- Bukit Barisan merupakan landskap penting bagi beragam jenis kucing dan satwa endemik sekaligus terancam di Pulau Sumatera.
- Namun, tidak semua bagian dari lanskap ini menjadikan konservasi sebagai tujuan utama pengelolaannya. Perambahan juga masih menjadi tantangan.
- Suaka margasatwa yang berada di dataran tinggi Sumatera Selatan, memiliki peran penting menghubungkan landskap hutan di sepanjang Bukit Barisan.
- Penting membangun koridor satwa liar ideal yang menghubungkan area sumber dan limpasan [sink-source]. Namun, menjaga keutuhan kawasan yang ada sekarang, tetap menjadi prioritas.
Pegunungan Bukit Barisan, yang membentang sepanjang 1.650 kilometer dari utara ke selatan Pulau Sumatera, merupakan landskap penting bagi beragam jenis kucing dan satwa endemik sekaligus terancam di Pulau Sumatera. Sebut saja gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), serta beragam jenis kucing liar.
Untuk melindungi ekosistemnya, tiga taman nasional didirikan, yakni Taman Nasional Gunung Leuser di utara, Taman Nasional Kerinci Seblat di tengah, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di selatan.
“Namun sayangnya, tidak semua bagian lanskap ini memasukkan konservasi sebagai salah satu tujuan utama pengelolaannya. Dengan demikian, tidak semua area di lanskap ini aman,” terang Erwin Wilianto, pendiri Yayasan SINTAS Indonesia dan anggota IUCN-SSC Cat Specialist Group, kepada Mongabay Indonesia, Rabu (4/6/2025).

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia pada sejumlah wilayah di Ogan Komering Ulu Selatan hinga Lampung Barat, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), terdapat sejumlah aktivitas pembukaan lahan.
Hal ini diperkuat dengan keterangan Sanandre Jatmiko, Kepala Bidang Wilayah 2 Balai TNBBS, yang menjelaskan hasil pencitraan satelit untuk kawasan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS), terdapat bangunan semi-permanen di dalam kawasan hutan.
“Totalnya mencapai 1.190 rumah yang menyebar di beberapa titik lokasi. Diperkirakan sebanyak 4.517 orang menetap di kawasan tersebut,” terangnya, Senin (28/4/2025), dikutip dari Kompas.com.
Angka ini kemungkinan bertambah dengan naiknya harga kopi yang memicu masyarakat untuk menambah luasan kebun mereka.
“Tapi, sebagian besar yang melakukan itu orang dari luar. Kami masyarakat lokal, memang sudah sejak lama berkebun di sekitar Bukit Barisan ini,” kata Dapawi (45), warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, awal Mei 2025.

Berdasarkan penelitian Tawaqal dan kolega (2018), selain harimau, terdapat empa jenis kucing liar lain yang hidup di sekitar TNBBS, yakni kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis), kucing emas (Catopuma temminckii), kucing batu (Pardofelis marmora), dan macan dahan (Neofelis diardi diardi).
Semua jenis kucing tersebut dilindungi Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Berdasarkan Daftar Merah IUCN, kucing emas dan macan dahan berstatus Rentan (VU), kucing batu (Hampir Terancam/NT), kucing kuwuk (Risiko Rendah/LC), sementara harimau sumatera berstatus Kritis (CR).
Sebagai informasi, pada 2004, UNESCO mengakui ketiga taman nasional seluas 2.595.124 hektar di sepanjang Bukit Barisan itu, sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera.
UNESCO mencatat bahwa Bukit Barisan memiliki sekitar 10.000 jenis tanaman, 201 jenis mamalia (dengan 15 spesies asli Indonesia), dan 580 spesies burung (21 jenis endemik). Situs ini merupakan salah satu area konservasi terluas di Asia Tenggara.

