- Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menanti putusan gugatan mereka terhadap Bank Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Mereka melaporkan bank pelat merah ini karena kedapatan membiayai perusahaan perkebunan sawit ilegal di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
- Linda Rosalina, Direktur TuK Indonesia, menjelaskan, secara umum Bank Mandiri sudah banyak menyalurkan kredit ke berbagai sektor ekstraktif yang berisiko tinggi serta berdampak pada masyarakat, lingkungan, dan potensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Sejak 2016 hingga Juni 2024, misal, BUMN ini tercatat menyalurkan Rp110,14 triliun ke sektor sawit, pulp, karet, dan kayu.
- Gugatan TuK Indonesia ini dapat dukungan dari delapan organisasi masyarakat sipil, tingkat nasional maupun internasional. Masing-masing organisasi non pemerintah itu turut mengajukan dokumen amicus curiae atau sahabat peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
- Bayu Herdianto, VP Corporate Legal AAL merespons pertanyaan Mongabay secara tertulis, Rabu (2/7/2025). Dia menepis sejumlah tudingan yang masyarakat sipil layangkan.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menanti putusan gugatan mereka terhadap Bank Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Mereka melaporkan bank pelat merah ini karena kedapatan membiayai perusahaan perkebunan sawit ilegal di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Gugatan mereka layangkan pada 14 November 2024. Rencananya, 3 Juli ini pembacaan putusan oleh Majelis Hakim PN Jaksel.
Linda Rosalina, Direktur TuK Indonesia menjelaskan, secara umum Bank Mandiri banyak menyalurkan kredit ke berbagai sektor ekstraktif yang berisiko tinggi serta berdampak pada masyarakat, lingkungan, dan potensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sejak 2016-Juni 2024, misal, BUMN ini tercatat menyalurkan Rp110,14 triliun ke sawit, pulp, karet, dan kayu. Kredit Rp 153,91 triliun juga mereka salurkan ke sektor pertambangan di periode sama. Untuk komoditas aluminium, tembaga, emas, dan nikel.
TuK menilai tidak semua pembiayaan yang Mandiri salurkan tepat sasar dan sesuai kebijakan internal maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab, temuan lapangan menunjukkan bank itu juga menyalurkan kredit pada anak usaha Astra Agro Lestari (AAL), PT Agro Nusa Abadi (ANA), yang sering terlibat konflik lahan.
Sejak berdiri 6 September 2006, ANA tidak pernah punya hak guna usaha (HGU) sebagaimana mandat Undang-undang. Ini jelas melanggar prinsip dan komitmen Bank Mandiri terkait keberlanjutan, aspek lingkungan, sosial, dan aspek tata kelola (environmental, social, and governance/ESG).
Analisis spasial menunjukkan deforestasi di konsesi ANA pada 2006-2022 mencapai 3.395,59 hektar. Perusahaan juga TuK duga menutup aliran sungai, yang berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bencana, seperti likuifaksi, tanah longsor, kekeringan, dan banjir.
Meski tidak punya HGU dan banyak melakukan pelanggaran lapangan, Bank Mandiri tetap menyalurkan kredit terhadap perusahaan. Sebesar Rp134,773 miliar tahun 2017, Rp1.269 triliun pada 2018, Rp163,601 miliar pada 2019, Rp140,790 miliar pada 2020, dan Rp142,578 miliar dalam 2021.
“Bahkan dalam duplikat yang kami terima, mereka masih memiliki perjanjian kredit tertanggal 6 Desember 2023 dan 5 Juli 2024,” katanya.
Dalam gugatan, TuK mengajukan tiga poin tuntutan hukum. Pertama, Bank Mandiri menghentikan pemberian kredit pada AAL dan ANA. Kedua, Bank Mandiri membuat sistem khusus untuk memantau langkah-langkah yang diterapkan atas kredit, khususnya mekanisme komplain dan pengaduan dari masyarakat untuk memantau pelaksanaan kredit pada perkebunan sawit.
Ketiga, Bank Mandiri harus meminta maaf secara terbuka dan tertulis kepada nasabah dan seluruh rakyat Indonesia atas perbuatan melawan hukum, menyalurkan kredit pada perusahaan ilegal, menyebabkan konflik sosial, menyatakan penyesalan dan menjadikan kesalahan ini momentum perbaikan kebijakan pembiayaan ke depan.

