- Tradisi tahunan lelang suak sungai Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru, Kecamatan pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, terancam aktivitas perusahaan di sekitar wilayah adat mereka. Salah satunya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang memotong dua sungai penting, Kiab dan Boko-boko dengan jalan koridor mereka.
- Kedua sungai merupakan urat nadi masyarakat adat, sumber pangan ikan air tawar dan identitas sejarah. Tapi, jalan koridor RAPP memutus aliran Sungai Kiab di KM 13 dan Sungai Boko-boko di KM 17. Alhasil aliran dan anak-anak sungai setelahnya tak bisa lagi masyarakat adat akses dan manfaatkan lagi untuk mencari ikan.
- “Sebetulnya, suak sungai itu banyak. Tapi sebagian sudah dangkal karena perusahaan di sekeliling (wilayah adat) kita juga menyalurkan air dari kanal mereka,” kata Datuk Sari Koto, Erwanto, saat memimpin proses lelang suak sungai.
- Kepala Desa Rantau Baru, Nurzikri Anton, menyebut tak ada lagi masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru mencari ikan sampai melewati jalur sungai yang telah jalan koridor RAPP potong tersebut. Padahal, terusan Sungai Kiab itu masih menjadi lumbung ikan air tawar. Buktinya, siang itu, sedang berlangsung transaksi penjualan ikan toman. Satu ekor hampir seukuran paha orang dewasa.
Tradisi tahunan lelang suak sungai Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, terancam aktivitas perusahaan di sekitar wilayah adat mereka. Salah satunya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang memotong dua sungai penting, Kiab dan Boko-boko dengan jalan koridor mereka.
Kedua sungai merupakan urat nadi masyarakat adat, sumber pangan ikan air tawar dan identitas sejarah. Tetapi, jalan koridor RAPP memutus aliran Sungai Kiab di KM 13 dan Sungai Boko-boko di KM 17. Alhasil, aliran dan anak-anak sungai setelahnya tak bisa lagi masyarakat adat akses dan manfaatkan untuk mencari ikan.
RAPP menutup aliran Sungai Kiab dan membuat jalur baru sekitar 64 meter ke depan. Perusahaan milik Taipan Sukanto Tanoto ini juga membuat aliran sungai baru untuk Sungai Boko-boko. Meski masih mempertahankan aliran sungai alami, tetapi jadi sempit karena box culvert dan rumput liar yang menutupi saluran drainase bawah tanah itu.
Aliran Sungai Kiab dan Sungai Boko-boko RAPP putus sekitar tahun 1990-an, tetapi masyarakat adat masih rasakan dampaknya hingga sekarang. Demi kelancaran lalu lalang kendaraan pengangkut kayu-kayu akasia dan eukaliptus, jalan koridor telah mempersempit lelang suak sungai sekaligus melenyapkan sebagian sumber mata pencarian masyarakat adat.
Lelang suak sungai merupakan tradisi yang masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru jalankan selama lebih satu abad. Tiap tahun, lembaga adat lewat pucuk pimpinan Datuk Sati Diraja bersama para tokoh adat akan menyelenggarakan lelang, yang juga berfungsi mengatur pemanfaatan sungai agar masyarakat tidak berebut mengambil ikan.
Sabtu (10/5/25), lembaga adat Pebatinan Rantau Baru selesai menyelenggarakan tradisi ini untuk periode 2025-2026. Ia hanya khusus buat masyarakat adat.
Hasil lelang terkumpul lebih Rp100 juta, hampir dua kali lipat dari hasil tahun lalu. Uang ini lembaga adat kelola dan kembalikan pada masyarakat adat lewat berbagai program sosial.
Sebenarnya masih banyak suak dan sungai dapat dilelang dalam wilayah adat Pebatinan Rantau Baru. Setelah jalan koridor RAPP memotong Sungai Kiab dan Sungai Boko-boko, beberapa anak sungai di dalamnya tak dapat ditempuh lagi. Antara lain, Kayu Aro, Kiab Kecil, Ulung-ulung, Tanah Liat, Tanah Bekali, Ampang Bongkal, dan Soluk Asau. Juga, Ampang Cemoam, Ampang Laghe, Ampang Batin, Pelalau Mianti Ulu dan Pelalau Mianti Ulak. Dari jumlah ini hanya tiga yang masuk daftar lelang tahun ini.
