- Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, Papua Selatan, berpotensi memutus hubungan manusia dengan alam. Padahal, masyarakat adat Marind yang lahannya terampas proyek ini tidak bisa pisah dari keberadaan hutan yang kini rebah dan gundul.
- Yasinta Moiwend, perempuan adat Marind-Maklew, di hadapan Komisioner Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), bilang, hutan merupakan tempat mereka cari makan, obat-obatan, hingga keperluan harian. Bahkan, perempuan adat memanfaatkan hewan dan tumbuh-tumbuhan hutan untuk proses melahirkan dan penuhi gizi kandungan.
- Sondang Frishka Simanjuntak, Komisioner Komnas Perempuan, bilang, perusakan hutan berpotensi menghilangkan identitas masyarakat adat, berisiko melanggar hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, berharap, pemerintah cabut kebijakan dan hentikan program PSN di Merauke. Sebab, pengembangan proyek ini berpotensi semakin memarjinalkan masyarakat adat.
Proyek Strategis Nasional (PSN) pangan dan energi lewat kebun tebu dan sawah di Merauke, Papua Selatan, berisiko memutus hubungan manusia dengan alam. Padahal, Masyarakat Adat Marind, terlebih para perempuan dengan tanah ulayat terampas proyek ini tidak bisa pisah dari hutan yang kini gundul.
Yasinta Moiwend, perempuan adat Marind-Maklew, di hadapan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), bilang, hutan merupakan tempat mereka cari makan, obat-obatan, hingga keperluan harian. Bahkan, perempuan adat memanfaatkan hewan dan tumbuh-tumbuhan hutan untuk proses melahirkan dan penuhi gizi kandungan.
“Ketika melahirkan, kami makan sayur ganemo dengan semut, yang biasa bersarang di daun-daun di hutan. Terus, ada daun-daun yang kami olesi di perut setelah melahirkan. Itu tidak pakai obat dari rumah sakit,” katanya, 18 Juni lalu.
Kondisi itu, katanya, akan hilang karena wilayah adat Marind-Maklew masuk dalam PSN. Sejak pertengahan 2024, Jhonlin Group mengerahkan sekitar 300 ekskavator ke Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, untuk bangun dermaga.
Proyek itu, katanya, menggusur hutan, rawa dan lahan pertanian masyarakat, termasuk 10 situs adat Marind-Maklew. Tanda sasi, larangan untuk memasuki tanah dan hutan adat, tidak perusahaan anggap.
Dia khawatir, perubahan bentang alam mempengaruhi hubungan perempuan adat dengan lingkungannya. Juga, mengganggu proses pemenuhan gizi, mulai dari masa mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak.
“Kalau bukan perempuan siapa lagi yang lahirkan anak? Perempuan itu berharga, karena dia yang fasilitasi semua-semua, mulai bayi lahir, besarkan, menyusui, masak, cuci pakaian. Jadi, kami, perempuan harus pertahankan (hutan).”
Tak ingin bernasib sama, Rufina Gebze, perempuan adat Marind-Anim, berharap Komnas Perempuan bantu pertahankan wilayah adat tersisa. Soalnya, hutan dan tanah adat di Kampung Onggari, Distrik Malind, masuk dalam area PT Borneo Citra Persada (BCP), yang akan kembangkan perkebunan tebu di lahan seluas 50.772,4 hektar.