Amicus Curiae
Gugatan TuK Indonesia ini dapat dukungan dari delapan organisasi masyarakat sipil, tingkat nasional maupun internasional. Masing-masing organisasi non pemerintah itu turut mengajukan dokumen amicus curiae atau sahabat peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Organisasi itu adalah BankTrack, Milieudefensie, RimbaWatch, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Trend Asia, Eksekutif Nasional Walhi hingga Walhi Riau.
Dalam diskusi daring, 18 Juni, mereka menyerukan pentingnya akuntabilitas lembaga keuangan terhadap pembiayaan proyek yang berdampak buruk bagi lingkungan hidup, masyarakat adat, dan tata kelola demokratis.
Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, menilai bank pelat merah tersebut turut bertanggung jawab dalam melestarikan konflik agraria di Indonesia.
“Kasus ini adalah cermin dari watak industri perkebunan yang masih menggunakan pola-pola lama perampasan tanah, penggusuran masyarakat, dan ekspansi tanpa legalitas yang sah,” katanya.
Data KPA, sepanjang 2017 hingga 2024, terjadi 413 letusan konflik agraria di sektor sawit di 1.087.196 hektar lahan. Sebagian besar penyebabnya karena aktivitas perusahaan yang mengklaim tanah melalui izin lokasi dan HGU, meskipun belum ada pelepasan hak dari masyarakat.
Tahun 2024, konflik agraria di sektor perkebunan mencapai 170.210 hektar, berdampak pada lebih dari 27.455 keluarga. Dari jumlah itu, 67% terjadi akibat ekspansi sawit, termasuk oleh anak usaha AAL dalam gugatan terhadap Bank Mandiri.
Temuan KPA menunjukkan sejak 2017 hingga 2024, terjadi 17 konflik agraria dengan total luasan 37.620 hektar, yang melibatkan delapan perusahaan anak usaha AAL.

Benni bilang, Bank Mandiri gegabah karena memberikan pinjaman kepada perusahaan yang tidak memenuhi prinsip kehati-hatian, padahal ini merupakan prinsip dasar dalam UU Perbankan.
“Artinya, Bank Mandiri adalah bagian dari aktor yang menyebabkan dan sekaligus melestarikan konflik agraria di Indonesia.”
Dalam dokumen amicus curiae yang KPA ajukan ke PN Jaksel, mereka menyebut Bank BUMN itu gagal menjalankan uji tuntas dan prinsip mengenal nasabah. Mereka juga melanggar tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta prinsip-prinsip HAM.
Dokumen tersebut juga menyinggung laporan investigasi bertajuk “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, Berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia.“. Data ini memperkuat konflik agraria sistemik ini berkaitan erat dengan pola pembiayaan lembaga keuangan besar.
Menurut dia, pembiayaan semacam ini harus berhenti, karena bertentangan dengan konstitusi dan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
“Sudah sepatutnya pembiayaan-pembiayaan kotor ini dihentikan karena telah berkontribusi besar terhadap tingginya konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah. Oleh sebab itu, kami mendukung penuh gugatan TuK Indonesia.”
Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati ICEL, menyebut, perkara ini merupakan gugatan pertama di Indonesia yang meminta pertanggungjawaban perbankan atas pendanaan terhadap usaha yang tidak memiliki legalitas lengkap hingga menimbulkan dampak negatif masif, baik ekologis maupun sosial. Ia merupakan sejarah dan kesempatan besar Majelis Hakim menegaskan pertanggungjawaban lembaga keuangan atas pendanannya.
“Perkara ini bukan sekedar perkara antara TuK Indonesia melawan Mandiri, tetapi menandai titik awal dalam melawan seluruh bentuk pendanaan dan dukungan oleh lembaga keuangan terhadap banyaknya kegiatan yang merusak.”
Dia berharap, Majelis Hakim memutus bijak, mengingat perkara ini akan jadi preseden yang dapat berperan besar dalam menuntut kepatuhan bank dan keberpihakan terhadap lingkungan.
