- Sebelum tahun 1970, mangrove di pesisir Teluk Labuan Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara masih lebat dengan pepohonan yang besar dan banyak dijumpai biota laut seperti ikan dan kepiting
- Kondisi itu berubah, ketika sekitar sebuah perusahaan pengolahan ikan kaleng membuka lahan dan menebang ribuan pohon mengrove dibabat. Pada medio 2016, sedikitnya ada sembilan kasus perusakan mangrove yang dilakukan pengusaha dan oknum TNI di wilayah Kabupaten Bolmong. Sayangnya laporan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolmong tidak ditindaklanjuti
- Kelompok Pemerhati Lingkungan “Monompia” memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penting fungsi ekologi mangrove bagi perekonomian dan lingkungan, seperti pencegah abrasi dan tsunami. Kelompok ini juga melakukan pembibitan dan reboisasi mangrove secara sukarela
- Universitas Sam Ratulangi Manado menyarankan pembuatan peraturan desa (Perdes) untuk perlindungan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat dengan pembentukan zonasi inti, penyangga dan pemanfaatan
- Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari tiga tulisan
Matahari bersinar terik tepat berada di atas ubun-ubun, pada Sabtu (14/12/2019). Tapi itu tak menyurutkan semangat Wasman Pantow (48) dan Sabdar Gobel (54) yang sedang bekerja di lahan pembibitan mangrove di Desa Sauk, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara.
Lokasi pembibitan ini merupakan bagian dari areal seluas 125 hektar tanaman mangrove yang berjarak sekitar 30 meter dari jalan Trans Sulawesi di pesisir Teluk Labuan Uki. Sebuah teluk yang mencakup wilayah empat desa di Kecamatan Lolak, yakni Desa Sauk, Desa Baturapa, Desa Baturapa Dua dan Desa Labuan Uki.
Sambil bekerja, Wasman mengenang lebatnya hutan mangrove dengan pepohonan yang besar dan daunnya rimbun di pesisir Sauk dahulu kala. Saat itu mudah dijumpai berbagai satwa laut seperti ikan, udang, kepiting, dan siput . “Dulu di sini hanya berjalan sekitar 10 meter dikerumunan mangrove, kita bisa langsung menjumpai kawanan ikan. Ada juga kepiting. Ukurannya besar-besar,” katanya.
baca : Mangrove yang Kembali Bersemi di Banggai

Sekarang lebatnya hutan mangrove tinggal cerita. Areal hutan rusak karena pepohonan ditebang, menyisakan pohon berukuran kecil. Hewan laut pun menghilang, sulit ditemukan lagi.
Wasman bercerita awal mula perusakan hutan mangrove pada tahun 70-an, ketika sebuah perusahaan pengolahan ikan kaleng masuk. Tapi Wasman dan warga desa curiga, itu hanya kedok saja.
“Warga sekitar dibuat kaget karena ribuan pohon mengrove dibabat. Dan diangkut dengan kapal. Entah dibawa ke mana. Hutan mangrove disini sudah ada sejak dari nenek moyang, masa orang luar ambil seenaknya. Melihat itu kami juga ikut-ikutan mengambil kayu Tin (sebutan lokal untuk mangrove),” kenang Wasman.
Eksploitasi mangrove oleh perusahaan pengolahan ikan kaleng dan pihak lainnya terjadi tanpa ada pencegahan
Senada dengan Wasman, Johans, nelayan dan pekebun dari Desa Baturapa yang bersebelahan dengan Desa Sauk menceritakan hutan mangrove desanya jauh lebih lebat dengan pepohonan besar dibanding saat ini. Kerusakan juga dilakukan oleh perusahaan pengolahan ikan kaleng yang menebang pohon mangrove di areal seluas lima hektar.
“Saya masih ingat persis. Saat itu saya masih anak-anak. Saya selalu ikut ayah ke kebun melewati kawasan itu,” kata Johans.
baca juga : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi

Johans mengaku baru mengetahui tanaman mangrove dilindungi sekitar 2018 ketika ada sosialisasi dari pemerintah tentang berbagai manfaat hutan mangrove, seperti bisa mencegah abrasi pantai. Meski begitu, belum banyak warga yang paham.
“Sejauh ini, kami hanya tahu bahwa kawasan mangrove ini tempat bertelur berbagai jenis ikan. Termasuk menjadi habitat ikan teri, yang sering kami ambil, lalu jual. Tapi sejak mengikuti sosialisasi, saya bersama sebagian warga sekarang paham dan bersepakat untuk menjaga ekosistem mangrove. Karena kalau datang tsunami maka selesailah kita. Tidak ada lagi yang menahan air,” kata Johans.
Cerita Wasman Pantow dan Johans Masabare itu hanya bagian kecil dari kondisi kawasan hutan di kawasan Teluk Labuan Uki.
Beruntung, sekarang mangrove mulai tumbuh lagi. Berkat peran dari Kelompok Pemerhati Lingkungan “Monompia” yang peduli terhadap ekosistem mangrove. Kelompok ini memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya mangrove bagi perekonomian dan lingkungan, seperti pencegah abrasi dan tsunami.
Wasman salah satunya yang menjadi sadar bahwa anak cucunya kelak hanya bakal mendengar cerita lebatnya mangrove jika tidak direboisasi. Dia kemudian bergabung dengan Sabdar Gobel yang mendirikan Kelompok Monompia pada medio 2014.
Melalui Kelompok Monompia, Sabdar mensosialisikan pentingnya kawasan hutan mangrove pada masyarakat. Dalam edukasinya, Sabdar sering memberi contoh perubahan nyata keberadaan ikan teri yang dulu mudah didapat namun sekarang sangat berkurang.
Selain itu, Sabdar juga menyampaikan bahwa ekosistem mangrove dilindungi berdasarkan Undang-Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya pasal 35 huruf (f) dan (g) yang melarang penebangan mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan lain-lain. Ada pula ketentuan pidana pada Pasal 73 ayat 1 huruf (b) bagi yang melanggar dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
menarik dibaca : Restorasi Hidrologi, Cara Sukses Rehabilitasi Mangrove ala Rignolda Djamaluddin

Seiring waktu, upaya Sabdar mendapat dukungan warga setempat yang sepakat untuk menjaga mangrove. Minimal, tidak ada lagi warga yang sembarang menebang.
Kelompok Monompia juga melakukan reboisasi di lahan gundul dan pembibitan mangrove di kawasan Teluk Labuan Uki. Ratusan bibit dihasilkan dengan sukarela dan biaya sendiri. Dimana ada kawasan yang kosong, Sabdar dan anggotanya menancapkan bibit.
“Saat menemui ada lahan yang tidak padat lagi, saya tanam beberapa di situ. Cara menanam mengrove kan tidak susah. Tidak perlu digali terlalu dalam. Bahkan hanya menggunakan tangan saja boleh,” jelas Sabdar yang ditemui di kediamannya, Sabtu (14/12/2019).
Kasus Pengrusakan Mangrove
Pengalaman Sabdar itu membawanya menjadi ketua Komunitas Pedulis Kelestarian Lingkungan Hidup “Bumi Lestari” di Kabupaten Bolmong. Lewat lembaga ini, Sabdar ikut mengawasi keberadaan mangrove tidak hanya di Teluk Labuan Uki, tetapi seluruh wilayah pesisir Bolmong.
Pada medio 2016, sedikitnya ada sembilan kasus perusakan mangrove yang dilakukan oknum pengusaha, perusahaan bahkan oknum TNI. Semua kasus itu dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bolmong dan DLH Provinsi Sulawesi Utara.
“Sayangnya, dari sembilan laporan itu tidak ada sama sekali yang ditindaklanjuti hingga ke proses hukum. Padahal, itu jelas-jelas pelanggaran undang-undang,” kata Sabdar. Dia menuding DLH Kabupaten Bolmong tak serius menangani ekosistem mangrove di Labuan Uki.
Hal senada disampaikan pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi, Dr.Ridwan Lasabuda.
perlu dibaca : Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali

Saat ditemui di kampus Unsrat, Kamis (19/12/2019), Ridwan mengatakan Pemkab Bolmong belum optimal menangani ancaman rusaknya ekosistem mangrove di Teluk Labuan Uki. Salah satunya adalah penetapan zonasi di kawasan seluas 125 hektar itu yang hingga kini belum ada. Seharusnya, menurut Ridwan, sudah ada batas zona itu, zona inti, zona pemanfaatan dan zona budidaya.
Masalahnya di areal itu hingga sekarang ada aktivitas yang mengancam keberlangsungan hidup mangrove, seperti pembuatan gelangan kapal yang membabat pohon mangrove di Sauk, dan rencana pembukaan tambak ikan di area mangrove tumbuh di Baturapa, serta aktivitas pelabuhan perikanan di Labuan Uki.
Saat ditemui di kantornya, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran, Kerusakan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Sampah dan Bahan Berbahaya Beracun DLH Kabupaten Bolmong, Deasy Makalalag menjelaskan kewenangan DLH kabupaten terkait mangrove antara lain konservasi, palaksanaan perlindungan sumber daya alam, pemanfaatan secara lestari, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Deasy menyebutkan DLH mempunyai program terkait mangrove, seperti penanaman 1500 pohon mangrove di Desa Babo, Kecamatan Sangtombolang pada 2019. “Itu adalah inisiatif pemerintah dan masyarakat Desa Babo yang mengusulkan pengadaan bibit mengrove lewat Musrenbang 2018 lalu. Sehingga kita anggarkan tahun ini,” aku Deasy.
Soal laporan terkait kerusakan lingkungan menurutnya, hal itu memang menjadi tanggung jawab DLH. Tapi hanya sebatas turun dan melakukan verifikasi kemudian dibuatkan berita acara. Lalu hasilnya akan disampaikan ke DLH Pemprov Sulut.
“Karena di daerah belum ada Penyidik PNS yang berwenang untuk melakukan penyidikan,” kilah Deasy.
Deasy membenarkan adanya beberapa aduan dari masyarakat soal pengrusakan mangrove. Seingat dia, ada sekitar empat aduan yang diterima. Yakni di Desa Labuan Uki yang dilakukan oleh PT Beta Gas, pembangunan galangan kapal di Desa Sauk, rencana pembuatan tambak di Desa Baturapa dan laporan di wilayah konsesi PT Conch North Sulawesi Cement.
“Semua itu kita tindaklanjuti dengan turun verifikasi dan diteruskan ke DLH Provinsi,” ungkapnya, sembari membenarkan bahwa belum ada zonasi perlindungan yang dibuatkan pemerintah daerah.
baca juga : 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

Perdes Mangrove
Sebuah penelitian yang dilakukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Sam Ratulangi Manado terhadap karakteristik vegetasi dan persepsi masyarakat pesisir dalam pemanfaatan mangrove Teluk Labuan Uki, menyebutkan, secara umum Teluk Labuan Uki mempunyai ekosistem mangrove yang cukup luas. Penelitian itu dikoordinasi oleh Ridwan Lasabuda.
Selain pembabatan massal oleh PT Karangetan Makmur dan PT Beta Gas yang beroperasi di Labuan Uki, dulunya tanaman mangrove juga sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti kayu bakar, bahan bangunan rumah, bahan pewarna jaring dari kulit mangrove, dan untuk kerajinan bunga sintetis.
Hasil perhitungan luasan ekosistem mangrove Teluk Labuan Uki dari penelitian itu dengan menggunakan perangkat lunak (software) Arc GIS diperoleh total luasan 125,49 Ha. Masing-masing di Desa Sauk 22,70 Ha, Desa Baturapa 92,84 Ha, dan Desa Labuan Uki 9,95 Ha. Dengan kondisi ketebalan serta kerapatan mangrove sebagian besar sudah jarang.
baca : Dedikasi Tiada Henti Taiyeb untuk Mangrove Tongke-tongke Sinjai

