- Warga Jakarta dan sekitar seakan hidup bersama polusi udara. Dalam satu bulan terakhir ini saja, kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengalami penurunan. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKUA) per 1 Mei-3 Juni 2025 menunjukkan parameter kuning, berarti status tidak sehat. Mengapa pencemaran udara terus terjadi?
- Edward Nixon Pakpahan, Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara, KLK bilang, ada empat sektor yang menyebabkan kualitas udara menjadi tidak sehat di Jabodetabek yakni transportasi, industri, pembakaran terbuka dan konstruksi. Transportasi yang berkontribusi paling tinggi kisaran 42-52%, industri 14-17%, konstruksi 13% dan pembakaran terbuka 7%.
- Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyatakan, pencemaran ini tak bisa lagi ditoleransi. Konsentrasi partikel halus PM2.5 secara konsisten terus menumpuk beban bencana yang kian mengkhawatirkan.
- Bondan Andriyanu, Team Leader Climate and Energy Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, menilai, pola penyelesain kasus pencemaran udara ini masih bias arah. Sudah bertahun-tahun kita mengulang narasi yang sama. Polusi udara memburuk, pemerintah janji akan menindak industri, membatasi kendaraan, tetapi tidak pernah benar-benar konsisten.
Warga Jakarta dan sekitar seakan hidup bersama polusi udara. Dalam satu bulan terakhir ini saja, kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengalami penurunan. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKUA) per 1 Mei-3 Juni 2025 menunjukkan parameter kuning, berarti status tidak sehat.
Edward Nixon Pakpahan, Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara, KLK menuturkan, nilai konsentrasi PM 2,5 di atas 100 PPM. Angka ini lebih tinggi dari standar pemerintah. Total ada 35 titik SPKUA di Jabodetabek yang terpantau mengalami peningkatan skor PM 2.5.
“Status kualitas udara di Jabodetabek Itu sudah harus menjadi perhatian serius,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta awal Juni.
Edward bilang, ada empat sektor yang menyebabkan kualitas udara menjadi tidak sehat di Jabodetabek yakni transportasi, industri, pembakaran terbuka dan konstruksi. Transportasi yang berkontribusi paling tinggi kisaran 42-52%, industri 14-17%, konstruksi 13% dan pembakaran terbuka 7%.
Sektor transportasi memuncaki penyebab buruknya udara karena kadar sulfur dalam bahan bakar minyak (BBM) tinggi. Kadar sulfur BBM bensin kisaran 350-550 PPM dan solar hingga 1.200 PPM. Angka itu jauh dari standar internasional yang mengharuskan kadar sulfur dalam BBM kurang dari 50 PPM.
“Jadi bisa kita bayangkan bagaimana kualitas bahan bakar kita dengan kandungan sulfur masih sedemikian tinggi melebihi konsensus internasional. Secara teknis kandungan sulfur tinggi itu berkontribusi untuk menyebabkan konsentrasi partikulat, termasuk PM2,5 itu menjadi lebih tinggi,” katanya.
Lalu industri. Edward menyadari, masih banyak industri tak ramah lingkungan. Misal, menggunakan batubara sebagai bahan bakar hingga tak memperhatikan pembuangan emisi.
Kemudian, pembakaran terbuka. Ada 120 pembakaran limbah secara terbuka oleh industri, memperburuk kualitas udara.
Edward bilang, kondisi ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, mengawasi kegiatan industri. Begitu pula pembakaran sampah oleh masyarakat.
“Agar kegiatan-kegiatan tersebut tidak dilakukan, dicegah, bahkan dikenakan sanksi sesuai dengan kewenangan dan otoritas masing-masing pemerintah daerah karena,” katanya.
Selanjutnya konstruksi. Kontribusi konstruksi dari emisi bahan bakar.

