- Greenpeace Indonesia mengungkap jejaring perusahaan bayangan yang memungkinkan menghindari tanggung jawab kalau terjadi kerusakan lingkungan maupun terdampak sosial kepada masyarakat. Ia meliputi 194 perusahaan Indonesia dan 63 perusahaan induk di yurisdiksi asing (semua di negara suaka pajak), yang mereka duga terhubung dengan Royal Golden Eagle (RGE), di bawah Sukanto Tanoto.
- Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, bilang, temuan mereka memperkuat definisi tersebut. Secara keseluruhan, ratusan perusahaan bayangan memiliki konsesi 1.396.075 hektar, lebih dari yang perusahaan-perusahaan RGE kuasai, 1.385.375 hektar.
- Yetty Komalasari Dewi, Guru Besar Hukum Ekonomi FH UI, mengatakan, peraturan Indonesia melarang offshore company, shadow company dan shell company. Soalnya, perusahaan-perusahaan ini memiliki karakteristik serupa, yakni tidak punya kegiatan usaha dan pendiriannya biasanya sebagai nama untuk pelaksanaan kegiatan perseroan lainnya.
- Dalam keterangan tertulisnya, RGE membantah laporan Greenpeace dan menegaskan komitmen nol deforestasi yang berlaku di semua kelompok usaha. Selain itu, mereka mengaku telah publikasikan seluruh daftar perusahaan dalam grup perusahaan secara terbuka, sebagaimana telah FSC nilai.
Greenpeace Indonesia mengungkap jejaring perusahaan bayangan yang memungkinkan menghindari tanggung jawab kalau terjadi kerusakan lingkungan maupun terdampak sosial kepada masyarakat. Ia meliputi 194 perusahaan Indonesia dan 63 perusahaan induk di yurisdiksi asing (semua di negara suaka pajak), yang mereka duga terhubung dengan Royal Golden Eagle (RGE), di bawah Sukanto Tanoto.
Perusahaan bayangan merupakan aset grup yang tidak mereka akui, seringkali penempatan di yurisdiksi-yurisdiksi kerahasiaan. Dengan begitu memungkinkan grup hindari pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan sosial, termasuk dalam penggundulan hutan.
Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, bilang, temuan mereka memperkuat definisi itu. Secara keseluruhan, ratusan perusahaan bayangan memiliki konsesi 1.396.075 hektar, lebih dari yang perusahaan-perusahaan RGE kuasai, 1.385.375 hektar.
Analisis mereka tunjukkan 17 dari 20 subgrup perusahaan seluruhnya punya perusahaan induk offshore dan kuat terindikasi berhubungan dengan perusahaan manajemen aset di Hong Kong dan Malaysia, yang berperan sebagai penyedia layanan manajemen. Berdasarkan hubungan itu, mereka duga, subgrup-subgrup ini bagian dari grup perusahaan yang sama.
Greenpeace Indonesia juga mengungkap kelindan hubungan antara ratusan perusahaan bayangan dengan RGE atau Tanoto. Hubungan itu antara lain, perpindahan aset dan personel yang berulang di antara grup dan perusahaan bayangan selama bertahun-tahun.
Contoh, ada perusahaan sejak lama tidak diakui sebagai grup RGE, seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL), belakangan masuk asosiasi APRIL. Juga, konsesi di Papua yang belum mereka buka, awalnya bagian dari perusahaan bayangan, belakangan mereka akui dan beli melalui grup mereka, Apical dan Asian Agri.
“Seolah-olah perusahaan ini dijual ke grup di luar, kemudian kembali lagi ke grup yang sama. Asetnya seolah-olah berputar di satu grup. Begitu gampang mereka memindah-memindah perusahaan,” katanya saat peluncuran laporan.
Indikator lain, yakni, ada sumber daya bersama yang banyak, termasuk alat bersama, sumber daya teknologi dan informasi, dan dalam beberapa kasus layanan manajemen. Bahkan, katanya, beberapa perusahaan yang berbeda kedapatan gunakan sertifikat IP (internet protocol) sama. Kesamaan gedung dan alamat kantor memperkuat argumen ini.
Keterkaitan perusahaan bayangan dengan grup RGE dan Tanoto juga terlihat dengan ada ketergantungan finansial. Secara keseluruhan perusahaan-perusahaan yang Greenpeace selidiki sangat bergantung pada jaringan pengolahan dan perdagangan milik RGE atau Tanoto sebagai pasar utama bagi produk mereka, baik di sektor sawit maupun kehutanan.
Menurut Refki, pengendalian manajemen, operasional dan finansial, dengan sendirinya sudah cukup menjamin bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah kendali bersama. Jadi, mereka harus diperlakukan sama dengan grup di bawah RGE.
Dengan begitu, jika perusahaan bayangan lakukan pelanggaran, maka RGE juga harus bertanggung jawab. “Dengan adanya bukti-bukti kelindan ini, kami yakini bahwa 20 sub grup tadi kemungkinan besar adalah perusahaan bayangan. Kami yakin mereka ada di bawah kendali yang sama.”
Yetty Komalasari Dewi, Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, peraturan Indonesia melarang offshore company, shadow company dan shell company. Soalnya, perusahaan-perusahaan ini memiliki karakteristik serupa, yakni tidak punya kegiatan usaha dan pendiriannya biasa sebagai nama untuk pelaksanaan kegiatan perseroan lainnya.
Pasal 2 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan, perseroan harus punya maksud, tujuan dan kegiatan usaha. Kemudian, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, melarang perjanjian dan atau pernyataan yang menegaskan kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
“Kalau pemerintah tahu, pemerintah bisa putus kontraknya,” katanya, menanggapi laporan itu.
Dari sisi pidana, katanya, Pasal 155 UU Perseroan Terbatas menegaskan tak mengurangi ketentuan dalam UU Hukum Pidana. “Tinggal buktikan ada tidak perbuatan melawan hukum (dari pemegang saham). Karena perbuatan hukum bisa pidana, bisa perdata.”