“Sebetulnya, suak sungai itu banyak. Tapi sebagian sudah dangkal karena perusahaan di sekeliling (wilayah adat) kita juga menyalurkan air dari kanal mereka,” kata Datuk Sari Koto, Erwanto, saat memimpin proses lelang suak sungai.

Pada masanya, ampang dua belas–nama-nama anak Sungai Boko-boko–ramai peminat. Tapi, karena tidak ada lagi akses, maka tak bisa lagi ninik mamak lelang.
Warga adat terutama yang sudah berusia lebih 50 tahun yang Mongabay tanyai, saat lelang suak sungai berlangsung, juga mengaku banyak kehilangan lokasi penangkapan ikan di dalam areal Sungai Boko-boko dan Sungai Kiab. Karena tak dapat mereka tempuh lagi, lambat laun ingatan terhadap nama-nama anak sungai juga memudar.
“Dulu kehidupan orang di sana. Cari ikan di sana. Sekarang, pompong (perahu mesin) tak bisa masuk lagi. Sungai juga ketutup semak. Penuh rumput. Mati total. Tak bisa masyarakat mengelola sungai lagi,” kata Ujang Paman, nelayan 61 tahun.
Sungai Boko-boko dan Sungai Kiab tidak sekadar lumbung ikan. Anak Sungai Kampar ini memiliki riwayat penting bagi perjalanan masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru. Sejarahnya, sebagian masyarakat adat ini bermigrasi ke Desa Kiab Jaya, sekarang Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, melalui jalur sungai tersebut.
Desa Rantau Baru yang ditempati masyarakat adat saat ini merupakan pemukiman kedua, setelah kampung Malako Kecil, sekarang jadi tempat pemakaman masyarakat adat. Banjir yang kerap menggenangi rumah penduduk memicu kepindahan mereka.
“Wilayah adat Rantau Baru luas tapi kepemilikannya tak ada lagi. Perusahaan sudah banyak masuk. Kami mau ngomong mulut kami pendek. Cuma bisa minta tolong. Kita tak punya kekuatan,” ungkap Beni, salah seorang Ketua Rukun Tetangga (RT), Rantau Baru, di sela-sela mengikuti lelang suak sungai.
Mongabay meninjau titik dua sungai yang dipotong itu, Kamis 22 Mei 2025. Hanya Sungai Kiab yang masih tampak ada aktivitas.
Dari sisi kanan jalan koridor RAPP, terdapat beberapa orang hilir mudik memakai sampan bermesin. Di tepi sungai itu juga berderet sejumlah bedeng atau pondok kayu beratap seng dan berdinding terpal biru, tempat tinggal sementara nelayan ketika mencari ikan. Hanya saja, mereka bukan masyarakat adat dan berasal dari luar desa.
Nurzikri Anton, Kepala Desa Rantau Baru, menyebut, tak ada lagi masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru mencari ikan sampai melewati jalur sungai yang telah jalan koridor RAPP potong tersebut. Padahal, terusan Sungai Kiab itu masih menjadi lumbung ikan air tawar. Buktinya, siang itu, sedang berlangsung transaksi penjualan ikan toman. Satu ekor hampir seukuran paha orang dewasa.
Lain hal dengan Sungai Boko-boko. Jalur sungai ini tampak mati total setelah terputus jalan koridor RAPP. Sisi kanan dan kiri memang masih kelihatan genangan air. Tapi tertutup oleh rumput liar yang dalam bahasa lokal disebut tantobung.

Masyarakat merugi
Sekitar 17 November 1999, RAPP pernah buat kesepakatan dengan masyarakat Rantau Baru, ihwal ganti rugi akibat pelebaran acces road atau kerap disebut koridor. Dari arsip yang Mongabay peroleh, kesepakatan itu terdiri dari empat pasal. Intinya dalam Pasal 2, RAPP memberikan suguh hati penggantian tanah sepanjang kiri kanan jalan akses mulai KM 14 sampai 18, milik 101 orang warga Dusun Malako Kecil dengan total Rp30 juta.
