- ‘Lampu hijau’ pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat muncul kembali di DPR. Tetapi, harus ada penegasan substansi supaya proses ada kejelasan dan tidak berlarut.
- Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, mengatakan hal itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (26/5/2025). Dia bilang, sinyal itu datang dari pimpinan DPR RI yang sampaikan dukungan dan persetujuan untuk mulai proses pembahasan RUU Masyarakat Adat, dalam sebuah rapat pertengahan April lalu.
- Yance Arizona, akademisi Universitas Gajah Mada, bilang, RUU Masyarakat Adat seharusnya jadi alat untuk melawan kolonisasi. Soalnya, meski Indonesia telah merdeka, tetapi sampai hari ini masyarakat adat masih terjajah dengan adanya konsesi-konsesi di hutan adat mereka.
- Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan, setuju dengan prosedur pengakuan masyarakat adat yang bersifat administratif dan sederhana. Namun, proses itu harus akuntabel dan mengacu deklarasi PBB tentang masyarakat adat.
‘Lampu hijau’ pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat muncul kembali di DPR. Tetapi, harus ada penegasan substansi supaya proses ada kejelasan dan tidak berlarut.
Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan hal itu dalam diskusi di Jakarta, Senin (26/5/25). Dia bilang, sinyal itu datang dari pimpinan DPR yang sampaikan dukungan dan persetujuan untuk mulai proses pembahasan RUU Masyarakat Adat, dalam rapat pertengahan April lalu.
Dengan ‘lampu hijau’ itu, Dia minta akademisi dan organisasi masyarakat sipil beri dukungan melalui identifikasi batasan norma. Selama ini ruang lingkup masalah menyangkut masyarakat adat terlalu luas dan memengaruhi pembahasan RUU
Contoh, pembahasan ihwal pengakuan, ekspresi budaya, kepercayaan yang tidak dilindungi negara, bahasa yang hilang atau terancam hilang tiap tahun, hingga masalah-masalah terkait agraria. Luasnya ruang itu akan bikin durasi pembahasan RUU jadi lebih panjang. Menurut dia, penting ada identifikasi dan pembatasan norma untuk percepatan pembahasan.
“Kalau kita punya batasan, pasti akan cepat. Di sinilah kawan-kawan akademisi dan NGO buat ‘bandul’ itu. Sehingga kami di parlemen tahu batas-batasnya.”
Identifikasi dan pembatasan lingkup peraturan juga berguna sebagai bahan merumuskan ulang naskah akademik yang relevan dengan kondisi terkini. Apalagi, dalam beberapa waktu belakangan, ada perubahan struktur dan nomenklatur di pemerintahan.
Misal, nomenklatur Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) bisa jadi rujukan perlindungan masyarakat adat seturut perspektif HAM. Serta, mengurangi rumitnya birokrasi dalam proses pengakuan komunitas maupun wilayah adat.
“Naskah akademik lama dibikin dengan struktur politik lama, sekarang sudah ada struktur politik baru. Supaya relevan, bagus juga kita bikin naskah akademik baru,” katanya. “Kita perlu duduk bersama, bikin boundaries-nya, sehingga bisa tentukan naskah akademiknya seperti apa.”
Selain itu, Martin mendorong akademisi dan organisasi masyarakat sipil untuk lakukan konsolidasi non parlemen, termasuk diskusi dengan fraksi-fraksi. Tujuannya, menyelaraskan pemahaman tentang kebutuhan-kebutuhan RUU Masyarakat Adat.
“Tidak ada salahnya juga ajukan surat, saya nanti akan bantu fasilitasi untuk bisa bertemu dengan fraksi-fraksi, pimpinan DPR dan sebagainya. Sehingga kita bisa lakukan komunikasi-komunikasi tersebut dan perkecil mispresepsi.”