Dampak buruk, ingatkan Pertamina, awasi industri
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyatakan, pencemaran ini tak bisa lagi ditoleransi. Konsentrasi partikel halus PM2.5 secara konsisten terus menumpuk beban bencana yang kian mengkhawatirkan.
Dampaknya, tak hanya bersifat fisik seperti kasus asma meningkat, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), hingga kanker paru-paru juga menyerang sektor ekonomi, dengan risiko kerugian produktivitas mencapai triliunan rupiah per tahun.
Kelompok anak-anak dan lansia, paling rentan dalam situasi berlarut-larut ini. Bahkan, di jurnal Environmental Research and Public Health, jika polusi udara menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 pasien rawat inap, dan 7.000 anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahun.
“Data kami, sejak 2018-2022, kerugian akibat ISPA di Jabodetabek mencapai hampir Rp16 triliun,” katanya ketika kunjungan kerja ke Balongan, Indramayu, Jawa Barat, belum lama ini.
Pencemaran udara lebih 50% dari BBM itu kontribusi dari 26 juta kendaraan yang lalu-lalang setiap hari.
Dia menyoroti, hampir seluruh pasokan BBM untuk Jakarta dan sekitar berasal dari kilang Pertamina, salah satunya di Balongan, yang dinilai belum memenuhi standar emisi rendah sulfur. Untuk itu, katanya, perlu ada upaya perbaikan dari segi kualitas bahan bakar.
Dalam jurnal Atmospheric Environment (2021), rata-rata kandungan sulfur dalam solar masih mencapai 2.500 ppm. Jauh dari standar Euro 4 yang mensyaratkan maksimal 50 ppm.
Untuk itu, Hanif meminta Pertamina mengambil langkah serius menurunkan kandungan sulfur dalam BBM. Karena biaya peningkatan kualitas BBM jauh lebih murah dibanding kerugian gangguan kesehatan masyarakat.
Rilis yang Mongabay terima, Abraham Lagaligo, Pjs. Area Manager Communication, Relation & CSR RU VI Balongan, mengklaim, beberapa produk telah sustain bikin BBM yang memiliki kandungan Sulfur <50 ppm dan memenuhi standar EURO IV. Salah satunya, Pertadex memiliki kandungan Sulfur <10 ppm dengan kemampuan produksi 200.000 bbl perbulan.
Meski begitu, beberapa produk seperti Pertalite dan Pertamax (RON 92) masih mengandung sulfur hingga 500 ppm, setara 10 kali lipat dari standar EURO IV.
Untuk cemaran industri, KLH mencatat, ada lebih 4.000 cerobong asap dari 48 kawasan industri menyumbang polutan tinggi. Lalu, pembakaran sampah liar (illegal burning) menyumbang 14% pencemaran, dan aktivitas konstruksi menyumbang sekitar 13%.
Hanif berencana, menjatuhkan sanksi administratif paksaan pemerintah hingga sanksi pidana kepada puluhan tenant di kawasan industri yang terbukti menurunkan kualitas udara.
Pengawasan awal terhadap 76 tenan di Jakarta Utara dan 60 tenan di Bekasi. Seperti dikutip dari Antara, KLH baru mengakomodir 50 perusahaan yang akan menerima sanksi administratif. Tujuannya, demi menekan konsentrasi PM2.5 di 35 titik pemantauan di Jabodetabek—menyasar kategori “kuning” dan “tidak sehat”.
UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, bisa menjadi landasan hukum. Para pelanggar dapat kena pidana penjara satu tahun dan denda Rp3 miliar kalau terbukti melanggar.

Bagaimana seharusnya?
Edward bilang, transisi energi harus dilakukan agar kualitas udara kembali sehat. Misal, menggunakan BBM rendah sulfur. Ketika kadar sulfur rendah otomatis partikulat dari emisi kendaraan juga akan menurun.
Dia berharap, kementerian terkait dapat mendukung percepatan realisasi bahan bakar ramah lingkungan. Salah satu permohonan KLH yakni meningkatkan ketersediaan biosolar dengan rasio B30, B40, B50.
“Kalau biosolar itu ditingkatkan ketersediaannya, pasti sulfur akan berkurang. Maka pasti emisi akan berkurang, maka pasti P2,5 itu akan berkurang.”
Di sektor industri, KLH mendorong peralihan bahan bakar batubara bahan ke gas. “Kita harus mengurangi, kalau boleh menghilangkan Itu (batubara sebagai bahan bakar). Konversi batubara menjadi bahan bakar ramah lingkungan, misalnya menjadi gas,” katanya.
Seiring dengan itu, KLH melakukan tindakan pengawasan terhadap industri dan badan usaha yang berkontribusi terhadap pencemaran udara di Jabodetabek. Penindakan ini berpayung hukum UU nomor 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 14/2024 Penyelenggaraan Pengawasan dan Sanksi Administratif bidang Lingkungan Hidup.
Pada 2023-2025, KLH menindak 116 industri dan badan usaha. Rinciannya, sebanyak 63 di 2023, lalu 44 pada 2024 dan 9 sampai pertengahan 2025.
“Beberapa kegiatan ataupun sektor yang kita awasi, jenis industri makanan, beton, peleburan baja, kertas, program, stockpile, tekstil, plastik hingga kimia,” katanya.
KLH juga menyebarkan surat edaran tentang pengendalian pencemaran udara kepada pemerintah di Jabodetabek. Surat itu berisi perintah kepada pemerintah di Jabodetabek untuk pengawasan dan penindakan dalam mengatasi pencemaran udara.
“Situasi saat ini adalah situasi status tidak sehat, jadi diharapkan masyarakat diminta mengurangi aktivitas di luar ruangan serta kelompok usia anak-anak, lansia, ibu hamil, dan penderitaan buat pernafasan diimbau untuk tidak beraktivitas di luar ruangan,” kata Edward.