Kemudian, suguh hati ganti rumah dan tanah milik Ilyas Rp10 juta dan Numeri Rp4 juta. Sementara suguh hati untuk penangkapan ikan hanya Rp ,5 juta serta kompensasi atas ampang atau lokasi penangkapan ikan Rp5 juta, yang dibayarkan setiap tahun pada Desember.
Hingga saat ini RAPP masih menjalankan poin terakhir kesepakatan.“Uang itu masuk ke kas desa dan tercatat sebagai Pendapatan Asli Desa (PADes),” ucap Nurzikri.
Namun, katanya, masyarakat terutama tokoh adat dan pemerintah desa merasa besaran kompensasi itu tidak lagi layak. Sukardi, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rantau Baru menyebut, RAPP hanya menghitung satu ampang–dalam dokumen kesepakatan tertulis empang. Padahal ada beberapa suak atau anak-anak Sungai Boko-boko yang rusak dan tak dapat masyarakat manfaatkan lagi untuk mencari ikan.
Dia menghitung, andai satu anak sungai yang hilang itu dilelang Rp2 juta dalam lelang suak sungai, masyarakat adat berarti telah kehilangan belasan bahkan puluhan juta. Ini hanya hitungan harga terendah.
Jumlah itu belum termasuk hasil tangkapan ikan oleh peserta lelang setelah memenangi perebutan suak sungai. Bahkan, juga belum dihitung hasil tangkapan ikan langsung dari Sungai Boko-boko dan Sungai Kiab. Sungai induk ini tidak masuk lelang. Sehingga masyarakat adat bebas mengambil ikan saban hari di situ.
Sungai Kampar dan anak-anak sungai maupun danau serta tasik dalam wilayah adat Pebatinan Rantau Baru menyimpan ikan air tawar yang melimpah. Sebab itu, masyarakat adat tidak ragu-ragu mengeluarkan uang hingga puluhan juta untuk mengikuti lelang walau hanya menguasai satu sungai.
Pada lelang suak sungai yang lalu, Teluk Bederas menjadi incaran banyak peserta. Ujang Paman mengatakan, modal yang telah keluar untuk mendapatkan lokasi tangkapan ikan tersebut akan kembali hanya dengan tiga atau empat kali lempar jaring. Dalam setahun, pemborong atau pemenang lelang bisa meraup ratusan juta rupiah dari hasil menangkap ikan di sana.
Sayangnya, Ujang Paman tak tak punya cukup modal untuk mendapatkan Teluk Bederas. Tahun ini, dia cuma menang lelang Suak Potai dengan harga tender Rp750.000. Dia juga hendak menguasai kembali Suak Ulung-ulung dengan menawarkan Rp1,5 juta. Dia kalah saing dengan Sukardi menawar Rp2,2 juta.
Sukardi, juga menang lelang Sungai Malukuik, Parit Boko-boko, Soluk Kughe, Kayu Aro dan Sungai Pudu. Total, dia merogoh kocek Rp13,9 juta. Dia tidak khawatir rugi. Sebagai peminat lelang dan seumur mengikuti tender tersebut, dia selalu untung.
“Setahu saya belum pernah ada rugi. Makanya orang-orang antusias setiap ada pelelangan. Jarang turun penghasilan dari tahun-tahun sebelumnya. Penghasilan mencari ikan di situ bisa mencapai ratusan juta,” kata Sukardi.
Aji Wihardandi, Head of Corporate Communication RAPP, dalam keterangan tertulisanya, menyebut pembangunan jalan koridor telah mereka laksanakan sesuai dengan perizinan yang RAPP. Yaitu, Izin Pembuatan Jalan Koridor dan Izin Penggunaan Jalan Koridor.
Aspek sosial dengan masyarakat Desa Rantau Baru, lanjutnya, sudah mereka sepakati dalam dokumen Kesepakatan Bersama antara PT RAPP dan masyarakat Desa Rantau Baru mengenai kompensasi atas pelebaran jalan akses (access road).