Ola Janus, Pemimpin Kampanye Bank dan Alam di BankTrack, mengkritik keras lembaga keuangan yang masih mengabaikan Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM lebih dari satu dekade setelah disepakati secara global.
“Kerangka kerja internasional seperti Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia sangat jelas, bank memiliki tanggung jawab untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan pembiayaan mereka, bahkan di luar hubungan tingkat pertama.”
Lembaga keuangan, lanjutnya, mestinya tidak boleh menganggap tanggung jawab hak asasi manusia mereka opsional. Apalagi di sektor sawit yang erat dengan risiko hak asasi manusia.
“Itu adalah minimum mutlak,” tegas perempuan yang berkantor pusat di Nijmegen, Belanda, itu.
BankTrack secara khusus mengirimkan dokumen amicus curiae sebanyak 37 lembar untuk gugatan terhadap Bank Mandiri.
Danielle van Oijen dari Milieudefensie, menyebut bank memiliki kewajiban sosial untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah dampak negatif terhadap iklim dan alam. Perjanjian Paris dan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global, menekankan aliran kredit harus selaras dengan pembangunan yang tahan iklim dan memprioritaskan harmoni dengan lingkungan.
“Kami mendukung TuK Indonesia dalam gugatan bersejarah mereka yang menambah gerakan litigasi strategis global untuk mempertanggungjawabkan lembaga keuangan. Kita perlu terus menetapkan presiden penting, mengubah sistem keuangan secara fundamental,” katanya.
Dia berharap, hakim tidak sekadar melihat kasus ini sebagai gugatan perdata biasa. Tetapi sebagai momentum yang bisa menetapkan standar baru bahwa lembaga keuangan juga tunduk pada prinsip keadilan ekologis dan hak asasi manusia.
Sementara itu, RimbaWatch, organisasi pemantau lingkungan yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia, menyatakan gugatan ini merupakan langkah strategis dalam perjuangan mewujudkan keadilan iklim dan akuntabilitas korporasi di kawasan Global South.
Kuberan Hansrajh Kumaresan dan Claudia Nyon Syn Yue, perwakilan RimbaWatch, meyakini, gugatan dapat menjadi preseden penting bagi penegakan akuntabilitas hukum terhadap lembaga keuangan secara global.
Menurut mereka, TuK Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan. Sebab, dalam prinsip hukum lingkungan, lingkungan hidup merupakan kepentingan publik yang tidak bisa ditawar.
Karena itu, organisasi seperti TuK Indonesia berhak melawan tindakan lembaga keuangan yang melanggar hukum. Mereka juga memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi dan memperjuangkan kepentingan publik di mata hukum.
“Kalau berdasarkan pengalaman dari Malaysia, jelas NGO bisa bicara dengan mengajukan gugatan atas nama alam dan lingkungan,” ujar Claudia Nyon Syn Yue.

Langgar HAM
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyampaikan, selain berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan, deforestasi, dan konflik agraria, AAL juga melakukan pelanggaran HAM.
“Selama bertahun-tahun kami berjuang bersama rakyat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat menuntut AAL mengembalikan tanah masyarakat yang mereka rampas, dan menuntut AAL memulihkan lingkungan yang rusak akibat operasinya.”
Dia bilang, saat ini terdapat satu NGO dan tiga warga pemilik tabungan di Bank Mandiri yang menuntut keadilan melalui jalur hukum. Mereka menggugat Bank Mandiri, PT Astra, dan anak perusahaannya, ANA, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Para penggugat menuntut permintaan maaf atas konflik yang telah berlangsung selama hampir 17 tahun, serta meminta Bank Mandiri untuk tidak lagi memberikan kredit kepada AAL. Karena ANA tidak memiliki sertifikat HGU atas lahan di Sulawesi Tengah dan masyarakat adat serta komunitas lokal di Morowali Utara sangat terdampak.
Walhi menyebut perusahaan tersebut sebagai perampas tanah masyarakat adat dan lokal dalam dokumen amicus curiae.
