- Indonesia menghadapi musim kemarau basah, mulai per April 2025 secara bertahap. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) prediksi puncak musim kemarau basah pada Juli-Agustus 2025, dengan sebagian wilayah masih akan terguyur hujan. Dalam perkiraan, jelang musim kemarau basah itu kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) memburuk.
- Laporan Nafas Indonesia menunjukkan, pada Mei hujan lebih sering turun, namun angka PM 2.5 justru melonjak tajam. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan hal serupa. Pada periode April-12 Juni, indeks standar pencemar udara (ISPU) masuk kategori tidak sehat di beberapa wilayah Jabodetabek.
- Pada 19 Mei lalu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq bersama tim gabungan KLH melakukan pemetaan sumber pencemar di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara. Hasilnya, 74 tenan di kawasan itu bermasalah dalam regulasi lingkungan berupa aspek air, udara, limbah B3, dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
- Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) lakukan sejumlah langkah antisipasi untuk hadapi polusi udara di musim kemarau basah. Mulai dari langkah pencegahan, penanganan, hingga penegakan hukum.
Indonesia menghadapi musim kemarau basah, mulai per April 2025 secara bertahap. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) prediksi puncak musim kemarau basah pada Juli-Agustus 2025, dengan sebagian wilayah masih akan terguyur hujan. Dalam perkiraan, jelang musim kemarau basah itu kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) memburuk.
BMKG menyebut, kemarau basah merupakan kondisi ketika musim kemarau tiba secara kalender, tetapi hujan masih sering turun, terutama pada sore dan malam hari.
Laporan Nafas Indonesia menunjukkan, pada Mei hujan lebih sering turun, namun angka PM 2.5 justru melonjak tajam.
“Kondisi ini memicu fluktuasi signifikan dalam inversi suhu yang turut menandai fenomena kemarau basah di mana hujan tak selalu berarti kualitas udara yang baik,” tulis laporan itu.
Data Nafas Indonesia mencatat, di Jabodetabek partikel PM 2.5 mencapai angka 121 mikrogram per meter kubik pada 26 Mei 2025, masuk kategori tidak sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mensyaratkan batas aman sebesar 0-5 mikrogram per meter kubik.
Lalu, pada 27 Mei pagi, partikel PM 2.5 turun drastis hingga angka 17 mikrogram per meter kubik, masuk kategori moderat.
Nafas Indonesia mencatat, selama April-Mei rata-rata PM 2.5 mencapai 84 mikrogram per meter kubik, angka tertinggi ini terjadi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Warga setiap hari menghirup polusi setara lebih dari 4 batang rokok.
Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan hal serupa. Pada periode April-12 Juni, indeks standar pencemar udara (ISPU) masuk kategori tidak sehat di beberapa wilayah Jabodetabek.
Di Bekasi, kualitas udara buruk terjadi kurun 12 hari, 19 hari, hingga 20 hari. Sejumlah wilayah di Jakarta alami kualitas udara tak sehat seperti, Kelapa Gading (7 hari), Marunda (33), Lubang Buaya (11), Bundaran Hotel Indonesia (6), Gelora Bung Karno (4), Kebon Jeruk (9), dan Jagakarsa (10 hari).
Kemudian, di Tangerang Curug dan Tangerang Selatan, Serpong dengan lama 17 dan enam hari pada kurun . Di Depok Pancoran Mas 20 hari dan Bogor 13 hari.
Data KLH mencatat, sumber polusi udara yakni, kendaraan bermotor 32-41% pada musim hujan dan 42-57% di musim kemarau, emisi industri, terutama berbahan bakar batubara, 14%. Lalu, pembakaran terbuka 11% pada musim hujan dan 9% saat kemarau, debu konstruksi bangunan 13% dan aerosol sekunder 6-16% saat musim hujan dan 1-7% pada musim kemarau.
Menurut Piotr Jakubowski, pendiri Nafas Indonesia, kualitas udara juga terpengaruh dari sumber polusi lokal. Di Jakarta Utara, misal, terdapat pelabuhan yang menjadi sumber polusi lokal.
“Jadi, sumber besar itu bisa dari heavy industry, dari pelabuhannya, dari shipping industry,” katanya kepada Mongabay, Jumat (13/6/25).
Arah angin, katanya, juga mempengaruhi polusi udara. Dia kasih contoh di Jakarta Selatan dan Serpong, dua lokasi tak ada pabrik atau kawasan industri, tetapi kadang polusi udara tinggi.
“Dari arah angin itu polusinya kebawa dari tempat-tempat industri lain, dan dibawa ke daerah Serpong. Jadi, masing-masing tempat ada sumber yang berbeda.”