Dari hasil penelitian, juga terdapat 5 famili mangrove di kawasan Teluk Labuan Uki, yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Arecaceae dan Myrsinaceae yang terbagi atas 14 spesies.
Ridwan menjelaskan, salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan pada 2015 lalu, berupa inisiasi pembuatan peraturan desa (Perdes) bersama tentang Daerah Perlindungan Ekosistem Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat atau Perdes Mangrove pada tahun 2016.
Perdes Mangrove itu bertujuan memproteksi keberlangsungan ekosistem mangrove yang dimulai dari masyarakat di empat desa dalam wilayah Teluk Labuan Uki.
“Konsepnya perlindungan ekosistem di sana dilakukan secara bottom up, di mulai dari warga desa sendiri dengan melahirkan regulasi yang terintegrasi di empat desa itu. Regulasinya berupa Perdes,” jelas Ridwan.
Moh. Ikhsan Runtukahu, alumni FPIK Universitas Sam Ratulangi Manado, yang saat itu melakukan penelitian mengakui bahwa pemerintah desa dan masyarakat di wilayah Teluk Labuan Uki telah berinisiasi bersama untuk rencana pembentukan zonasi kawasan perlindungan mangrove.
“Setidaknya ada kejelasan soal batas-batas wilayah yang menjadi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan,” kata Ikhsan.
Sangadi (Kepala Desa) Labuan Uki, Sonny Sengkey saat ditemui mengatakan menyambut baik bahkan berharap perdes tersebut segera bisa segera ditetapkan.
“Kalau draftnya sudah ada maka kita selaku pemerintah desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tinggal menetapkan untuk menjadi Perdes. Dan kita siap untuk selanjutnya menerapkan regulasi itu,” kata Sonny.
Ia menjelaskan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Unsrat untuk menyusun draft rancangan Perdes bersama. Pasalnya, Perdes merupakan produk hukum di tingkatan desa. Dan membutuhkan kajian lebih dalam agar tidak bersinggungan dengan aturan lainnya.
“Ini menyangkut perlindungan mangrove. Sementara kita di desa tidak memiliki sumber daya yang paham betul soal mangrove. Apalagi berkonsekuensi anggaran. Kita belum punya pos anggaran khusus untuk itu. Sehingga kita serahkan kepada Unsrat untuk menyusun draftnya,” ungkapnya.
Disisi lain, menurut dia, pemerintah empat desa di kawasan pesisir Teluk Labuan Uki perlu untuk duduk bersama menyatukan pemahaman. Agar nantinya, Perdes bersama lahir, maka tidak ada miskomunikasi.
“Karena pada prinsipnya, kami di Labuan Uki, baik pemerintah maupun masyarakat bersepakat untuk menjaga ekosistem mangrove,” katanya.
Ridwan sebagai salah satu penyusun draft Perdes mengiyakan apa yang disampaikan oleh Sengkey. Tapi, menurut Ridwan, draft yang telah mereka susun itu harus dibahas kembali oleh masyarakat desa. Sebab beberapa bagian dari Perdes itu harus berdasarkan kesepakatan warga desa.
“Misalnya soal tata cara pemungutan dan penerimaan dana, penerapan sanksi serta pembentukan Badan Pengelola,” jelas Ridwan.

Sangadi Desa Sauk, Halik Gobel berharap, dalam waktu dekat segera ada pertemuan antara desa di kawasan Teluk Labuan Uki, untuk mempertegas rencana penerbitan Perdes bersama.
Ia menuturkan, saat ini, nelayan-nelayan di Sauk bahkan sudah melarang jika ada yang melakukan penebangan mangrove. Sama halnya dengan di Labuan Uki dan Baturapa, masyarakat sudah sadar bahwa mangrove membawa manfaat baik untuk mitigasi bencana terlebih lagi untuk ekonomi masyarakat desa.
“Mangrove merupakan habitat tempat berkembang biak berbagai jenis ikan.
Termasuk ikan putih (ikan teri) yang menjadi salah satu sektor pendapatan terbesar masyarakat Sauk. Juga yang terpenting adalah menjaga terjadinya abrasi pantai,” terang Halik Gobel.
Walau demikian, Ridwan menjelaskan bahwa yang diperlukan saat ini adalah sosialiasi. Dia berharap ada pihak yang mau mengambil peran sosialisasi itu, sebab pihaknya hanyalah perguruan tinggi yang salah satu tugasnya melakukan penelitian.
“Perdes ini kan output dari penelitian yang kami lakukan di sana. Harus ada lembaga lain yang mendorong draft ini benar-benar menjadi Perdes. Kelompok yang dibangun oleh pak Sabdar di sana sebenarnya bisa mengambil peran itu,” kata Ridwan.
Sabdar memang mengakui kalau pihaknya dilibatkan dalam penyusunan draft Perdes. Dia juga berharap hal yang sama, draft itu bisa dibahas oleh masyarakat di Teluk Labuan Uki. Yang menjadi kendala adalah soal siapa yang mendanai.
Sebelum inisiasi penerbitan Perdes untuk proteksi mangrove, Pemerintah desa setempat sebenarnya sudah berencana untuk melakukan reboisasi tanaman mangrove. Rencana itu sebetulnya sudah lama. Tapi terkendala dengan biaya.
“Kami siap kerja bakti demi keberlangsungan hidup masyarakat hingga ke anak cucu nanti, jika ada pihak yang mau membantu pengadaan bibit misalnya,” kata Sonny Sengkey.
Menurut Sengkey baik pemerintah desa maupun kader-kader lingkungan sebenarnya sudah melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang manfaat mangrove.
***
*Marshal Datudungon, jurnalis media zonautara.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia