- Nelayan Desa Tubanan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, terdampak aktivitas PLTU Tanjung Jati B dan kapal pengangkut batubaranya. Jaring mereka sering sobek terserempet kapal, sungai tempat sandar kapal pun mulai dangkal.
- Sebelum PLTU Tanjung Jati B beroperasi, ada perjanjian yang isinya melarang kapal batubara beroperasi malam hari. Perjanjian ini agar memberikan kepastian nelayan tidak terganggu saat bekerja. Namun, janji tinggal janji karena PLTU berkilah kebutuhan batubara untuk PLTU yang PLN kelola ini meningkat, sehingga butuh tambahan waktu operasional kapal pengirimnya.
- Lilik Kristiawan, staf operasional lapangan BAG, menyatakan, mereka berkoordinasi dengan kelompok nelayan sebelum kapal batubara mendarat. Mereka lakukan itu untuk antisipasi kerusakan jaring.
- Tahun 2023, Koalisi Selamatkan Laut Jawa pernah melakukan somasi kepada Gubernur Jateng. Hingga sekarang, tidak pernah ada respons atas somasi ini. Gugatan dalam bentuk citizen law suit telah mereka siapkan untuk mendesak pertanggungjawaban Pemda Jateng atas kerusakan laut tersebut.
Bukan kali pertama Maryono pulang melaut dengan tangan hampa, medio Mei 2025. Alih-alih karena sulitnya menangkap ikan, jaring nelayan Desa Tubanan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, ini robek lagi, terhempas kapal tongkang pengangkut batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B.
Malam itu, jaring yang baru dia pasang robek sekitar 15 meter. Sama seperti kejadian Februari, pria 61 tahun ini pun pulang tanpa membawa tangkapan.
“Sudah dua kali jaring saya rusak karena kapal batubara itu. Siangnya saya langsung ke manajemen PLTU minta pertanggungjawaban,” katanya.
Sebetulnya, kejadian ini terjadi juga pada nelayan lain. Lebih dari 10 kali insiden serupa terjadi sejak Januari hingga Mei 2025. Pertama kali pertengahan 2024, sejak itu kepercayaan nelayan hilang.
Pasalnya, sebelum PLTU Tanjung Jati B beroperasi, ada perjanjian yang isinya melarang kapal batubara beroperasi malam hari. Perjanjian ini agar memberikan kepastian nelayan tidak terganggu saat bekerja.
Perjanjian itu sudah ada sejak 2018, termasuk saat PLTU menambah unit pada 2014. Janji tinggal janji, karena PLTU berkilah kebutuhan batubara untuk PLTU yang PLN kelola ini meningkat, hingga perlu tambahan waktu operasional kapal pengirimnya.
Ganti rugi yang nelayan terima karena jaring rusak ini pun tidak sebanding dengan modal mereka. “Satu jaring harga Rp15 juta, ganti ruginya di bawah Rp7 juta. Jelas kami rugi.”
Belum lagi dengan proses lama dan rumit. Butuh waktu lebih dari dua bulan sejak laporan perusahaan terima. Nelayan pun kerap kena tuding jadi pihak yang bersalah atas kejadian itu. Tidak jarang adu mulut terjadi untuk mendapat pertanggungjawaban.
Maryono bilang kondisi ini pernah kelompok nelayan Desa Tubanan bawa ke DPRD Jepara. Bowo Kasbolah, ketua kelompok nelayan, menyebut, tak ada solusi jangka panjang dari pertemuan akhir 2024 itu.
Saat itu, para nelayan minta solusi dari masalah ini, berupa pengetatan jadwal operasional kapal batubara agar sesuai dengan perjanjian awal. “Tapi belum ada kesepakatan lagi, lalu kami minta agar proses ganti rugi dipermudah, tapi kondisinya sampai sekarang masih sama.”
Purwanto, Ketua Komisi B DPRD Jepara, dalam laman resminya menyebut, mereka hanya jadi penengah atas masalah ini. Soal ganti rugi dan teknis pembayaran dia serahkan antara nelayan dan manajemen kapal batubara.
“Jika masalah belum selesai kami terbuka untuk audiensi lagi termasuk jadi fasilitator yang menengahi.”
