- Masyarakat adat memiliki kekayaan intelektual yang perlu negara akui dan lindungi serta lestarikan. Regulasi perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) saja tidak mampu dan tak cocok menjadi payung hukum kekayaan intelektual masyarakat adat. Untuk itu, perlu segera mengesahkan UU Masyarakat Adat.
- Mika Ganobal, Masyarakat Adat Fanan, Kepulauan Aru, Maluku, mengatakan, selama ini, negara masih memperlakukan masyarakat adat sebagai masyarakat kelas dua di republik ini. Ada ketidakadilan negara terhadap masyarakat adat, salah satunya soal hak tanah.
- Arimbi Heroepoetri, dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengatakan, dalam masyarakat adat, setidaknya ada tiga hal yang melekat, yaitu, asal-usul leluhur mereka, aturan adat yang mengikat perilaku mereka, dan wilayah adat.
- Agustinus Kastanya, Guru Besar Perencanaan Hutan dan Ekonomi Sumber Daya Hutan, Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, mengatakan, RUU Masyarakat Adat adalah hak bukan hadiah. Masyarakat adat adalah benteng terakhir etika dan ekologi bangsa. Bila bangsa ini ingin menjadi bangsa yang besar, katanya, harus menguatkan akar budaya, menyuburkan, bukan malah menghapusnya.
Masyarakat adat memiliki kekayaan intelektual yang perlu negara akui dan lindungi serta lestarikan. Regulasi perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) saja tidak mampu dan tak cocok menjadi payung hukum kekayaan intelektual masyarakat adat. Untuk itu, perlu segera mengesahkan UU Masyarakat Adat.
Mika Ganobal, Masyarakat Adat Fanan, Kepulauan Aru, Maluku, mengatakan, masyarakat adat punya kekayaan intelektual antara lain, pengetahuan pertanian, pengelolaan sumber daya alam, arsitektur, astronomi, botani, dan lain-lain.
“Pertanian berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, bagi saya, masyarakat adat ini tak terbantahkan kemampuan(nya) dan keinginan tetap menjaga keanekaragaman hayati. Itu selalu ada dari dulu sampai sekarang,” katanya dalam diskusi daring, belum lama ini.
Mika contohkan, ada sasi, yang jadi upaya perlindungan terhadap kekayaan alam. Ia berupa larangan mengambil hasil alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati, kalender musim, dan tumbuhan obat dan lain-lain.
“Mangrove yang tumbang itu … di dalamnya itu ada cacing atau kalau di sini bahasa lokalnya, tambelo. Itu bisa untuk menambah ASI (air susu ibu). Kemudian bisa untuk flu, untuk demam dan malaria,” kata Mika.
Dalam realitasnya, masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan, mereka perlu perlindungan hak dan perlindungan kekayaan intelektual mereka seiring globalisasi.
Tantangan lain, kurangnya dokumentasi berbagai kearifan lokal masyarakat adat dsn minim pengakuan hukum dari negara.
“Negara belum memberikan ruang cukup untuk masyarakat adat lewat Undang-undang atau regulasi untuk bisa berekspresi, mengatur kehidupan sendiri lewat segala potensi mereka,” katanya.

