satu suara menolak,” kata Samaun.
Kala itu, meski perkebunan sawit belum beroperasi, investor sudah bagi-bagi uang kepada warga capai miliaran rupiah.
“Kita sudah lupa nama perusahaannya. Sudah cukup lama. Mereka bagi uang kepada masyarakat Bicoli. Per keluarga jutaan rupiah,” ceritanya.
Hal ini memunculkan kecurigaan warga bahwa di balik rencana investasi perkebanan sawit itu ada target lain terutama mineral dari dalam bumi.
Kecurigaan itu sangat beralasan. Pasalnya, survei potensi tambang di wilayah ini telah d berulang kali. Termasuk, survei potensi tambang bauksit dan batu gamping. Malahan, kata Samaun, soal rencana tambang bauksit itu juga sempat dilakukan eksplorasi, meski pada akhirnya batal berlanjut.
Dia juga cerita, kala masuk investasi tambang ke Halmahera Timur hampir semua kelompok masyarakat ke hutan dan kavling kawasan hutan. Tujuannya mendapatkan keuntungan ketika ada aktivitas perusahaan tambang. “Kejadian semacam ini yang kita tidak inginkan.” katanya.
Sebagai pemangku adat, Sangaji Bicoli menolak praktik semacam itu terjadi di wilayahnya dan 4 desa sekitarnya. Warga tidak bisa main kavling karena wilayah darat dan laut itu sudah disepakati menjadi milik bersama warga lima desa.
Dasar ini juga sangat kuat karena warga di lima desa itu awalnya berasal dari 1 desa induk yang sama sehingga memiliki hak atas ruang hidup sama. “Kalau ada perusahaan yang masuk dan dianggap merugikan masyarakat, ditolak,” katanya.
Soal wilayah desa secara administrasi bisa mereka bagi tetapi pengelolaan wilayah laut dan darat kelola bersama. Untuk lahan yang sudah dikelola untuk perkebunan, menjadi milik masing-masing orang. Hutan dan laut itu milik bersama.
Wilayah Bicoli menurutnya tidak hanya desa dalam satu wilayah Bicoli, tetapi sampai Desa Sakam di perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Saat ini hutan dan lahan di Halmahera Timur telah dieksploitasi secara massif. Pertambangan nikel gencar mengeksploitasi daerah itu. Tidak hanya di daratan utama, tetapi juga pulau-pulau kecil yang ada disana juga porak poranda karena ditambang.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, di Halmahera Timur terdapat 27 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi 172.901,95 hektar. Kecamatan Maba Selatan menjadi salah satu dari sebagian kecil wilayah Halmahera Timur yang bebas dari pertambangan.
Rusdin Alauddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dalam risetnya berjudul “Identifikasi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam” menyinggung adanya ketegangan yang terjadi di Maba Selatan akibat konflik sumber daya alam. Misal, konflik berkaitan dengan rencana investasi P Karya Cipta Sukses Lestari (KSL).
Ada juga konflik antara masyarakat dengan PT Agro Plasma Nusantara (APN), perusahaan perkebunan sawit. Ketika itu, perusahaan mendapatkan izin lokasi dari Bupati Halmahera Timur Nomor: 188.45/63-590/2008 17 juni 2008.
Perusahaan sempat melakukan pembayaran lahan kepada masyarakat. Namun, belakangan warga menolak karena perusahaan dianggap menipu warga terkait luas lahan yang akan dimanfaatkan.
“Perusahaan bermohon pengelolaan hutan [dalam] APL (areal penggunaan lain) yang mana sesuai Perda 105 tahun 2006 Haltim mengatur bahwa hutan produksi itu juga dihitung sebagai APL. Namun saat dikonsultasikan ke Kementerian Kehutanan di Jakarta ternyata ada keputusan Menteri tahun 2007 yang mengatur bahwa hutan produksi konversi bukan bagian dari APL,” tulisnya.
Perusahaan kemudian memperbarui izin. Namun, belum juga izin terbaru keluar, muncul izin eksplorasi bauksit dari KSL yang memantik penolakan dari warga.
Penguatan forum adat
Jefferson, Direktur LSM Fala Lamo mengakui, alam di Maba Selatan yang masih terjaga tak lepas dari peran masyarakat adat untuk menjaganya. Kesepakatan-kesepakatan tak tertulis yang dibuat para tetua adat terbukti efektif mencegah rusaknya bentang alam oleh rencana investasi industri ekstraktif.
Kenyataan itu yang membuat lembaganya melakukan pendampingan guna memperkuat struktur dan kelembagaan masyarakat adat.
“Mereka terbukti mampu mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman kerusakan akibat industri ekstraktif, maka, itu diperkuat.”
Dia katakan, wilayah Sangaji Bicoli meliputi lima desa itu tidak bisa terbagi berdasarkan batas desa tetapi sebagai satu kesatuan kawasan. Dia sudah memetakan wilayah kelola mereka. Termasuk melakukan survei mengumpulkan data perikanan dan kelautan.
Pada ruang laut misal, terdapat lima pulau kosong yang saat ini kelola bersama untuk kepentingan pariwisata, sekalipun untuk tanaman, seperti kalapa tetap menjadi milik warga yang menanam. Menurut Jefferson, karst di Maba Selatan harus dipertahankan karena menyimpan sumber air penting bagi wilayah itu.
Pada Desember 2024, lembaga Jefferson memfasilitasi pertemuan forum adat di bawah Kesangajian Bicoli di Halmahera Timur. Kegiatan di Balai Desa Wayamli, Halmahera Timur itu dihadiri Para Sangaji dan tetua adat masing-masing di Maba. Perwakilan masyarakat adat O’Hongana Manyawa, atau Suku Tobelo Dalam Desa Lili Maba Utara juga ikut hadir.
“Forum ini adalah penguatan fungsi dan peran kelembagaan adat dalam struktur adat Kesangdjian Bicoli. Forum ini juga mendiskusikan sikap masyarakat adat Kesangadjian Bicoli terhadap berbagai isu social, budaya dan lingkungan yang berkembang dalam wilayah adatnya saat ini,”kata Jefferson.
Forum Adat ini diharapkan dapat melihat kelengkapan struktur kelembagaan adat di seluruh desa pesisir. Selain itu bisa ada kesepahaman fungsi dan peran kekinian serta kesepakatan kelembagaan adat kesangadjian.
“Forum adat ini penting diadakan agar semua bisa duduk bersama menyelesaikan masalah dan memberikan rekomendasi kepada pihak Kesultanan Tidore,” kata Sangaji Bicoli Samaun Seba.
Habian, Kepala Desa Lili di Kecamatan Maba Utara, juga wakili Masyarakat Adat O fongana Manyawa bilang, kehidupan mereka tidak bisa terpisahkan dari alam. Karena itu, forum ini sangat penting sebagai wadah perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup. “O’akere de O’Fongana mea wowango mangii (Sungai dan hutan adalah tempat hidup kami),” kata Habian.
Pertemuan melahirkan lima rekomendasi. Pertama, penguatan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah kesangadjian (termasuk soa atau kampung), struktur kelembagaan adat dan regenerasi kepemimpinan/tokoh adat. Kedua, penegasan tata batas wilayah adat di darat/hutan dan laut. Ketiga, penguatan aturan adat tentang tanah, hutan dan perairan. Keempat perlindungan ekosistem hutan, sungai, pesisir dan laut. Kelima, reclaiming wilayah hutan dan perairan.
*****