- Suku Laut Kampung Air Mas seakan pasrah ketika pemerintah dan investor meminta meninggalkan tempat tinggal di Pesisir Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini akan jadi kawasan industri dan perdagangan dengan status proyek strategis nasional (PSN).
- Kalau Masyarakat Suku Laut pindah ke darat, akan mempengaruhi mata pencaharian dan keseimbangan hidup Masyarakat Suku Laut. Secara budaya, Suku Laut ini komunitas yang berorientasi ke laut.
- Setidaknya, tiga kampung di pesisir pulau bakal terdampak, yakni, Selat Desa, Tanjung Sauh dan Kampung Air Mas. Masyarakat kampung akan direlokasi ke Pulau Ngenang, tak jauh dari Pulau Tanjung Sauh. Kebanyakan warga keberatan pindah, apalagi rumah relokasi berada di darat.
- Sejak awal seharusnya pemerintah memberikan informasi lengkap. Pemerintah memberitahukan mengenai konsekuensi ketika ada proyek masuk. Masyarakat mendapatkan informasi seluas-luasnya hingga bisa bersikap atas dasar pengetahuan cukup.
Suku Laut Kampung Air Mas seakan pasrah ketika pemerintah dan investor meminta meninggalkan tempat tinggal di Pesisir Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini akan jadi kawasan industri dan perdagangan dengan status proyek strategis nasional (PSN).
Setidaknya, tiga kampung di pesisir pulau bakal terdampak, yakni, Selat Desa, Tanjung Sauh dan Kampung Air Mas.
Masyarakat kampung akan direlokasi ke Pulau Ngenang, tak jauh dari Pulau Tanjung Sauh. Kebanyakan warga keberatan pindah, apalagi rumah relokasi berada di darat.
“Kalau relokasi ke darat, saya pasti akan (kembali) tetap tinggal di pesisir, sesekali saja ke darat, karena sampan tak mungkin ditinggal di pesisir, banyak maling,” kata Kaca, Tetua Suku Laut Air Mas, kepada Mongabay belum lama ini.
Suku Laut Air Mas ini masih mengenal budaya mengembara dengan sampan selama berbulan-bulan.
Kaca mengatakan, tidak ada pilihan lain selain menerima relokasi. Apalagi warga Suku Laut tak punya legalitas tanah di Pulau Tanjung Sauh setelah didaratkan pemerintah sekitar 2010. “Gimana lagi, namanya kita duduk di atas duri,” kata warga lain menganalogikan nasib hidup mereka.
Wengki Ariando, peneliti Sea Nomads di Universtias Chulalongkorn, Thailand, bersama Diana Suhardiman, Direktur Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Belanda sempat mendatangi Suku Laut di Tanjung Sauh. Mereka juga datang ke beberapa Suku Laut di Kepulauan Riau.
Dia mengatakan, tidak hanya di Tanjung Sauh, di beberapa kampung Suku Laut lain mengalami hal sama. Misal, di Kampung Caros dan Kampung Gundap Batam. “Isunya hampir sama, kampung Suku Laut disana terdampak perluasan dari komplek perumahan, dan pembangunan pariwisata,” katanya, Juli lalu.
Di Pulau Caros, katanya, dari tinjauan lapangan memperlihatkan, perusahaan sudah mendatangi kampung berencana membangun pelabuhan. Kondisi itu, mengancam wilayah tangkap nelayan. Begitu juga di Tanjung Gundap.
“Saya menggunakan kaca mata politik ekologi pembangunan, pembangunan di Kepri jelas tidak melindungi identitas mereka sebagai masyarakat adat, atau masyarakat yang mempunyai kearifan lokal yang harusnya secara internasional itu diakui.”

Menjauh dari konflik
Selama penelitian tentang Suku Laut di Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung dan Sumatera Selatan, menunjukkan karakteristik suku ini menghindari konflik. “Itu bukan analisis saja, sudah ada riset, Suku Laut cenderung tidak mau bertarung melawan,” katanya.
Meskipun karakter menerima, tetapi mereka mengeluarkan pernyataan tetap dihubungkan dengan laut yang menjadi ruang hidup mereka. “Ketika kita ke Tanjung Sauh kemarin, warga menegaskan, akan pindah ke pesisir laut kalau rumah relokasi dibangun di darat. Itu menandakan mereka menolak identitas hilang.”
Kalau pindah ke darat, akan mempengaruhi mata pencaharian dan keseimbangan hidup Masyarakat Suku Laut. Secara budaya, Suku Laut ini komunitas yang berorientasi ke laut.
“Jika relokasi ke darat, kebudayaan mereka akan hilang. Cara melaut, cara berkelam, cara memancing akan hilang, jika mereka dijauhkan dari elemen laut,” kata Wengki.
Eko Cahyono, Sosiolog Desa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University mengatakan, Suku Laut menerima relokasi harus dipandang sebagai kebijaksanaan mereka sebagai masyarakat adat. “Tidak mau berkonflik itu manifestasi dari kearifan lokal, justru kalau tau prilaku mereka seperti itu, jangan sewenang-wenanglah ya. Seharusnya, pemerintah menghormati itu, justru mereka tidak ingin mempersulit negara,” katanya.
Dia mengatakan, hubungan masyarakat adat dengan tanah atau laut tidak hanya sebatas tempat tinggal tetapi hubungan kompleks. “Relokasi itu cara pandang yang menyederhanakan hubungan manusia dan tempat tinggal saja,” katanya.

