- Negara makin tidak berpihak pada nelayan. Demi tingkatkan ekonomi, pemerintah izinkan privatisasi ruang laut (ocean grabbing) dan pesisir (coastal grabbing), serta sumber daya alam di dalamnya. Hal itu terungkap dalam buku “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan” yang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) luncurkan. Berisi kumpulan riset, buku ini menyajikan analisis kebijakan dan realitas perampasan ruang laut dan pesisir, hingga upaya-upaya masyarakat mempertahankan dan mengelola ruang hidupnya.
- Dedi S Adhuri, Antropolog Maritim BRIN sekaligus editor buku tersebut, menjelaskan, ocean dan coastal grabbing sebagai perampasan lahan pesisir dan laut beserta sumber daya yang ada di dalamnya oleh pihak luar. Terjadi karena dukungan, bahkan pemerintah sendiri, maupun secara menantang hukum oleh pihak swasta.
- Parid Ridwanuddin, salah seorang penulis buku bilang, RZWP3K merupakan instrumen yang lemahkan posisi masyarakat tetapi beri kepastian hukum bagi entitas bisnis skala besar. Soalnya, dari analisis Perda RZWP3K di 28 provinsi, dia mendapati minimnya alokasi ruang untuk pemukiman nelayan ketimbang proyek-proyek seperti reklamasi dan tambang pasir laut.
- Achmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), menilai, perampasan ruang laut dan pesisir sebagai konsekuensi dari penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan aliran lemah (weak sustainability). Rapuhnya demokrasi, tata kelola, dan supremasi hukum mendukung kondisi ini.
Negara makin tidak berpihak pada nelayan. Demi tingkatkan ekonomi, pemerintah izinkan privatisasi ruang laut (ocean grabbing) dan pesisir (coastal grabbing), serta sumber daya alam di dalamnya.Ini terungkap dalam buku “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan” yang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) luncurkan.
Berisi kumpulan riset, buku ini menyajikan analisis kebijakan dan realitas perampasan ruang laut dan pesisir, hingga upaya-upaya masyarakat mempertahankan dan mengelola ruang hidupnya.
Dedi S Adhuri, Antropolog Maritim BRIN sekaligus editor buku ini, menjelaskan, ocean dan coastal grabbing sebagai perampasan lahan pesisir dan laut beserta sumber daya yang ada di dalamnya oleh pihak luar. Kondisi ini terjadi karena dukungan pemerintah maupun secara menantang hukum oleh pihak swasta.
Ada tiga kriteria perampasan ruang laut dan pesisir, yakni, dampak pada keamanan manusia dan penghidupannya, kesejahteraan sosial-ekologi, serta kualitas tata kelola. Ketidakadaan kebijakan yang kuat mengakui masyarakat pesisir sebagai subjek pemanfaat ruang dan sumber daya alam di dalamnya akan memperparah situasi ini.
“Misal, kami sudah identifikasi ratusan bentuk pengelolaan pesisir berbasis komunitas, bahkan bisa ribuan. Tapi yang diakui pemerintah kurang dari 30 komunitas adat pesisir. Minim sekali,” katanya kepada Mongabay.
Menurut dia, rumitnya pemenuhan persyaratan memengaruhi minimnya pengakuan terhadap komunitas adat pesisir. Juga, kerangka legal pengakuan tidak sesuai realitas masyarakat.
Contoh, definisi masyarakat hukum adat yang terafiliasi dengan wilayah lokal tertentu bikin masyarakat Bajo sulit dapat pengakuan. Sedangkan, komunitas yang terkenal dengan sea nomad (nomad laut) ini, secara historis tidak memiliki asosiasi ruang yang tunggal, serta punya wilayah gerak yang sangat luas.
Untuk mengatasi permasalahan itu, katanya, pemerintah seharusnya beri pengakuan lebih kuat supaya masyarakat pesisir bisa dapat hak keruangan dan hak atas sumber daya. Salah satu caranya, memberi kemudahan dalam persyaratan dan proses administrasi.
“Mesti ada kelonggaran untuk pengakuan terhadap hak de facto mereka (masyarakat pesisir), karena mereka lebih dulu berkorelasi dengan wilayah dan sumber daya laut dan pesisir.”
Selain marginalisasi masyarakat pesisir, tata kelola juga lahirkan resistensi dari sejumlah komunitas, salah satunya gerakan Bali Tolak Reklamasi. Slamet Subekti, Akedemisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, dalam risetnya menarasikan perlawanan masyarakat dengan mengusung identitas budaya.
Dia bilang, aksi penolakan jadi besar setelah gerakan masyarakat adat berhasil mengidentifikasi 70 situs suci dan menghasilkan peta dengan lokasi spesifik masing-masing situs. Reklamasi Teluk Benoa dikhawatirkan merusak situs-situs itu.
“Sehingga, framingnya bahwa kalau reklamasi dibuat di Teluk Benoa, dan Teluk Benoa merupakan tapak yang disucikan, maka proyek reklamasi akan mengancam identitas Bali,” terangnya.
Bagi dia, keberhasilan gerakan Bali Tolak Reklamasi bisa jadi referensi gerakan masyarakat pesisir untuk memperjuangkan hak-haknya. “Tidak selalu gerakan masyarakat sipil kalah dalam kontestasi ketika berhadapan dengan kekuatan neoliberalisme yang difasilitasi oleh negara.”