Konflik antara warga dan ANA terus berlanjut akibat sengketa lahan dan ketidakjelasan izin usaha. Masyarakat sekitar area konsesi perusahaan, khususnya di Desa Bunta, Bungintimbe, dan Tompira, mengklaim sebagian lahan yang perusahaan kuasai merupakan tanah adat yang telah mereka kelola turun-temurun untuk pertanian dan peternakan.
Alih-alih mendapatkan pengakuan, baru-baru ini delapan warga yang mempertahankan lahan tersebut justru dipanggil ke Polres Morowali Utara terkait dugaan tindak pidana perampasan atau pencurian buah sawit di area yang dikuasai ANA.
Mereka dituduh mencuri atau melakukan pelanggaran pidana, sehingga memperkeruh situasi dan memperdalam konflik sosial di tingkat lokal. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya ketegangan, bahkan hingga menyebabkan kekerasan dan perpecahan sosial.
Sementara, penyelesaian proses pengurusan HGU perusahaan tersendat karena tumpang tindih Surat Keterangan Tanah (SKT). Setidaknya 28 individu dan kelompok saling klaim lahan yang sama, sehingga menambah kompleksitas persoalan agraria di wilayah tersebut.
“Kini, saatnya hakim melalui putusannya terhadap gugatan TuK Indonesia pada bank Mandiri dapat memberikan keadilan, dengan mengabulkan tuntutan TuK Indonesia. Bank Mandiri harus bertanggung jawab pada publik dengan berhenti memberi pinjaman ke perusahaan jahat seperti AAL,” kata Uli.
Di Riau, investigasi Eyes on the Forest (EoF) terhadap PT Sari Lembah Subur (SLS), anak usaha AAL, menemukan indikasi operasional tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan HGU. Selain itu, 250 hektar lahan SLS pun kena sita Satgas Penertiban Kawasan Hutan, karena tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Sedangkan temuan lainnya menunjukkan AAL yang berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu diduga melakukan pelanggaran mengembangkan kebun sawit sebanyak 331 batang di kawasan hutan lebih dulu sebelum SK 878/Menhut-II/2014 keluar, 29 September 2014.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, menyebut, temuan tersebut jelas menunjukkan kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan tempatan terkait penguasaan lahan.
“Belajar dari kasus di Riau kejadian ini bisa menjadi pertimbangan majelis hakim untuk memberikan putusan berpihak pada lingkungan dan memberikan dasar hukum bagi badan usaha melakukan antisipasi kerusakan lingkungan hidup.” .

Apa tanggapan perusahaan?
Bayu Herdianto, VP Corporate Legal AAL merespons pertanyaan Mongabay secara tertulis, Rabu (2/7/2025). Dia menepis sejumlah tudingan yang masyarakat sipil layangkan.
Menurut dia, perusahaan memiliki kebijakan berkelanjutan sejak tahun 2015. Salah satu komitmen tuamanya adalah ‘Respecting Human Right’ Sustainability Policy.
Dia bilang, ANA mendapatkan izin lokasi dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) sejak 2007. Proses HGU mereka memerlukan waktu panjang karena kompleksitas di lapangan, mulai dari adanya pemekaran wilayah kabupaten hingga klaim tumpang tindih surat keterangan tanah (SKT) pihak ketiga.
Proses mendapatkan HGU pun masih berlangsung. Sekalipun sudah ada sawit yang mereka tanam.
Menurut Bayu, lokasi yang mereka peroleh berada di APL, bukan di kawasan hutan. Karena itu, tudingan deforestasi jadi tidak berdasar.
“Kami juga menyatakan, PT ANA juga tidak pernah menutup aliran Sungai di wilayah konsesi.”
Dia juga menyebut entitas anak usahanya patuh regulasi, termasuk SLS yang Walhi Riau keluhkan. “PT SLS telah memiliki perizinan lengkap dalam beroperasi termasuk HGU dan Izin Pelepasan Kawasan Hutan.”
Sementara, Mongabay coba melayangkan permohonan konfirmasi pada Daffa Afif Akbar, Kuasa Hukum Bank Mandiri melalui pesan instan WhatsApp, 24 Juni. Tapi, hingga berita ini terbit, tidak ada tanggapan yang Mongabay terima.

*****
Kongkalikong Korporasi dan Penegak Hukum dalam Korupsi Sawit