Wengki juga menyoroti, para pihak absen membantu masyarakat marginal seperti Suku Laut di Kepulauan Riau ini.
“Kepri saya kira tidak punya paguyuban atau asosiasi yang menyuarakan isu Suku Laut di level pembangunan,” katanya.
Selain minim perhatian pemerintah, Suku Laut juga tidak dipedulikan peneliti, akademisi sampai organisasi masyarakat sipil. “Meskipun punya kampus maritim di Kepri, sejauh ini tidak melihat mereka memperjuangkan isu-isu Suku Laut di Kepri.”
Pemenuhan keperluan sarana dasar seperti pendidikan, kesehatan sampai mata pencarian dan lain-lain seakan terlupakan. “Bisa dibilang, Suku Laut di Kepri atau Batam menuju genosida budaya. Suku Laut dipaksa didaratkan untuk mengikuti pembangunan yang tidak berpihak kepada mereka,” katanya.
Banyak tidak peduli Suku Laut, katanya, karena mereka menggunakan pandangan orang darat. “Istilahnya, etnosentrisme adalah sikap memandang budaya sendiri lebih baik dibanding budaya lain,” katanya.
Kalau identitas suku laut hilang, Indonesia akan rugi, apalagi sebagai negara maritim. “Padahal ‘semboyan nenek moyang’ kita seorang pelaut itu tersisa di mereka ini.”
Eko bilang, kalau Suku Laut dipindahkan ke darat karena kepentingan PSN itu menunjukkan pembangunan tidak melewati riset mendalam.
“Masak pemerintah tidak ada sosiolog yang bisa melihat itu. Jangan sampai Suku Laut relokasi ke darat, itu salah kaprah banget, itu kesalahan fatal,” katanya.
PSN itu, katanya, selain berwatak ekspansif juga minim riset hingga menyebabkan konflik. “Tidak hanya memiskinkan Suku Laut, pemindahan mereka ke darat adalah bentuk pemusnahan.”

Masalah di pulau kecil
PSN di Kepri ini dilakukan di pulau kecil. Menurut Eko, pulau-pulau kecil harus dilihat dengan cara pandang berbeda. Secara ekologis, pulau-pulau kecil itu rentan. “Kalau ada kerusakan di pulau-pulau kecil sulit pulih kembali, daya dukung daya tampung terbatas,” katanya.
Dia contohkan, banjir di Halmahera, daerah dengan sentra industri nikel dari tambang sampai kawasan industri. “Dampak pembangunan tanpa memperhatikan ekologis, tetapi melihat lokasi strategis saja. Itu bisa rusak,” katanya.
Parid Ridwanuddin, Manajer Pesisir dan Laut Walhi Nasional menyoroti perlindungan terhadap pulau-pulau kecil. Sudah ada UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang eksploitasi di pulau kecil. Ia diperkuat lagi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2023 yang melarang memberikan beban pembangunan skala besar di pulau kecil.
Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi No 3/2010 sudah menjelaskan kriteria pemanfaatan penggunaan pulau-pulau kecil. “Seperti di Tanjung Sauh, ataupun di Pulau Rempang, Pulau Pari itu bertentangan dengan prinsip putusan MK,” kata Parid.
Selain berdampak kepada Suku Laut, pembangunan PSN Tanjung Sauh juga tidak sejalan dengan upaya dunia menghadapi krisis iklim.
Boy Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau meminta, pemerintah transparan dapatkan persetujuan warga Suku Laut.
Meminta persetujuan secara sempurna itu, kata Boy, pemerintah harus jelas memberitahukan mengenai konsekuensi ketika ada proyek masuk. Jadi, masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan cukup kalau pun nanti ada kesepakatan.
“Prinsip persetujuan itu, masyarakat harus mendapatkan informasi seluas-luasnya, mereka memberikan persetujuan dengan dasar pengetahuan cukup. Kalau persetujuan diberikan tanpa pengetahuan cukup, itu namanya manipulasi, negara tidak boleh memanipulasi rakyatnya, itu termasuk pelanggaran HAM,” kata Boy.
Senada dikatakan Wengki. Pembangunan, mestinya gunakan prinsip free, prior, informed consent (FPIC) yaitu konsep kebebasan untuk masyarakat adat.
“Seharusnya dari awal Masyarakat Suku Laut ini dilibatkan, dengan informasi pembangunan harus dibuka sebebasnya, jika masyarakat menolak, itu hak mereka, tidak bisa diganggu gugat. Konsep ini belum jadi perhatian dalam pembangunan Indonesia.”

******
Kisah Pilu Suku Laut Batam: Kalah di Lautan, Dirundung di Daratan