Diskursus perlindungan dan HAM
Akademisi dan sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil pun memberi catatan. Menurut mereka, pembahasan RUU tidak boleh lepas dari konteks pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta ruang hidupnya.
Yance Arizona, akademisi Universitas Gajah Mada, bilang, RUU Masyarakat Adat seharusnya jadi alat melawan kolonisasi. Soalnya, meski Indonesia sudah merdeka, sampai hari ini masyarakat adat masih terjajah dengan ada konsesi-konsesi di hutan adat mereka.
“Jadi perjuangan RUU Masyarakat Adat mesti diletakkan dalam konteks mengakhiri kolonisasi. Tapi, RUU ini baru bisa jadi senjata ampuh kalau kita mengasahnya, berdebat, tidak sekadar jadi. (Hingga) punya kesaktian untuk bantu masyarakat adat menghadapi berbagai ancaman terhadap wilayahnya.”
Dari sisi substansi, katanya, RUU perlu beri penekanan lebih pada perlindungan masyarakat adat. Karena, selama ini diskursus pengakuan seringkali beri ruang opsional pada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah boleh akui, boleh tidak. Dampaknya, masyarakat adat yang belum dapat pengakuan dianggap tidak ada.
Sementara, diskursus perlindungan merupakan tanggung jawab dan tujuan filosofis terbentuknya negara. “Ketika tidak ada perlindungan, bukan berarti masyarakat adat tidak ada. Masyarakat adat ada, tapi pemerintah belum lakukan tanggung jawabnya,” katanya.
Selain itu, katanya, perubahan harus berlaku pada pendekatan pemerintah dalam mengakui masyarakat adat. Dari yang sifatnya birokratis ke pendekatan berdasarkan hak asasi manusia (HAM).

Selama ini, terdapat sejumlah tahapan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yakni identifikasi, verifikasi dan validasi, serta penetapan masyarakat hukum adat, seperti diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014. Menurut dia, ketentuan itu berbiaya besar, rumit dan sulit dipenuhi masyarakat adat tanpa bantuan organisasi masyarakat sipil.
Sebagai gantinya, Yance usulkan Bab 3 UUD 1945 yang mengatur tentang HAM, sebagai landasan konstitusional pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
“Jadi pendekatannya ke depan harus digeser, bukan lagi pendekatan politik, tapi pelayanan administrasi kepada warga negara. Itu bisa dilakukan dengan andaikan pencatatan masyarakat adat dengan registrasi. Bukan lagi dengan Perda atau SK. Saya bayangkan (registrasi) masyarakat adat seperti data KTP, itu self identification.”
Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), meminta prosedur pengakuan masyarakat adat yang bersifat administratif dan sederhana tetapi proses itu harus akuntabel dan mengacu deklarasi PBB tentang masyarakat adat.
“Prinsip pertamanya, self identification. Tapi tidak berdiri sendiri, selalu diikuti prinsip lain yaitu identification by others. Itulah yang kita terjemahkan sebagai verifikasi. Tapi perlu kita bahas bagaimana mekanismenya.”
Dia bilang, RUU harus jadi pengakuan dan perlindungan hak atas tanah, sumber daya alam dan hutan sebagai norma fundamental. Tanpa itu, persoalan yang masyarakat adat hadapi tidak akan terselesaikan.
“Jadi apa yang tidak boleh tidak ada di UU masyarakat, dipertemukan dengan kepentingan-kepentingan investasi misalnya. Titik jumpanya di mana, itu yang harus disepakati,” kata Erasmus.

Tekankan pengakuan
Siti Rahmah, perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan, diskursus pengakuan harus tetap jadi norma penting dalam RUU. Bagi dia, tanpa pengakuan tidak akan pernah ada perlindungan pada masyarakat adat.
Selain itu, tanpa pengakuan, masyarakat adat akan terus dianggap ilegal hidup di tanahnya sendiri. Dampaknya, mereka rentan intimidasi, konflik, hingga perampasan ruang hidup dan hutan adatnya.
“Itulah sebabnya Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat jadikan pengakuan sebagai bagian penting dalam draf RUU versi koalisi,” katanya.
Hal lain yang penting dalam RUU adalah restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Selama ini, banyak pelanggaran terhadap hak masyarakat adat yang menimbulkan kerugian moril dan materil yang tidak terhingga. Negara, katanya, harus mengakui kesalahan itu dan kembalikan hak-hak masyarakat adat.
Meski demikian, usulan mempermudah proses pengaukan masyarakat adat telah sesuai dengan draf RUU versi koalisi. Draf itu, katanya, telah mengatur identifikasi diri oleh masyarakat adat dan tata cara pengakuan yang lebih mudah, sebagai anti-tesis pengakuan yang rumit dan top-down.
“Usulan dari pak Yance itu menarik dan tidak banyak kontradiksi dengan yang ada di naskah (RUU versi koalisi), cuma itu ada di level teknis. Kalau ada perubahan sedikit di naskah, kami bersedia mendiskusikannya. Demikian juga dengan naskah akademik (versi koalisi), bisa diutak-atik lagi.”

*****