- Kementerian Lingkungan Hidup (LH) mendorong Jawa Barat (Jabar) merevisi Rencana Tata Ruang dan Wilayahnya. (RTRW). Pasalnya, provinsi ini kehilangan kawasan lindung hingga 1,2 juta hektar dalam 12 tahun. Tahun 2022, luasnya hanya 400 ribu hektar, menurun drastis dari 1,6 juta hektar tahun 2010.
- Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut, banyak alih fungsi lahan menjadi unit-unit usaha. Ini yang menyebabkan sejumlah daerah di Jabar mengalami bencana hidrometeorologi sejak Maret 2025, termasuk Bekasi, Bogor, dan Depok, yang merupakan penyangga Jakarta.
- Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), mendukung wacana revisi RTRW Jabar yang bermasalah. Dari catatannya, RTRW 2010 semula menargetkan kawasan lindung Jabar 45% atau sekitar 1,7 juta hektar, kemudian di RTRW 2022 kawasan lindung menyusut hanya jadi 581 ribu hektar.
- Wahyudin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, menilai, sudah sepatutnya RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mengubah zona kawasannya yang memiliki fungsi penting seperti zona resap air, kawasan lindung hingga zona konservasi.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mendorong Jawa Barat (Jabar) merevisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Pasalnya, provinsi ini kehilangan kawasan lindung hingga 1,2 juta hektar dalam 12 tahun. Tahun 2022, luas hutan lindung hanya 400.000 hektar, menurun drastis dari 1,6 juta hektar pada 2010.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, banyak alih fungsi lahan menjadi unit-unit usaha. Ini yang menyebabkan sejumlah daerah di Jabar mengalami bencana hidrometeorologi sejak Maret 2025, termasuk Bekasi, Bogor, dan Depok, yang merupakan penyangga Jakarta.
“Unit-unit usaha yang kami indikasi memperparah terjadinya banjir berposisi di hulu Sungai DAS Ciliwung maupun hulu DAS Sungai Bekasi,” katanya dalam rapat bersama DPR beberapa waktu lalu.
Dari hasil telisiknya, Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jabar jadi pangkal masalah. Perda Jabar nomor 9 tahun 2022 itu, tidak sesuai dengan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang KLH–saat itu masih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan–keluarkan, dan mereduksi jumlah target kawasan lindung.
Padahal, katanya, rekomendasi KLHS ini merupakan prasyarat perubahan tata ruang. Dia pun menyurati Gubernur Jabar Dedi Mulyadi untuk mengkaji ulang RTRW yang saat ini berlaku. Juga, memerintahkan Jabar mengevaluasi izin operasi unit-unit usaha di kawasan hutan lindung.
“Surat ini juga sudah kami sampaikan secara detail terkait posisi, termasuk nama-nama perusahaan secara lengkap karena memang tidak bersesuaian dengan KLHS yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup.”
Hanif bilang, KLH melakukan sejumlah upaya penegakan hukum termasuk pengawasan intensif terhadap bangunan-bangunan yang terindikasi menimbulkan dan memperparah kondisi banjir di Sungai Ciliwung maupun di Sungai Bekasi.
KLH menerapkan pendekatan multidoors atau berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk menangani kasus terkait perusakan lingkungan di Jabar.
“Di antaranya paksaan pemerintah, kemudian pengenaan pidana, pengajuan pidana dan gugatan perdata. Tiga mekanisme ini kami tempuh semuanya di dalam rangka melakukan perbaikan tata kelola dari hulu DAS di Sungai Ciliwung maupun Sungai Bekasi.”
Dia pun sudah mengantongi sejumlah nama perusahaan dan unit usaha yang akan mereka tindak. Di antaranya, proyek skala besar lapangan golf di hulu DAS Bekasi.
Proyek ini berdekatan dengan Gunung Gede-Pangrango dan dia duga timbulkan kerusakan serius dan memperparah bencana hidrometeorologi bulan Maret lalu.
KLH, katanya, juga sudah menyurati 33 unit usaha berbentuk Kerja Sama Operasi (KSO) utuk membongkar mandiri unit usahanya. Dia beri waktu 30 hari sejak surat mereka terima.
“Bilamana 30 hari ke depan tidak dilakukan pembongkaran, maka pemerintah melalui menteri lingkungan hidup akan melakukan pembongkaran dan melakukan pemberatan sanksi termasuk potensi pengenaan sanksi pidananya,” katanya.

Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), mendukung wacana revisi RTRW Jabar yang bermasalah. Dari catatannya, RTRW 2010 semula menargetkan kawasan lindung Jabar 45% atau sekitar 1,7 juta hektar, kemudian RTRW 2022 kawasan lindung menyusut hanya jadi 581.000 hektar.
Dia duga ada intervensi dari eksternal, seperti investasi, untuk RTRW Jabar 2022 ini. Menurutnya, sudah jadi rahasia umum adanya lobi-lobi dalam penyusunan Perda RTRW selama ini.
“Karena kawasan lindung dianggap mengganggu tidak bisa melakukan pembangunan di dalam area kawasan lindung itu sendiri,” katanya kepada Mongabay.
Padahal, dengan tren kejadian bencana yang tinggi, Jabar membutuhkan kawasan lindung yang cukup. Alih-alih mengurangi, justru harus perluas cakupan tutupan kawasan lindung.
“Kali Bekasi, itu juga hulu sungai, sama, tadinya lindung. Kemudian diubah RTRW-nya menjadi budidaya. Di Sentul ada perambahan, karena manajemennya buruk. Terus juga ada pembangunan perumahan, ada juga villa.”
Alih fungsi kawasan lindung, terangnya, membuat daya serap air berkurang. Lapisan tanah teratas (topsoil) tergerus. Ketika hujan turun, limpasan airnya (runoff) akan deras. Imbasnya, terjadi banjir bahkan sampai longsor.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total bencana periode 1 Januari – 21 Mei 2025 mencapai 1.119 kejadian. Dari jumlah itu, sebanyak 502 di antaranya terjadi di Pulau Jawa.
Jabar jadi provinsi yang paling banyak kejadian bencana di Pulau Jawa. Sebanyak 178 kejadian bencana tercatat di bumi pasundan itu.
Anggi pun berharap, latar belakang Dedi Mulyadi yang sebelumnya anggota Komisi IX DPR RI yang fokus di isu lingkungan, mendorongnya menindaklanjuti surat KLH. Apa lagi, Gubernur Jabar ini sampai nangis saat melihat kerusakan lingkungan di Puncak, Bogor akibat alih fungsi lahan menjadi tempat wisata.
“Sudah cukup kuat bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengembalikan fungsi lindung di Jawa Barat.”
Wahyudin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, menilai, sudah sepatutnya RTRW provinsi dan kabupaten/kota tidak mengubah zona kawasannya yang memiliki fungsi penting seperti zona resap air, kawasan lindung hingga zona konservasi.
Catatan Walhi Jabar, terdapat peningkatan area pertambangan, terutama di Sukabumi dan Bogor. Selain itu pengembangan properti dan wisata di Jabar makin menjamur di wilayah yang mempunyai potensi resapan air. Kondisi ini merusak lingkungan dan mengundang bencana di Jabar.
Dia menyayangkan, penindakan terhadap entitas bisnis yang melakukan pelanggaran lingkungan, seperti penyegelan terhadap Hibich Fantasy milik PT Jaswita BUMD Jabar, baru terjadi setelah dampaknya terasa dan viral. Apalagi, zona kawasan lindung juga sudah berkurang lebih dari 1 juta hektare. Tutupan hutan lindung juga turut berkurang.
Data Dinas Kehutanan Jabar, terdapat luasan hutan lindung 271.161,19 hektar pada 2014. Kemudian menurun menjadi 229.227,12 hektar pada 2022. Artinya, ada pengurangan sebanyak 41.934,07 hektar hutan lindung di Jabar.
Sementara, luas lahan kritis di Jabar, menurut Adapun luas lahan kritis di Jabar menurut Badan Pusat Statistika (BPS) menunjukkan tren peningkatan sejak 2011.
Tahun itu, lahan kritis dan sangat kritis di Jabar mencapai 483.944 hektar. Sempat mengalami penurunan menjadi 342.966 hektar pada 2013. Namun melambung pada 2018 menjadi 911.192 hektar.
Wilayah Jabar yang tingkat kerusakan lingkungannya tinggi berdasarkan catatan Walhi Jabar, di antaranya Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Garut, Tasik, Majalengka, Karawang, Purwakarta hingga Cimahi.
Wahyudin mendukung adanya penindakan terhadap unit usaha yang berpotensi merusak lingkungan. Namun, dia ingin penindakan tanpa pandang bulu (Zero Tolerance Policy), mulai dari unit usaha di bawah BUMN, BUMD, hingga swasta.
“Selama ini terkesan pemerintahan banci dalam menjalankan penegakan hukum bagi pelaku perusak lingkungan.”

Perbaikan dari akar
Wahyudin menilai UU CIpta Kerja jadi biang kerok masalah ini. Karena, regulasi ini melemahkan perlindungan lingkungan dan lebih mengedepankan pengembangan investasi.
Pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja terbaru, di antaranya, menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan 30%. Seperti Pasal 29, memperbolehkan aktivitas non-kehutanan seperti pembangunan infrastruktur strategis di hutan lindung atas dasar ‘kepentingan umum’.
Lalu pada Pasal 36, menyederhanakan izin usaha pemanfaatan hutan (IUPH) menjadi bagian dari perizinan berusaha berbasis risiko dan tidak lagi memerlukan evaluasi lingkungan yang ketat. Ada juga Pasal 10A dan 110B yang mengatur pengampunan administratif bagi perusahaan ilegal yang beroperasi di kawasan hutan.
“Kami lihat bahwa pasca revisi amanat UUCK itu banyak di kawasan resapan air itu berubah fungsinya. Artinya, berubah kawasannya yang tadinya tidak boleh ada aktivitas itu diberikan banyak sekarang.”
Walhi sedang mengajukan gugatan klaster lingkungan UUCK. Prosesnya masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Wahyudin menilai perlunya tinjau ulang Perpres No. 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, terutama terkait proyek strategis nasional (PSN). Banyak PSN di Jabar yang bermasalah dan bertentangan dengan RTRW.
Ada kesan pemaksaan PSN di Jabar, dan lokasinya pun di kawasan yang seharusnya tidak ada alihfungsi. Namun, katanya, yang terjadi selama ini PSN tetap jalan dan mengubah aturan yang tidak sesuai, termasuk RTRW.
“Contoh kasus ya yang waktu kami kritisi itu kereta cepat, Patimban kalau merujuk kepada RTRW sebelumnya, tidak sesuai peruntukannya. Karena ini proyek strategis nasional, akhirnya pemerintah meresponnya waktu itu bahwa RTRW bisa disesuaikan.”
Pemerintah mengklaim RTRW bisa disesuaikan seiring urgensi rencana pembangunan.

*****
Bencana Jabodetabek, Tanda Lingkungan Rusak dan Krisis Iklim