- Pulau-pulau kecil di Indonesia, sesuai UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seharusnya tidak boleh dijadikan lokasi tambang. Namun, kenyataannya ada 218 IUP tersebar di 34 pulau-pulau kecil, termasuk di Raja Ampat.
- Tambang nikel dan pasir memicu abrasi, sedimentasi laut, dan kerusakan hutan pulau kecil. Contohnya, Pulau Gag di Raja Ampat kini mengalami sedimentasi berat yang berpotensi merusak terumbu karang.
- Nelayan dan petani di pulau kecil kehilangan sumber penghidupan akibat tambang. Perampasan lahan, pencemaran laut, hingga nelayan harus melaut lebih jauh.
- Penambangan nikel juga menyebabkan krisis air bersih di pulau kecil. Kasus di Wawonii menunjukkan mata air yang dulunya jernih kini tercemar lumpur.
Polemik penambangan kawasan Raja Ampat, Papua Barat menjadi bahan perbincangan masyarakat akhir-akhir ini. Tagar #SaveRajaAmpat terus mencuat di media sosial, sebagai bentuk perlawanan warga untuk melindungi surga bawah laut Indonesia. Tak hanya Raja Ampat, banyak pulau-pulau kecil lainnya yang terancam izin tambang.
Pada 6 Oktober lalu, pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan di Raja Ampat, yang tersebar di Pulau Kawei, Manyaifun Batang Pele, Manuran dan Yesner Waigeo Timur. Meski begitu, pemerintah tidak mencabut PT Gag Nikel dengan alasan perizinan dikeluarkan pada 1972 dan tidak masuk dalam Geopark Raja Ampat.
Tapi, bagaimana dampak dari pertambangan nikel di pulau-pulau kecil di Indonesia?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau yang memiliki luas kurang dari 2.000 km2 beserta ekosistemnya. Pencabutan empat IUP perusahaan dari Raja Ampat merupakan angka yang kecil apabila dibandingkan dengan keadaan di lapangan saat ini. Masih ada 218 IUP tersebar di 34 pulau kecil Indonesia. Baik tambang nikel, batu bara, emas, granit dan lainnya. Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, misalnya ada 15 IUP yang aktif di Pulau tersebut.
Mengapa penambangan di pulau-pulau kecil menjadi masalah? Berikut penjelasan:
1. Melanggar Undang-Undang
Foto udara Pulau Tanjung Sauh Kecil sudah dilakukan pematangan lahan untuk keperluan pembangunan PSN kawasan industri, Selasa 16 Desember 2024. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memperbolehkan sektor pertambangan masuk ke pulau – pulau kecil. Yakni, pasal 35 huruf k.
Adapun, 33 pulau-pulau kecil di Indonesia kini sudah terbebani izin, diantaranya lima pulau di Raja Ampat. Bahkan Pulau Gag, menjadi pulau paling luas dari lima wilayah lainnya, luasnya hanya 65 km2. Tentu, ini melanggar undang-undang yang ada.
Baca juga: Visi Misi Prabowo-Gibran Tentang Hilirisasi Nikel di Pulau-Pulau Kecil
2. Penyebab abrasi dan sedimentasi
Laut pesisir penuh dengan sedimentasi dari lumpur limbah nikel yang hanyut dari hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia
Tak hanya nikel, penambangan pasir turut menjadi ancaman bahkan dapat sebabkan tenggelamnya pulau – pulau kecil. Penambangan pasir perparah abrasi yang dipicu oleh kenaikan air laut.
Selain abrasi, sedimentasi di pesisir pantai turut menjadi masalah. Seperti di Pulau Gag, aktivitas tambang telah merusak ekosistem hutan dan laut sekitar. Salah satunya sedimentasi berat yang sudah mencemari perairan di sana.