Mengulang masalah
Bondan Andriyanu, Team Leader Climate and Energy Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, menilai, pola penyelesain kasus pencemaran udara ini masih bias arah.
“Sudah bertahun-tahun kita mengulang narasi yang sama. Polusi udara memburuk, pemerintah janji akan menindak industri, membatasi kendaraan, tapi tidak pernah benar-benar dilakukan secara konsisten,” kata Bondan kepada Mongabay.
Pemerintah, katanya, seperti kehilangan arah padahal sumber masalah jelas, emisi dari kendaraan berbahan bakar fosil dan cerobong industri. “Tapi yang dilakukan justru langkah-langkah yang superfisial,” katanya.
Dia mengamati, pemerintah sibuk mengurusi sumber pencemar. Padahal, tahun 2023, publik baru menyadari tingginya pencemaran udara ketika Presiden Joko Widodo mengalami batuk selama 40 hari saat berkegiatan di Jakarta. Publik akhirnya bereaksi, kemudian rapat terbatas setelah kejadian itu.
“Dihitung dari batuk itu saja, belum ada langkah preventif yang jelas. Itu menujukkan kondisi ini tidak benar-benar dianggap krisis,” katanya.
Pemerintah juga gagal menggandeng publik dalam proses pengambilan kebijakan. Partisipasi publik minim. Karena ketiadaan transparansi data, katanya, masalah polusi udara makin jauh dari penyelesaian yang konkret.
Dia contohkan, keberadaan 4.000 cerobong industri. Data itu sudah lama tetapi laporan emisi dari masing-masing cerobong tidak pemerintah buka ke publik. Padahal, sistem pemantauan emisi berkelanjutan CEMS sudah mewajibkan industri menyetor data ke pemerintah.
“Kalau data itu dibuka, masyarakat bisa tahu cerobong mana yang melebihi ambang batas, jam berapa, dan di mana. Kita bisa ikut awasi. Tapi nyata itu sulit diketahui publik,” katanya.
Dia meragukan keseriusan pemerintah karena secara mitigasi, sistem peringatan dini pun tidak pernah ada sama sekali. Sekolah dan fasilitas umum tetap buka ketika indeks udara masuk kategori merah. Tak ada mekanisme pembatasan aktivitas luar ruang atau kewajiban penggunaan masker sebagaimana diterapkan di kota-kota seperti Bangkok atau Beijing.
Bondan berharap lemahnya penegakan regulasi segera diperbaiki. Meski sejumlah industri di kawasan Jabodetabek terdeteksi sebagai penyumbang polusi, hingga kini belum ada sanksi tegas.
Bondan pesimistis dengan sikap pemerintah. Selama ini, tidak ada evaluasi atau audit untuk menilai efektivitas aturan.

Pemerintah kurang serius?
Novita Natalia, Co-Founder Bicara Udara mengatakan, melalui sistem pemantauan emisi kontinu (CEMS) yang wajib dipasangkan pada industri, pemerintah seharusnya bisa monitoring ketat.
Data pembuangan emisi atau pencemaran udara dari industri bisa didapat setiap saat. “Setiap industri wajib memasang CHAMP. Tujuannya biar apa? Supaya bisa tahu secara 24 jam itu industri itu mengeluarkan polutan, misal, polutan PM 2,5… itu berapa banyak, harus transparan ke publik,” katanya kepada Mongabay.
Pemerintah juga harus mewajibkan industri memasang Air Pollution Control. Ketika ada emisi berlebih, KLH tinggal berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengambil tindakan, tanpa tebang pilih. Juga melibatkan masyarakat, hingga pengawasan makin ketat.
“Apa cuma beberapa industri, misal, disegel atau diberhentikan sementara itu efektif? Apakah cuma buat media engagement aja?,” katanya.
Dia bilang, polusi udara adalah ancaman nyata bagi kesehatan, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Ia juga bertentangan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang menargetkan penguatan sumber daya manusia dan kesehatan.
Dari penyakit pernapasan saja, polusi udara sudah merugikan Indonesia hingga Rp1 triliun pada 2018-2022.
Dampak kesehatan ini juga menurunkan produktivitas dan menghambat ekonomi. Dia mendorong, industri, transportasi, energi dan pengelolaan sampah lebih ramah lingkungan.
“Sehingga, ekonomi tumbuh tanpa mengorbankan kesehatan SDM dan produktivitas.”
Novita bilang, pengendalian polusi udara bukan hanya soal kesehatan, juga efisiensi ekonomi. Studi ITB, Kementerian Kesehatan , dan UNEP menunjukkan, polusi udara menyebabkan kerugian finansial dari kehilangan produktivitas akibat kematian dini. Biaya Instalasi gawat darurat untuk penanganan asma, biaya rawat inap untuk penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta jumlah hari tidak produktif karena penyakit respirasi.
“Jika tidak bertindak, total kerugian ini bisa mencapai US$43 miliar per tahun pada 2030. Jika kita mengendalikan polusi udara sekarang, potensi penghematan mencapai US$27 miliar per tahun sekaligus melindungi masyarakat dari penyakit pernapasan dan kardiovaskular.”
Dia mendorong, pemerintah bertransisi energi secara bertahap. Kemudian mengambil kebijakan penggunaan BBM, mulai dari mengurangi kuota harian sampai meningkatkan kualitas BBM yang ramah lingkungan.

*****