Suaka margasatwa harus dijaga
Terdapat tiga suaka margasatwa di dataran tinggi Sumatera Selatan yang berfungsi layaknya kawasan penyangga landskap hutan Bukit Barisan, yakni SM Gunung Raya (50.950 hektar), SM Isau-Isau (16.742,92 hektar), dan SM Gumai Pasemah (45.883 hektar).
Namun, berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, ketiga kawasan ini mulai terisolasi dan terfragmentasi oleh perkebunan, baik di dalam maupun di luar kawasan. Misalnya di SM Gunung Raya, tercatat 64 persen (32.608 hektar) kawasannya terganggu aktivitas manusia. SM Isau-Isau, kerusakannya mencapai 40 persen, sedangkan kerusakan di SM Gumay Pasemah mencapai 20-30 persen dari total luasnnya.
Andre, Humas BKSDA Sumatera Selatan mengatakan, satu kendala utama pengamanan di kawasan adalah luasan yang tidak seimbang dengan jumlah personil.
“Kawasan kita tidak berpagar keliling, jadi harus patroli setiap hari. Orang bisa masuk dari segala lini. Setiap ada kasus, kami selalu berupaya agar pengadilan mengeluarkan hukuman yang berat,” terangnya, Selasa (3/6/2025).
“Dukungan pemerintah setempat dan NGO sangat penting,” lanjutnya.

Selain itu, dikutip dari akun Instagram BKSDA Sumatera Selatan, telah dibentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) wilayah Sumatera Selatan. Satgas ini terdiri unsur Kejaksaan, BPKP, TNI, Polri, BIG, serta Kementerian Kehutanan.
“Semuanya bertugas mengembalikan penguasaan kawasan konservasi dari aktivitas perkebunan sawit tak berizin,” dikutip Rabu (18/6/2025).
Ada lima kawasan konservasi yang menjadi fokus penertiban, yakni SM Bentayan (Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin), SM Dangku (Kabupaten Musi Banyuasin), SM Gumai Pasemah, SM Isau-Isau, dan Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Serelo (Kabupaten Lahat).
“Total lahan yang diindikasi dikuasai secara tidak sah mencapai kurang lebih 66.397 hektar.”

Koridor satwa liar
Syarifah, koordinator pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] BKSDA Sumatera Selatan, menekankan pentingnya menjaga SM Gunung Raya yang berperan layaknya kawasan penyangga TNBBS.
“Setiap ekosistem harus saling menopang. Kalau di SM Gunung raya rusak, atau wilayah sekitarnya rusak, itu bisa mengganggu koridor satwa. Satwa bisa terisoloasi, sehingga menjadi rentan,” terangnya, Selasa (3/6/2025).
“Kami juga berharap, kawasan juga tidak terfragmentas dan saling menyangga,” lanjutnya.

Erwin Wilianto menambahkan, jika kita bicara lanskap kawasan konservasi maka perkebunan dan areal penggunaan lain (APL) yang saling berhubungan, perlu memiliki pemahaman yang sama.
“Semoga konsep areal preservasi yang sedang digalakkan pemerintah, bisa meng-cover integrasi pengelolaan berbasis lanskap,” katanya.
Areal preservasi satwa liar adalah kawasan di luar kawasan konservasi yang dipertahankan kondisinya untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan dan kelangsungan hidup satwa liar. Areal ini merupakan koridor ekologis yang menghubungkan kawasan konservasi, yang memungkinkan pergerakan satwa liar dan mencegah terfragmentasinya habitat.
Lebih lanjut, Erwin membayangkan koridor satwa yang ideal dengan adanya structural coridor yang bisa menghubungkan area sumber dan limpasan [sink-source]. Namun, dengan kondisi sekarang, butuh effort besar dan komitmen serius pemerintah dan parapihak.
“Memastikan existing tetap utuh bisa jadi prioritas utama saat ini, sembari membangun koridor baru,” katanya.
“Bayangan terakhir adalah functional coridor, ketika kita terpaksa memasuk-mindahkan individu satwa dari satu sub-populasi, ke sub-populasi lain untuk memperkuat populasi dan memperkaya genetiknya,” tegasnya.
Referensi:
Tawaqal, F., Supartono, T., & Nasihin, I. (2018). Distribusi Dan Penggunaan Habitat Empat Spesies Felidae Di Taman Nasioanl Bukit Barisan Selatan. Wana Raksa, 12(2).
*****