PT Bahtera Adhiguna (BAG) yang jadi agen kapal batubara di PLTU Tanjung Jati B, menyebut, memiliki izin operasional dari Kementerian Perhubungan. Izin ini memperbolehkan mereka beroperasi 24 jam setiap hari.
Meski begitu, BAG klaim tak tutup mata dengan kondisi nelayan yang juga melaut di sekitar perlintasan batubara itu. Mereka berdalih memberikan kompensasi layak atas kerusakan jaring nelayan itu.
Lilik Kristiawan, bagian operasional lapangan BAG, menyatakan, mereka berkoordinasi dengan kelompok nelayan sebelum kapal batubara mendarat. Mereka lakukan itu untuk antisipasi kerusakan jaring.
“Setiap mau mendarat kami selalu koordinasi, kalau ada kejadian kerusakan jaring kami juga komitmen menggantinya.”
Operasional kapal batubara, katanya, memang meningkat beberapa bulan terakhir karena stok yang tersedia di PLTU menipis. “Kondisi mendesak, maka kami harus gerak cepat.”
Menurut dia, panjangnya proses kompensasi bagi nelayan yang jaringnya rusak karena mekanisme pengecekan yang memakan waktu.

Lingkungan rusak
Nelangsa nelayan Desa Tubanan tidak berhenti di sana. Mereka juga tengah menghadapi pendangkalan Sungai Ngelo yang selama ini jadi tempat parkir kapal-kapal kecil mereka.
Lokasi sungai ini berada persis di sebelah PLTU Tanjung Jati B unit 5 dan 6. Jarak antar sempadan sungai dan pagar tempat pembangkit listrik ini tak sampai dua meter.
“Kalau musim kemarau sungai ini jadi andalan utama karena dari dulu memang bisa menampung kapal bahkan dari berbagai daerah, tapi sekarang makin menurun kapasitasnya,” kata Bowo.
Sedimentasi Sungai Ngelo terjadi karena abrasi yang melanda pesisir jepara. Ombak menghantam pasir pantai dan mendesaknya ke muara sungai. Makin masuk ke bagian tengah sungai.
Keberadaan pancang pemecah ombak dan dermaga kapal batubara juga memicu abrasi yang menyebabkan sedimentasi Sungai Ngelo. “Ombak makin besar itu karena ada tiang pancang di dermaga di PLTU Tanjung Jati B.”
Sejak empat tahun lalu, Kelompok Nelayan Mina Jaya Ngeli yang Bowo pimpin sudah mengajukan normalisasi Sungai Ngelo, tetapi tidak pernah ada realisasi. Sekarang, kedalaman tinggal 60 centimeter dan akan membuat kapal nelayan sulit melintas jika semakin dangkal.
Dampak abrasi juga tidak hanya terjadi di Sungai Ngelo. Sungai lain di Kecamatan Kembang yang terhubung ke laut pun merasakannya. Muara sungai yang tersumbat pasir pantai ini juga menyebabkan banjir di wilayah itu, awal 2025.
Bencana ini terjadi karena aliran beberapa sungai dari wilayah lereng Gunung Muria yang menuju laut tersendat oleh sedimentasi pasir laut itu. “Akibatnya sungai tak mampu menampung lagi lalu airnya meluap.”
Kerusakan lingkungan ini menurut Bowo terjadi sejak pembangunan dan penambahan unit PLTU Tanjung Jati B. Kawasan terumbu karang pun hancur akibat pembuangan material pembangunan dermaga kapal batubara.
Dia pernah pantau pembuangan material ini. Menurutnya, pintu pembuangan material di kapal pengakutnya sengaja terbuka sepanjang perjalanan.
“Jadinya material tercecer di jalan, sampai lokasi tinggal sedikit, kadang ada yang belum sampai lokasi sudah balik lagi. Akibatnya banyak terumbu karang rusak.”
Rusaknya terumbu karang ini membuat nelayan tidak pernah mendapat kepiting lagi lebih dari lima tahun terakhir. Pendapatan mereka pun menurun drastis. Padahal, biaya operasional melaut makin bengkak karena kapal harus melaju lebih jauh dan memutar.