Dampak dan rekomendasi
Ratusan perusahaan yang Greenpeace identifikasi ini melakukan praktik merusak. Ada yang membabat habitat orangutan untuk perkebunan kayu monokultur, serta perusahaan yang beli produk sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan suaka marga satwa.
Selain itu, mereka temukan dua perusahaan kebun kayu yang jadi ‘juara’ perusak hutan di Indonesia pada 2022 dan 2023, dan satu perusahaan kebun sawit yang menduduki peringkat dua penebang hutan terbesar pada 2023.
Aktivitas perusahaan bayangan, kata Refki, hancurkan 68.000 hektar hutan atau lebih luas dari Jakarta, antara awal 2021-Mei 2024. Dampak lain termasuk deforestasi di lahan gambut seluas hampir 36.000 hektar.
“Kalau lihat tren deforestasi RGE yang menggegam komitmen NDPE, tidak menebang, tidak buka lahan gambut, tidak eksploitasi, memang sejak 2015 menurun. Tapi kalau kita gabungkan dengan data 194 perusahaan bayangan, angkanya tetap tinggi, bahkan meningkat sejak 2021.”
Greenpeace minta pemangku kepentingan, mulai dari mitra rantai pasok, penyandang dana, dan skema sertifikasi untuk mengevaluasi hubungan komersial dan finansial dengan perusahaan-perusahaan RGE dan Tanoto, dan hanya melakukannya jika struktur dan operasi grup ini telah terungkap seutuhnya.
Mereka juga minta Forest Stewardship Council (FSC) selidiki semua perusahaan yang tercantum dalam laporan ini. Jika ada yang dipastikan berada di bawah kendali grup RGE atau Tanoto, maka proses penyelesaian FSC dengan APRIL harus berhenti.
Otoritas pembuat aturan negara juga mereka anjurkan untuk dorong akuntabilitas sebagai bagian wajib dari uji tuntas lingkungan, sosial dan tata kelola, dengan pendekatan yang serupa pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Selain itu, pemerintah mereka minta tegakkan larangan struktur kepemilikan saham atas nama pihak lain (nominee shareholding structures), serta menolak izin perusahaan-perusahaan dengan struktur korporasi yang tidak transparan.

Bantahan RGE
Dalam keterangan tertulisnya, RGE membantah laporan Greenpeace dan menegaskan komitmen nol deforestasi yang berlaku di semua kelompok usaha. Selain itu, mereka mengaku telah publikasikan seluruh daftar perusahaan dalam grup perusahaan secara terbuka, sebagaimana telah FSC nilai.
Dalam keterangannya, RGE sebut Greenpeace hanya mengulangi tuduhan dari kampanye beberapa LSM yang sebelumnya telah mereka bantah. Menurut RGE, kesimpulan yang Greenpeace buat berdasarkan asumsi dan spekulasi tanpa menyertai referensi dokumen formal maupun sumber terverifikasi.
“Kami menyadari bahwa tuduhan yang berulang ini berakar dari penentangan yang terus-menerus oleh sejumlah LSM terhadap dialog aktif APRIL, anggota kelompok RGE, dengan FSC. Kami mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berpegang pada data dan fakta, bukan spekulasi, dan meminta media untuk menyampaikan informasi secara objektif dan akurat.”
Mereka juga menyatakan telah wajibkan para pemasok memenuhi standar keberlanjutan dan mendampingi mereka dalam peningkatan kapasitas, dan memutus kerjasama pemasok yang melanggar.
Pada November 2023, APRIL dan FSC menandatangani kesepakatan untuk memulai implementasi kerangka kerja para pemangku kepentingan FSC. Setelah proses ini selesai dan terverifikasi, APRIL dan entitas-entitas di grup perusahaan akan memenuhi syarat untuk jalani sertifikasi FSC.
“Kami tetap berkomitmen dalam menyelesaikan proses yang ketat dan transparan ini bersama FSC, suatu langkah penting untuk menciptakan dampak lingkungan dan sosial yang signifikan.”

*****