- Sengketa agraria masyarakat pesisir Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, dengan Angkasa Pura (AP) II belum ada penyelesaian. Ombudsman RI turun tangan melakukan investigasi untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah empat dekade itu.
- Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman mengatakan , dalam audiensi itu masyarakat mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan hak atas tanah. Padahal, sudah menghuni lebih 50 tahun. Persoalan tanah di Kampung Dadap ini membuat pemerintah tak bisa menerbitkan sertifikat untuk masyarakat.
- Konflik agraria muncul pada 1978 ketika ada proyek pembangunan Bandara Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC) yang kini bernama Bandar Internasional Soekarno-Hatta. Kampung Dadap yang era itu bernama Muara Dadap menjadi salah satu lokasi pembangunan bandara.
- Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, permasalahan masyarakat pesisir memang kompleks. Dalam reforma agraria, masyarakat pesisir seperti anak tiri karena minim pembahasan.
Sengketa agraria masyarakat pesisir Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, dengan Angkasa Pura (AP) II belum ada penyelesaian. Ombudsman RI turun tangan melakukan investigasi untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah empat dekade itu.
Ombudsman melakukan audiensi dengan warga, perwakilan Pemerintah Kabupaten Tangerang, AP II, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kampung Baru Dadap, 28 Mei lalu. Mereka juga sempat berkeliling kampung dan berinteraksi dengan warga yang opunya sertifikat tanah di Dadap.
Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman mengatakan , dalam audiensi itu masyarakat mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan hak atas tanah. Padahal, sudah menghuni lebih 50 tahun. Persoalan tanah di Kampung Dadap ini membuat pemerintah tak bisa menerbitkan sertifikat untuk masyarakat.
Satu sisi, Ombudsman menemukan ada 12 bidang tanah berbentuk sembilan sertifikat hak milik (SHM) dan tiga sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Yeka pun merasa aneh karena sertifikat itu tak bisa didapatkan oleh warga yang memperjuangkan tanah.
“Ini kan aneh sekali. Mengapa ada 12 bidang tanah yang dapat bersertifikat dan sudah ada HGB (hak guna bangunan) juga. Tetapi masyarakat lain SKT (surat keterangan tanah) itu tidak bisa [dapatkan sertifikat],” katanya kepada Mongabay.

Ombudsman akan investigasi. Mereka juga meminta KATR/BPN menelusuri persoalan di kampung yang berpenghuni sekitar 6.000 jiwa ini.
“Kenapa Kementerian ATR/BPN harus melakukan investigasi? Karena di atas lahan yang diakui oleh angkasa pura itu ternyata 12 bidang tanah itu sudah bersertifikat,” katanya.
Warga yang rata-rata sebagai nelayan ini sudah menempati Kampung Dadap sejak 1970-an. Mereka adalah warga korban gusuran proyek (PLTU era Gubernur Jakarta, Ali Sadikin yang kemudian bertransmigrasi.
Konflik agraria muncul pada 1978 ketika ada proyek pembangunan Bandara Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC) yang kini bernama Bandar Internasional Soekarno-Hatta. Kampung Dadap yang era itu bernama Muara Dadap menjadi salah satu lokasi pembangunan bandara.
“Karena ada proyek itu, waktu itu masyarakat rencana mau direlokasi. Karena mau relokasi, akhirnya masyarakat menandatangani surat pelepasan hak atas tanah,” katanya.

Relokasi yang mereka janjikan tak ada. Masyarakat yang sudah terlanjur menandatangani SPH tetap menghuni perkampungan sampai saat ini.
“Kalau benar seperti ini, maling ini namanya. Kalau memang seperti ini, penipuan.”
AP II, selaku pengelola Bandara Soekarno-Hatta mengakui tanah di Kampung Dadap dengan bukti berupa SPH itu. Hal inilah, kata Yeka yang menghambat masyarakat Pesisir Dadap mendapatkan sertifikat tanah.
Namun, SPH saja tidak cukup mengakui kepemilikan tanah. Seharusnya ada kesepakatan kedua belah pihak. Kalau memang benar masyarakat telah menandatangani SPH, seharusnya AP II juga memenuhi janji relokasi dan ganti rugi.
“Nah, ini tentunya harus diinvestigasi, apakah betul waktu itu, bagaimana penyerahannya. Kalau menurut masyarakat, kenapa waktu itu masyarakat menandatangani SPH? Karena dijanjikan relokasi. Relokasinya tidak direalisasikan,” kata Yeka.
Dahlia, perempuan Kampung Baru Dadap mengatakan, AP II tidak bisa memberikan pembuktian dan penjelasan konkret atas bukti kepemilikan tanah. Dia bilang, perwakilan AP II hanya memberikan berkas SPH dengan peta titik koordinat.
“Secara pemberkasan AP II tidak bisa membuktikan,” katanya.
Sampai saat ini, katanya, belum ada masyarakat yang bersedia menyerahkan lahan untuk AP II. Dia menyayangkan sikap yang tidak melayani pembuatan sertifikat tanah dengan alasan sengketa.
Menurut dia, AP II tidak bisa mengakui kepemilikan lahan bermodalkan SPH karena warga sudah menghuni Kampung Baru Dadap selama lima dekade.
“Kita punya bukti pembayaran pajak, 50 tahun kita tinggal disini,” katanya.
Dia berharap, pemerintah berpihak kepada masyarakat Kampung Baru Dadap. Sebagai orang pesisir, mereka tidak bisa hidup jauh dari laut. Laut menjadi sumber kehidupan.
“Karena sebagian besar kita nelayan. Kalau kita pindah bagaimana perekonomian kita ?. Sementara kita sudah terbiasa mencari makan di laut.”

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, permasalahan masyarakat pesisir memang kompleks. Dalam reforma agraria, masyarakat pesisir seperti anak tiri karena minim pembahasan.
“Dalam reforma agraria di Undang-undang Pokok Agraria itu sedikit bicara soal perairan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian ATR/BPN kalau bicara soal hak atas tanah masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya.
Seharusnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mengambil peran untuk pemberdayaan masyarakat pesisir Kampung Baru Dadap. “Mereka kan pelayan publik yang seharusnya mengenali identitas bangsa bahari. Harusnya KKP menjamin hidup masyarakat pesisir.”
Menurut Susan, yang harus diperjuangkan masyarakat Kampung Dadap juga soal hak Tenurial. Ia mencakup hak mengakses, mengelola, dan mengalihkan lahan atau tanah. “Jadi, kan kalau di hak tenur cangkupannya sangat luas, selain di darat atau kawasan pesisir, nelayan punya hak ruang hidup di laut. Jadi, mereka akan lebih leluasa mengelola dan mengakses laut.”

*****