Marwaji, Ketua Penggerak Kegiatan Nelayan Jepara (PKNJ) membenarkan hal ini. “Penurunan ini terutama terjadi pada nelayan yang beroperasi di sekitar PLTU, tapi penyebab pasti penurunan apa kami tak tahu pasti perlu kajian lebih dalam.”
Kondisi ini, katanya, membuat PKNJ berupaya memperbaiki ekosistem pesisir Jepara. Dia bilang, pihaknya tengah mendorong normalisasi sungai yang jadi dermaga nelayan, termasuk mendampingi jaring rusak akibat kapal batubara.
Mongabay coba hubungi PLTU Tanjung Jati B tetapi, Wawan Subiayanto, staf humas menolak wawancara soal dampak lingkungan pembangkit listrik dari batubara ini.

Gugatan pencemaran lingkungan
Tahun 2023, Koalisi Selamatkan Laut Jawa pernah somasi Gubernur Jateng. Hingga sekarang, tidak pernah ada respons atas somasi ini. Gugatan dalam bentuk citizen law suit telah mereka siapkan untuk mendesak pertanggungjawaban Pemda Jateng atas kerusakan laut ini.
Gugatan berfokus pada pencemaran limbah air bahang PLTU Tanjung Jati B. Limbah ini adalah buangan air yang bersumber dari sistem pendinginan pembangkit listrik yang memiliki suhu tinggi yang dibuang dan menyebar di perairan sekitarnya. Akibatnya, suhu laut naik dan membuat ekosistem, terutama terumbu karang, rusak.
Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup No.8/2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal sebenarnya memberikan kewenangan Pemprov Jateng untuk mengatur baku mutu limbah ini di daerahnya. Sampai sekarang, tidak ada batas maksimal suhu air bahang di Jateng. Koalisi menilainya sebagai bentuk pengabaian.
Penelitian yang terbit di Journal of Oceanography, menyebut, limbah PLTU Tanjung Jati B memiliki suhu 34,5 derajat celcius. Air bahang ini kemudian menyebar sejauh 4.709 meter.
Sementara, Keputusan Menteri LH nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut menyebut suhu optimal pertumbuhan karang berkisar antara 28-30 celsius. Sisi lain, penelitian Stephen L. Coles menyebut, kenaikan suhu 3-5 derajat celcius berdampak pada kematian organisme laut, sedangkan kenaikan 2-3 derajat celcius akan menghambat proses metabolisme dan fotosintesis terumbu karang.
Kemudian The Nature Conservancy mengatakan, suhu permukaan laut di atas 29 derajat celcius akan mengakibatkan pemutihan terumbu karang secara massal yang mengakibatkan karang-karang menjadi mati.
Dalam analisa dampak lingkungan PLTU Tanjung Jati B sendiri tercatat ada tiga spesies terumbu karang di sekitarnya. Yaitu Pocillopora damicornis, Stylophora pistillata dan Porites lutea, ketiganya sangat rentan terhadap peningkatan suhu berdasarkan penelitian yang mempelajari stres oksidatif jangka panjang.
Cornelius Gea, tim hukum Koalisi Selamatkan Laut Jawa, menyebut, terumbu karang rumah bagi lebih dari 25% spesies ikan laut.
“Terumbu karang menyediakan tempat berlindung, bertelur dan mencari makanan bagi berbagai macam biota laut, oleh karena itu terumbu karang memainkan peran sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ikan dan ekosistem laut.”
Untuk itu, dalam gugatan mereka menuntut Pemerintah Jateng menetapkan baku mutu air limbah kegiatan pembangkit termal dengan ketentuan yang lebih ketat daripada baku mutu nasional. ”Tuntutan kami juga menyasar perlindungan ekosistem laut dan tidak terbatas pada penetapan kadar maksimum temperatur air bahang 28 derajat celcius.”
Selain itu, PLTU di Jateng, juga mereka minta memberikan laporan enam bulanan yang memuat suhu buangan air bahang, limbah air ke laut, dan ekosistem laut secara terbuka serta aksesnya terbuka melalui website pemerintah.
“Termasuk Pemda turut mengawasi dan menindaklanjuti laporan ini agar lebih terpantau dan terjaga ekosistem lautnya.”

*****