Bagaimana antisipasinya?
KLH lakukan sejumlah langkah antisipasi untuk hadapi polusi udara di musim kemarau basah. Mulai dari langkah pencegahan, penanganan, hingga penegakan hukum.
“Pak Menteri sudah lakukan kunjungan laporan, dan lakukan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang hasilkan pencemaran udara,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Sekretaris Utama KLH saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (13/6/25).
Dia merinci, KLH telah bersurat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Kementerian Keuangan, dan Pertamina segera merealisasikan penyediaan bahan bakar rendah sulfur (setara Euro-4: <50 ppm), yaitu 24% bensin dan 10% solar, termasuk bio solar.
KLH juga bersurat kepada Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, dan Polri untuk uji emisi kendaraan secara teratur dan pengetatan baku mutu emisi, terutama golongan kendaraan berat, dan pengenaan denda.
Vivien mengimbau, kepada kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan swasta agar menggunakan kendaraan umum, juga peningkatan implementasi kendaraan listrik hingga 2% pada akhir 2025.
KLH juga lakukan penanaman pohon penyerap polutan emisi kendaraan, antara lain di sisi Jalan PT Jasa Marga pada 3 Juni lalu dan akan berlaku di seluruh ruas Jalan Tol Indonesia.
Di sektor industri, menurut Vivien, memperketat pelaku usaha untuk penggunaan CEMS (continuous emissions monitoring system) hingga mencapai 80% pada akhir 2025, berikut alat pengendali emisi hingga 21%.
“Pelaku usaha dan PT Perusahaan Gas Negara lakukan percepatan realisasi penyediaan gas LNG (liquefied natural gas) untuk mencapai 14% konversi bahan bakar batubara atau solar tinggi sulfur,” katanya.
Khusus sumber pencemar pembakaran terbuka, KLH menyiapkan langkah antisipasi berupa kirim surat kepada Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, dan Polri untuk pencegahan pembakaran terbuka, berikut penerapan sanksi.
Pada 4 Juni lalu, kata Vivien, KLH bertemu pemerintah daerah se-Jabodetabek, untuk meminta mereka lakukan pengawasan pembakaran terbuka, termasuk dengan penerapan sanksi.
Menteri Lingkungan Hidup, telah menutup operasional 343 TPA sampah yang tidak memenuhi kaidah persyaratan peraturan di berbagai daerah.
Di sektor pencemar PLTU batubara, KLH tidak punya pilihan lain selain konversi energi.
“PLTU itu sebenarnya harus diganti. Tidak bisa lagi batubara. Harus gas!” ujar Edward Nixon Pakpahan, Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLH kepada Mongabay.
Kalau komitmennya adalah lingkungan, tentu pemerintah harus konversi PLTU batubara menjadi gas.

Penegakan hukum
Pada 19 Mei lalu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq bersama tim gabungan KLH melakukan pemetaan sumber pencemar di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara.
Hasilnya, 74 tenan di kawasan itu bermasalah dalam regulasi lingkungan berupa aspek air, udara, limbah B3, dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Selalu ada yang tidak komplit, bahkan ada yang tidak komplit sama sekali,” kata Edward.
Dia mengatakan, satu temuan lapangan terdapat perusahaan yang membakar dengan suhu tinggi tetapi tidak mempunyai lubang sampling.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No 205/1996, cerobong harus memenuhi standar teknis, dengan lubang pengambilan sampel, dan memiliki sarana pendukung.
Menurut Nixon, perusahaan yang tidak memenuhi syarat lingkungan disanksi denda administrasi. “Akumulasi denda hampir sekitar Rp3,8 miliar. Itu nanti masuk ke kas negara.”
Dia enggan membuka daftar perusahaan yang melanggar regulasi lingkungan itu. Dia mengatakan, perihal sanksi administrasi merupakan wewenang Deputi Penegakan Hukum, untuk menetapkannya.
Penegakan hukum juga dilakukan terhadap sejumlah industri. Sejak Februari, total ada 13 industri kena tindak, dari peleburan logam, pembuatan tahu, tekstil, peleburan limbah B3 dan industri ekstrusi logam bukan besi.
Baru-baru ini KLH menyegel dua pabrik peleburan logam di Kabupaten Serang, PT Jaya Abadi Steel dan PT Luckione Environment Science Indonesia.
“Pengawasan tak boleh administratif semata, tetapi nyata dan menyeluruh. Ini tentang hak publik atas udara bersih,” kata Hanif.

Jangka panjang
Jakubowski mengatakan, tidak banyak hal bisa dilakukan untuk mengatasi polusi udara dalam jangka waktu pendek, kurang dari setahun.
”Dalam jangka waktu pendek yang paling penting dilakukan early warning system. Kalau bisa memang aktivitas di luar (ruangan) terkait dengan olahraga harus dibatalkan,” katanya
Untuk kesehatan, katanya, sudah tidak kondusif.
Jakubowski menyarankan, pemerintah membangun strategi jangka panjang hingga 10 tahun ke depan untuk tangani polusi udara.
Strategi itu meliputi, transisi energi, transisi transportasi, dan pengawasan terhadap pembakaran sampah terbuka.
Khusus transisi transportasi, katanya, tidak hanya berfokus pada kendaraan listrik, juga harus tingkatkan kualitas bahan bakar kendaraan.
Penanganan polusi udara tidak bisa dengan satu solusi ajaib saja, harus secara menyeluruh pada sumber-sumber pencemaran.
“Tidak ada satu hal yang bisa dilakukan, yang bakal berpengaruh gede banget terhadap pengurangan polusi udara yang tinggi.”
Menurut Nafas Indonesia, solusi jangka waktu pendek yang bisa secara individu mengurangi dampak polusi udara. Antara lain, memeriksa kualitas udara bertahap, mengurangi aktivitas luar ruangan, dan menutup ventilasi rumah saat polusi udara tinggi.
Kemudian, menggunakan penjernih udara, menghindari sumber polusi, menggunakan masker saat polusi udara tinggi, serta perilaku hidup bersih dan sehat. “Segera konsultasi kesehatan dengan nakes jika muncul keluhan pernapasan,” katanya.
*****