Berdasarkan pengamatan Greenpeace, aktivitas tambang terbuka menyebabkan kekeruhan air karena tidak ada pengolahan limbah. Sedimentasi terjadi akibat limbah yang langsung masuk ke laut. Kerusakan ini dapat berdampak pada keberlanjutan terumbu karang yang merupakan ekosistem penting bagi keanekaragaman hayati Raja Ampat.
3. Kehilangan sumber ekonomi, hasil laut dan pertanian
Murniati, Perempuan Tani di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, perlihatkan hasil panen tanaman kacang yang selamat dari luapan sungai membawa lumpur bersumber dari tambang nikel. Foto: Muhlas/Mongabay Indonesia.
Nelayan dan petani menjadi profesi yang mendominasi di daerah pulau – pulau kecil. Masyarakat pesisir sangat bergantung pada keanekaragaman hayati yang menjadi sumber pangan dan ekonomi untuk menghidupi keluarga.
Kehadiran tambang di pulau kecil hanya akan merusak alam dan menghilangkan ekonomi warga. Warga Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, misalnya sudah merasakannya. Mereka dipaksa untuk menjual lahan perkebunan yang telah menjadi hak mereka turun temurun. Laut mereka juga dirampas menjadi ruang produksi, jadi pelabuhan atau terminal khusus untuk pertambangan.
Sisi lain ada warga Kampung Umera, Pulau Gebe, Maluku Utara yang kehilangan laut biru. Kini perairan mereka berwarna kuning kecoklatan. Semula para nelayan cukup melaut sejauh 20-30 mil untuk mencari ikan. Kini untuk mendapatkan tangkapan mereka harus melaut sejauh 50 mil. Itupun sulit untuk menutup biaya operasional mereka.
Baca juga: Sumber Pangan Musnah di Pulau-Pulau Kecil Akibat Tambang
4. Deforestasi pulau besar – besaran

Hutan turut menjadi korban dari kehadiran perusahaan tambang di pulau kecil. Padahal hutan di pulau kecil setara dengan 50% luas daratan pulau kecil di Indonesia. Luasnya mencapai 3,49 juta Ha. Dari luas itu, sekitar 318,6 ribu hektare hutan di pulau kecil telah hilang atau setara dengan 3% deforestasi nasional menurut Forest Watch Indonesia.
Hutan yang menyelimuti Pulau Gag menjadi salah satu korban dari bisnis ekstraktif dengan daya rusak tinggi ini. PT Gag Nikel (GN) pada 2015 memperoleh IPPKH untuk operasi produksi dan sarana penunjangnya, berdasarkan SK BKPM Nomor: 19/1/IPPKH/PMA/2015. Dengan adanya SK, PT GN menjadi satu dari 13 perusahaan yang melakukan penambangan di kawasan hutan lindung seluas 13.136 Ha.
5. Hilangnya sumber mata air
Tambang nikel di Pulau Kawei, Raja Ampat. Hutan nan lebat pun terbabat. Foto: Greenpeace
Mei 2023, warga Wawonii alami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Ketika hujan turun, air di bak penampungan keruh dan penuh lumpur. Krisis air diduga menjadi dampak dari penambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang mulai beroperasi setahun sebelumnya.
Sumber mata air Banda berada di hutan Wawonii Tenggara. Ketika warga memeriksanya, mata air yang dulunya bersih dan jernih kini berwarna oranye dan tercemar lumpur. Tak hanya air, dinding kapur gua tempat mata air berubah dari warna putih menjadi coklat permanen.
Krisis air bersih mengancam kehidupan warga sehari hari yang bergantung kepada air. Tak hanya untuk minum saja, para petani juga harus menerima kenyataan pahit gagal panen akibat minimnya akses air untuk sawah. Air sungai yang tercemar juga bagai racun bagi tanamannya. Sementara perusahaan meraih keuntungan, warga kehilangan perairan.
*Bernardino Realino Arya Bagaskara, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rio aktif sebagai jurnalis di pers mahasiswa Teras Pers. Dia memiliki minat pada isu sosial kemasyarakatan, termasuk lingkungan.