“Dalam kesepakatan tersebut, perusahaan telah memberikan kompensasi/ganti rugi atas lahan untuk pelebaran jalan, rumah, dan tanah milik warga terdampak, serta perangkap ikan dan empang tangkapan ikan. Proses ini diwakili secara resmi oleh Kepala Desa, tokoh adat, serta perwakilan perusahaan pada saat itu.”

Lindungi masyarakat adat
Melihat polemik yang terjadi, Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), mendesak Pemerintah Pelalawan, segera dan tidak menunda lagi pengakuan terhadap masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru.
“Tanpa pengakuan dan jaminan hak atas wilayah, praktik pengelolaan sungai seperti tradisi lelang suak sungai terancam hilang. Apalagi dengan adanya kerusakan sungai akibat aktivitas perusahaan,” katanya, lewat pesan tertulis, 18 Mei lalu.
Akhwan Binawan, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Ara Sati Hakiki, sependapat. Pengakuan masyarakat adat dapat memperkuat identitas budaya di Rantau Baru, bahkan Kabupaten Pelalawan umumnya. Sebab, seluruh wilayah Pelalawan merupakan bagian dari masyarakat adat Petalangan.
“Sudah seharusnya pemerintah kabupaten menerbitkan kebijakan pengakuan masyarakat adat. Jika tidak sekarang, kemungkinan akan banyak tradisi dan kebudayaan orang Petalangan hilang,” katanya.
Padahal, kerusakan ekologis terus berlangsung. Sementara tradisi dan kebudayaan masyarakat adat bergantung pada bentang alam.
Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru membuktikan hal ini secara langsung. Kondisi Suak dan Sungai yang dilelang sangat bergantung pada kondisi alam.
Ikan di wilayah adat mereka sangat melimpah. Basri, pengumpul setempat, yang sudah tujuh tahun menjadi pengepul, mampu menampung paling sedikit 50 kilogram ikan per hari. Bahkan, ketika musim puncak, mencapai 200 kilogram.
Pria 51 tahun ini menampung segala jenis ikan. Mulai baung, tapah, lele, gabus dan toman. Termasuk udang galah. Harga beli per kilogram ke nelayan bervariasi tergantung ukuran. Lele Rp 25 ribu, baung besar Rp 50 ribu, kecil atau sedang Rp 30 ribu dan bibitnya Rp 20 ribu. Toman juga tergantung kecil dan besar. Antara Rp 15 ribu dan Rp 20 ribu. Sementara udang besar Rp 130 ribu dan kecil Rp 60 ribu.
Eka Mahyani, pengepul ikan perempuan adat Rantau Baru bahkan bisa menampung ikan paling sedikit 50 kilogram, sembari mengurus rumah tangga. Perempuan 41 tahun ini bilang sejak menjadi pengepul tahun 2008, ikan di Rantau Baru tak pernah seret.
Pemerintah Desa Rantau Baru, berharap ada aktivitas hilirisasi perikanan mengingat sumber daya yang melimpah. Selama ini, masyarakat cuma menjual ikan basah, atau sekadar mengolah menjadi ikan salai (asap) dan asin. “Kita ingin BUMDes (badan usaha milik desa) atau putra-putri Rantau Baru jadikan bakso, nugget, kerupuk dan semacamnya,” harap Nurzikri.
Dia sangat mendukung kegiatan lelang suak sungai. kegiatan itu, lanjutnya, turut mendorong peningkatan ekonomi masyarakat adat. Termasuk menjadikan pemangku adat lebih mandiri mengelola lembaga adat dengan biaya sendiri. Ini, sejalan dengan program pemerintah desa.
Meski ikan masih melimpah, Datuk Sati Diraja, Griven H Putra, tak menyembunyikan kekhawatirannya akan ancaman suak sungai tersisa. Bukan hanya karena jalan koridor RAPP, tapi limbah industri pabrik bubur kertas maupun pengolahan kelapa sawit telah mencemari Sungai Kampar, melalui anak-anak sungai yang terhubung dengan satu dari empat sungai besar di Riau tersebut.

*****