Bagi Masyarakat Adat Marind-Anim, tanah dan hutan adalah ibu yang sediakan kebutuhan hidup. Dari sana pula, perempuan-perempuan adat mengumpulkan bahan makanan dan obat-obatan. Merekah khawatir PSN mengancam ketersediaan keperluan masyarakat adat.
“Kami perempuan-perempuan ambil dari situ (hutan) untuk besarkan anak-anak kami. Kalau dirusak bagaimana kami mau berekembang biak dengan baik? Kami mau ambil obat di mana lagi? Lebih baik kami tidak usah melahirkan.”
Dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena proyek yang berdampak besar itu tidak pernah melibatkan persetujuan masyarakat adat Marind-Anim. Tidak pernah ada pemberitahuan ihwal kehadiran perusahaan termasuk aktivitas pemetaan area perkebunan tebu.
Bahkan, masyarakat adat juga tidak pernah dapat infromasi siapa pihak yang menyerahkan wilayah adat untuk area perkebunan tebu. “Sampai sekarang kami tidak tahu siapa yang lepas (hutan dan tanah). Itu bisa kami katakan mencuri, bertindak tanpa pengetahuan masyarakat adat di kampung kami,” katanya.
Karena itu, Rufina dan masyarakat adat di kampungnya, pasang tanda sasi untuk tolak kehadiran perusahaan tebu. Dia berharap, upaya masyarakat dapat dukungan sejumlah pihak, termasuk Komnas Perempuan.
“Bantu saya cabut (izin perkebunan tebu), jangan lanjut perusahaan itu. Karena (hutan) masih utuh, sampai sekarang kami masih pertahankan, belum terkorek. Kami tidak kasih ke siapa pun. Sebelum terlambat makanya saya datang.”

Hilang identitas
Sondang Frishka Simanjuntak, Komisioner Komnas Perempuan, bilang, perusakan hutan berpotensi menghilangkan identitas masyarakat adat, berisiko melanggar hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Itu sudah clear, bagi Komnas Perempuan, dari awal kami lihat ini (perusakan hutan) sebagai pelanggaran HAM. Pertama, pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya. Kemudian, pelanggaran terhadap hak atas rasa aman. Dan bahkan kami sudah lihat ini sebagai bentuk menuju unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada Mongabay.
Meski belum lakukan kajian spesifik tentang PSN Merauke, tetapi perempuan adat di banyak tempat memperlihatkan ketergantungan tinggi pada hutan yang lestari untuk penuhi kebutuhan reproduksi, obat-obatan, ritual hingga pertahankan hidup.
Negara, katanya, harus menjamin partisipasi aktif, kedepankan pendekatan konsultatif dan konstruktif, dalam kegiatan publik yang berkaitan dengan perempuan dan masyarakat adat. Sejalan dengan mandat Pasal 33 UUD 1945 dan UU 7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
“Negara harusnya ikuti saja komitmen-komitmen yang sudah dibuat, di konstitusi, UU, perjanjian internasional. Bagaimana keterlibatan perempuan dijamin melalui prinsip non diskriminasi, memastikan keterlibatan perempuan, prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC).”
Dia bilang, akan membahas persoalan yang perempuan adat Marind hadapi. Mereka akan buat kajian dan pemantauan lokasi untuk temu-kenali bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Hasil kajian itu, katanya, bisa jadi laporan maupun surat rekomendasi.
“Memang kami tidak punya wewenang penyelidikan. Tapi bisa lakukan pendokumentasian, juga intervensi, berdasarkan pemantauan ataupun bukti-bukti pengaduan yang sudah disampaikan,” katanya.
“Yang paling mungkin, tadi, bentuk-bentuk pelanggaran perempuan bisa masuk di catatan tahunan Komnas Perempuan.”
Sebelumnya, pelapor khusus PBB menyampaikan penghancuran hutan berdampak memutus ikatan spiritual dan budaya masyarakat adat dengan tanahnya. Karena, menurut mereka, pangan hutan merepresentasikan hubungan kekerabatan mendalam antara masyarakat adat Marind, tumbuhan, dan hewan yang dianggap sebagai ‘kakek-nenek’ atau ‘saudara kandung’.
Sagu, yang terkenal sebagai dakh menjadi pusat identitas mereka. Laporan itu menyatakan Marind sejati adalah orang yang makan sagu. Selain nilai gizi, makanan ini melambangkan kekuatan dan vitalitas yang memungkinkan pria berburu dan perempuan melahirkan anak-anak yang sehat.
Ketika menanggapi surat pelapor khusus PBB, Pemerintah Indonesia menyatakan telah terapkan berbagai peraturan dan mekanisme untuk meningkatkan pendaftaran tanah dan hutan adat. Serta, memastikan pengelolaan dan penyelesaian sengketa lahan yang tepat.
Soal dugaan penyalahgunaan kawasan hutan, pemerintah menyatakan, PSN Merauke terletak dalam kawasan hutan produksi. “Hingga Maret 2025, Kementerian Kehutanan belum menerima permohonan untuk menetapkan kawasan hutan adat di Papua Selatan,” sebut pemerintah dalam surat tanggapannya.

Depopulasi
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, desak pemerintah cabut kebijakan dan hentikan PSN di Merauke. Proyek ini berisiko makin memarjinalkan masyarakat adat.
Saat ini, penduduk Merauke 243.722 jiwa. Warga Adat Marind hanya 38%-40% dari total penduduk di Merauke, atau sekitar 30.000-40.000 jiwa.
Angky, sapaan akrabnya, bilang, kerentanan masyarakat adat makin meningkat karena PSN tersebar di 15 distrik yang merupakan kampung-kampung Orang Asli Papua. Mereka jadi kelompok paling terdampak, karena tanah dan hutan adat yang terampas.
Catatan Pusaka memperkirakan, Masyarakat Adat Marind-Anim, Maklew, Khimaima, Yei yang terancam dan terdampak PSN Merauke lebih dari 50.000 jiwa. Angka itu lebih dari 80% orang asli Papua dari empat suku itu.
Ancaman terhadap masyarakat adat juga bisa lewat pertambahan penduduk besar-besaran. Dia contohkan, jika satu orang menggarap satu hektar sawah, maka program cetak sawah baru seluas satu juta hektar perlu paling sedikit 1 juta pekerja.
“Artinya, lebih dari 1 juta orang akan datang ke situ. Sudah banyak riset katakan akan terjadi depopulasi (Orang Papua). Paling mengkhawatirkan, genosida buat Orang Asli Papua, khususnya Marind-Anim.”
Sepanjang pertengahan Mei 2025, masyarakat adat dari Merauke audiensi dengan sejumlah lembaga negara di antara lain, Komnas Perlindungan Anak, Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta Kementerian HAM dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Mereka juga berniat audiensi dengan Kementerian Pertahanan, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian yang terkait dengan pengembangan PSN di Merauke. Namun, sejak melayangkan surat permohonan audiensi pada awal Mei, surat balasan tidak kunjung mereka terima.
“Padahal kami berharap sekali kementerian yang bertanggung jawab dapat beri penjelasan tentang PSN Merauke. Bagaimanapun terkait perizinan, mereka yang terbitkan.”
Selain audiensi dengan lembaga-lembaga negara, mereka tengah menyiapkan gugatan terhadap kebijakan dan perizinan PSN. Soalnya, ada sejumlah perizinan yang memberi kemudahan investasi namun merugikan masyarakat adat.
“Gugatannya sedang dipersiapkan. Kami mau mereka hentikan proyek ini, kebijakannya dicabut, semua izin dievaluasi. Karena kami yakin itu bermasalah secara hukum dan hukum adat.”

Temuan Komnas HAM
Komnas HAM akukan pengamatan di PSN Merauke untuk dalami situasi HAM, 22-25 Juni 2025. Mereka temukan beberapa permasalahan, antara lain, pengabaian prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) dan tidak diakuinya hak-hak ulayat masyarakat adat.
Juga, berkurangnya ruang hidup dan sumber kehidupan masyarakat adat, penggusuran paksa atas lahan masyarakat adat, kerusakan lingkungan dan budaya lokal, hingga keterlibatan aparat dalam pelaksanaan PSN.
Dalam rilis yang Mongabay terima, Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan yang terlibat dalam PSN perlu lakukan sosialiasi dan konsultasi publik dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan PSN.
Kedua, pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan perlu membuka ruang dialog seluas-luasnya dan menjamin partisipasi yang bermakna bagi masyarakat yang terdampak PSN. Ketiga, pemerintah pusat perlu melakukan pemetaan hak-hak ulayat, memberikan perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat.
Keempat, pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum (APH) memberikan jaminan atas hak rasa aman bagi masyarakat adat yang terdampak PSN. Kelima, semua pihak perlu menciptakan kondisi yang kondusif dan melakukan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAK di Papua Selatan.

*****