Perampasan terencana?
Buku itu menyatakan, pemerintah telah rencanakan perampasan ruang laut dan pesisir (planned ocean grabbing). Salah satunya, lewat instrumen kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Parid Ridwanuddin, tim penulis buku bilang, RZWP3K merupakan instrumen yang lemahkan posisi masyarakat tetapi beri kepastian hukum bagi entitas bisnis skala besar. Soalnya, dari analisis Perda RZWP3K di 28 provinsi, dia mendapati alokasi ruang untuk pemukiman nelayan minim ketimbang proyek-proyek seperti reklamasi dan tambang pasir laut.
Secara keseluruhan, dari analisis itu, luas alokasi ruang pemukiman nelayan dan kawasan perlindungan ekosistem pesisir hanya 53.694,81 hektar. Sedangkan, alokasi ruang proyek reklamasi dan tambang pasir laut mencapai 3.590.883,22 hektar.
“Permpasan ruang laut di Indonesia itu direncanakan dengan baik lewat regulasi, di antaranya Perda RZWP3K.”
RZWP3K lahir tahun 2010, setelah Mahkamah Konstitusi batalkan Pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yang termaktub dalam Undang-undang 27/ 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. MK nyatakan HP3 tidak sesuai konstitusi karena berikan hak privatisasi wilayah pesisir pada perorangan, mengancam hak masyarakat adat dan nelayan tradisional, serta melanggar demokrasi ekonomi yang berdasar pada prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan.
Pemerintah pun lakukan revisi dengan mengubah hak jadi izin, melalui skema RZWP3K, seperti diatur dalam UU 1 tahun 2014. Namun, perubahan ini Parid anggap tidak memberi perbaikan, khususnya dalam upaya melindungi hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir.
“Kalau dilihat hanya perubahan nama (dari hak ke izin), tapi esensinya sama, berikan kepastian hukum pada pelaku bisnis. Masyarakat harus berjuang sendiri. Mau hak, mau izin, laut itu dilihat sebagai properti atau komoditas untuk dibisniskan.”
Baginya, masalah pengaturan ruang laut dan pesisir berakar dari paradigma yang memandang laut sebagai mare liberum (laut bebas). Paradigma ini membuka akses kepada siapapun tanpa mengasumsikan kepemilikan nelayan atas lingkungan sumber dayanya.
Padahal, merujuk konstitusi, pengelolaan laut harusnya berjalan seturut konsep mare nostrum (laut kita). “Laut harus jadi ruang bersama, tidak boleh ada privatisasi, tidak boleh ada swastanisasi dan berbagai regulasi yang melegalkan perampasan harus dievaluasi.”

Keberlanjutan lemah?
Mas Achmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), menilai, perampasan ruang laut dan pesisir sebagai konsekuensi dari penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan aliran lemah (weak sustainability). Rapuhnya demokrasi, tata kelola, dan supremasi hukum mendukung kondisi ini.
Weak sustainability, katanya, adalah konsep pembangunan yang melihat modal sumber daya alam dapat tergantikan dengan modal buatan manusia, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, paham keberlanjutan beraliran kuat (strong sustainability) mendorong perlindungan fungsi-fungsi tertentu dari modal alam untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.
“Kasus-kasus yang diangkat buku ini, menunjukkan bagaimana pembangunan ekonomi tanpa paradigma keberlanjutan beraliran kuat, akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan hilangnya hak masyarakat yang gantungkan hidupnya pada laut,” katanya dalam peluncuran buku.
Paham strong sustainability telah sesuai konstitusi Republik Indonesia. UUD 1945 Pasal 33 ayat 4, yang MK perkuat dalam putusan Nomor 35/2023, menegaskan pentingnya tetapkan beberapa ekosistem tertentu yang tidak dapat kekayaan buatan manusia gantikan.
Namun, dia bilang, semangat itu belum disesuaikan dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, memberi dasar hukum sumber daya alam dan seluruh ekosistemnya dapat digantikan.
“Ini paling tidak ada di 3 pasal. Pertama, pasal 34 A UUCK. Kedua, pasal 75 PP 23 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan. Ketiga, pasal 127 ayat 5 dan 6 PP 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang.”
Evin Martiana, Sekretaris Direktorat Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menampik penilaian yang sebut negara lemah lindungi ruang laut dan pesisir. Saat ini, katanya, paradigma pengelolaan ruang laut tidak hanya fokus pada pemanfaatan sumber daya juga turut memperhatikan ekologi dan hak-hak nelayan.
Setelah MK batalkan HP3, katanya, pemerintah telah ubah hak jadi izin lokasi yang jadi dasar izin pemanfaatan. Kemudian, setelah UUCK terbit, pengaturan ruang laut lewat mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Seturut ketentuan terbaru, katanya, setiap kegiatan yang menetap harus ada persetujuan KKPRL sebagai perizinan dasar. Pengaturan itu disebut sebagai ikhtiar pemerintah untuk lindungi hak-hak nelayan dari perampasan.
Evin bilang, untuk dapat KKPRL, ada 16 kewajiban yang harus pemohon penuhi. Di antaranya, perhatikan kehidupan dan penghidupan masyarakat, berikan akses nelayan kecil, dan hormati kepentingan pihak lain yang lakukan kegiatan atau pemanfaatan ruang di sekitarnya.
Bukan hanya buat pengusaha, dalam rencanakan pembangunan, pemerintah harus perhatikan kesesuaian pemanfaatan ruang laut dengan tata ruang. Bila tata ruang tidak sesuai, atau rencana zonasi tidak sesuai, maka harus dilakukan peninjauan ulang.
“Jadi secara regulasi pemerintah sudah cukup mengatur, tinggal sekarang bagaimana implementasinya. Ini mungkin perlu dari pengawasan semua pihak, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat.”

*****