Selama ini, kata Mika, negara masih memperlakukan masyarakat adat sebagai masyarakat kelas dua di republik ini.
Ada ketidakadilan negara terhadap masyarakat adat, salah satunya soal hak tanah.
‘Sejatinya, mereka berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mampu mengatur keberlanjutan kehidupan mereka dengan hukum adat.”
Untuk itu, RUU Masyarakat Adat yang sudah berulang kali masuk bahasan DPR dan pemerintah segera ada pengesahan.
Arimbi Heroepoetri, dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengatakan, dalam masyarakat adat, setidaknya ada tiga hal yang melekat, yaitu, asal-usul leluhur mereka, aturan adat yang mengikat perilaku mereka, dan wilayah adat.
Pengetahuan dan teknologi masyarakat adat itu adalah kekayaan intelektual, seperti teknik membangun kapal, menenun kain, pengetahuan tentang obat-obatan, atau pengetahuan masyarakat adat tentang cuaca dan musim.
Ada banyak regulasi mengatur semacam itu, seperti Undang-undang Nomor 14/2001 tentang Paten. Ia mengatur hak eksklusif atas penemuan produk atau proses produksi.
“Apakah meramu warna-warna, semisal untuk mewarnai benang tenun, dari tumbuh-tumbuhan yang telah diketahui masyarakat adat sejak ratusan silam masuk kategori “penemuan baru”? tanya Arimbi.
Juga UU Nomor 15/2001 mengatur tentang merek. Masyarakat adat tak peduli dengan merek. Arsitektur rumah adat, misal, tak ada merek tetapi menjadi identitas mereka.
“Tetapi akan menjadi masalah kalau tiba-tiba ada berbagai macam orang melakukan pematenan dan mencap merek, misal, berbagai macam produk masyarakat adat hingga UU merek tidak cocok dengan masyarakat adat.”
Bagi Arimbi, pengakuan kekayaan intelektual masyarakat adat ini tidak bisa disamakan pada UU Kekayaan Intelektual atau Merek yang berlaku sekarang.
Dalam konteks pengakuan warisan budaya oleh Unesco, misal, kendati warisan budaya seperti batik, wayang kulit, angklung, reog Ponorogo, Candi Borobudur, dan lain-lain adalah produk budaya, lembaga PBB ini tidak eksplisit mengatakan semua itu produk masyarakat adat.
“Rezim WTO yang ngomongin soal kekayaan intelektual, bicara soal intellectual property rights. Bicara soal property, hak ekonomi. Masyarakat adat tak ngomong soal hak ekonomi. Mereka bicara soal bagaimana pengetahuan, bagaimana teknologi itu diakui, dihormati, dan dilindungi dalam konteks HAM.”
Dari situ, katanya, muncul pertanyaan lebih lanjut. “Apakah intellectual rights itu sama dengan local wisdom atau sama dengan kearifan tradisional yang sering didengung-dengungkan?” katanya.
Untuk itu, kata Arimbi, RUU Masyarakat Adat mendesak.
“Pakaian adat yang hampir 10 tahun belakangan ini sudah hadir sampai istana, tetapi belum ada pengakuan masyarakat adat sebagai seorang manusia yang utuh … yang punya aktivitas, yang punya indra, yang punya pengetahuan, dan manusia yang hidup sampai sekarang.”
Agustinus Kastanya, Guru Besar Perencanaan Hutan dan Ekonomi Sumber Daya Hutan, Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, mengatakan, UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 jelas menyatakan. negara mengakui eksistensi masyarakat adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/2012 juga mengakui hutan adat bukan milik negara. Sayangnya, negara ini masih tentukan syarat-syaratnya, seperti harus ada peraturan daerah (perda), hukum adat di daerah-daerah.
Sebenarnya, dari situ ada pengakuan konstitusional dari negara namun tidak disertai perlindungan hukum yang baik.
“Negara harus bisa memanfaatkan (masyarakat adat) sebagai kekayaan bangsa, negara, dalam arti dimiliki oleh rakyat sendiri atau masyarakat yang memang menjadi bagian esensial dari bangsa ini,” kata Agustinus dalam diskusi itu.

UU tentang hak kekayaan intelektual, katanya, bersifat individual dan kapitalistik. Sedangkan, masyarakat adat itu komunal dan spiritual, berbeda dengan RUU Masyarakat Adat.
RUU Masyarakat Adat, tidak untuk mengkapitalisasi dan mendestruksi masyarakat adat, tetapi melihat mereka sebagai masyarakat yang menjaga harmoni alam dan menjadi benteng bangsa dan negara.
“Tetapi pemimpin-pemimpin kita setelah menjadi pemimpin, termasuk teman-teman di politik, itu sama sekali tidak melihat ini sebagai tanggung jawab. Mereka memiliki suara-suara dari masyarakat adat yang begitu luar biasa. Ini negara kalau maju kan mesti masyarakatnya maju. Bagaimana tidak memperhatikan itu?”
Bagi Agus, RUU Masyarakat Adat adalah hak bukan hadiah. Masyarakat adat adalah benteng terakhir etika dan ekologi bangsa. Bila bangsa ini ingin menjadi bangsa yang besar, katanya, harus menguatkan akar budaya, menyuburkan, bukan malah menghapusnya.
“Saatnya negara berdiri ‘bersama’ bukan ‘di atas’ mereka. Mesti berdiri bersama, bukan menginjak, bukan berdiri di atas masyarakat adat.”
Dia menyadari, banyak tantangan dalam legislasi RUU Masyarakat Adat ini, salah satu, adalah konflik kepentingan. Pemerintah lebih mementingkan investasi daripada hak masyarakat adat. Padahal, terkadang investasi itulah yang menghancurkan tatanan masyarakat adat.
Agus mengimbau, negara menghentikan pendekatan-pendekatan pembangunan yang mengabaikan hak ulayat atau hak-hak adat masyarakat.
“Segera sahkan RUU Masyarakat Adat.”

*****
Adakah Titik Terang soal Pengesahan RUU Masyarakat Adat di DPR?