- Hutan rimbun nan hijau di Papua Selatan itu kini berubah jadi padang lapang beralur. Alat-alat berat telah menumbangkan pohon-pohon besar, maupun beragam tumbuhan-tumbuhan, segala satwa pun sirna atau entah mereka menyelamatkan diri ke mana. Keanekaragaman hayati itu ‘bersih’ untuk proyek ‘ketahanan’pangan dan energi yang pemerintah gadang-gadang.
- Bagi Masyarakat Adat Papua, hutan hilang, berarti juga menghilangkan ruang hidup sampai budaya mereka. Mereka harus berhadapan pelbagai masalah, mulai dari perubahan pola konsumsi, perampasan lahan, kerusakan ekologi, hilangnya mata pencaharian hingga intimidasi dan kriminalisasi karena memprotes proyek ini.
- Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pangan ekspansi proyek ini di Papua Selatan terdiri dari food estate antara lain, cetak sawah seluas 1 juta hektar dan tanaman pangan seluas 349.944 hektar. Kemudian, peternakan seluas 373.578 hektar dan perkebunan tebu 633.000 hektar untuk produksi bioetanol di Merauke. Perkebunan sawit di Mappi dan Boven Digoel 382.759 hektar untuk memproduksi biodiesel (B50).
- Saurlin P. Siagian, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM mengatakan, Komnas HAM telah menerima 60 laporan terkait kasus di Papua. Dari jumlah itu, 20 berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), pelanggaran hak sipil dan politik. Termasuk kasus perampasan wilayah adat Suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei dari marga Gebze, Moiwend, Gebze, Balagaize, PSN pangan dan energi di Merauke.
Hutan rimbun nan hijau di Papua Selatan itu kini berubah jadi padang lapang beralur. Alat-alat berat telah menumbangkan pohon-pohon besar, maupun beragam tumbuhan-tumbuhan, segala satwa pun sirna atau entah mereka menyelamatkan diri ke mana.
Keanekaragaman hayati itu ‘bersih’ untuk proyek ‘ketahanan’pangan dan energi yang pemerintah gadang-gadang. Tanah-tanah lapang itu buat tanam tebu sampai cetak sawah. Tak itu saja, perluasan proyek masih akan terus berlanjut.
Bagi Masyarakat Adat Papua, hutan hilang, berarti juga menghilangkan ruang hidup sampai budaya mereka.
Mereka harus berhadapan pelbagai masalah, mulai dari perubahan pola konsumsi karena kehilangan sumber pangan, perampasan lahan, kerusakan ekologi, hilangnya mata pencaharian hingga intimidasi dan kriminalisasi karena memprotes proyek ini.
“Kami ini pemilik wilayah, kami tidak izinkan mereka (perusahaan). Ini tanah kami, kami yang punya hutan,” kata Vincent Kwipalo, pimpinan Marga Kwipalo dari Suku Yei Nan kepada Mongabay.
Pekerjaan raksasa ini mendapat label proyek strategis nasional (PSN). Pada September 2025, judul PSN diperluas hingga mencakup setiap kabupaten di Papua Selatan, dengan nama ‘Program Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel.
Masyarakat adat di sana waswas dan protes sampai ke Jakarta. Vincent, misal, sudah berulang kali protes ke Jakarta. Seperti 16 Desember lalu dia aksi bersama Greenpeace Indonesia di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Tanah dan hutan adat Suku Kwipalo di Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Merauke masuk dalam proyek dengan pelaksana PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula.
“Sampai kapan pun, prinsip saya tetap bertahan. Kami tidak izinkan perusahaan itu. Kami akan berjuang mempertahankan tanah ini.”
Vincent melaporkan perusahaan dengan konsesi seluas 52.700 hektar ini dan pejabat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ke Mabes Polri atas dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan.
Kepolisian, kata Vincent, berjanji turun ke lokasi dan memeriksa pihak terkait.
Bagi Vincent, mempertahankan tanah dan hutan adalah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Itu merupakan ruang hidup mereka.
Dampak dari aktivitas proyek ini sangat Vincent rasakan. Kerusakan hutan yang berdampak pada mata pencarian hingga pencemaran air.
“Airnya sudah lumpur, tidak bisa dikonsumsi. Masyarakat sudah mulai gelisah, karena airnya di sungai-sungai sudah putih. Sudah putih, kayak susu itu.”
Stok pangan pun kian sulit mereka dapat seiring hutan hilang. Sebelum ada ekspansi proyek pangan dan energi, masyarakat bisa dengan mudah memperoleh pangan di hutan, dari tumbuh-tumbuhan maupun satwa, seperti seperti babi, rusa, unggas.
Kondisi ini pun memaksa mereka mengubah pola konsumsi, kini kerap makan makanan instan. Mereka juga harus mengeluarkan uang untuk belanja pangan, tak seperti dulu gratis, karena dapat dari hutan.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pangan ekspansi proyek ini di Papua Selatan terdiri dari food estate antara lain, cetak sawah seluas 1 juta hektar dan tanaman pangan seluas 349.944 hektar.
Kemudian, peternakan seluas 373.578 hektar dan perkebunan tebu 633.000 hektar untuk produksi bioetanol di Merauke.
Perkebunan sawit di Mappi dan Boven Digoel 382.759 hektar untuk memproduksi biodiesel (B50).
Pemerintah, katanya, juga akan membangun fasilitas penunjang konektivitas dan distribusi di Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) itu. Antara lain, jalan sepanjang 135 km lebar 142 meter seluas 1.926,1 hektar dan bandara seluas 180 hektar serta pelabuhan khusus 377 hektar.
Yasinta Gebze, perempuan adat Suku Marind-Anim dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab, Merauke, juga merasakan dampak serupa dari ekspansi tebu,.
“Kita mau cari makan sekarang dimana? Dusun yang biasa kami cari makan sudah digusur dan dirusak.”
Bukan hanya hutan, kata Yasinta, proyek itu juga menggusur pertanian masyarakat tanpa membayar ganti rugi sepeser pun.
Yasinta bilang, PSN tak memberikan manfaat apapun untuk masyarakat adat.
Sebaliknya, mereka harus tertatih-tatih bertahan hidup di tengah ekspansi yang merusak hutan. Hutan telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Disitu tempat kami cari nafkah, menyekolahkan anak-anak kami. Kami menangis, kalau hutan sudah digusur, sudah tidak ada tempat lagi untuk kami.”
Saat ini, hutan adat Suku Yei dan Marind, secara administratif berada di Distrik Tanah Miring, Kurik, Animba, Jagebob, Elikobel, Malind, Muting dan Ulilin. Distrik-distrik ini terancam terbuka untuk proyek tebu.

Bakal terus lanjut…
Pada 16 Desember lalu juga, Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo memberikan arahan kepada seluruh kepala daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP OKP) di Istana Negara, Jakarta.
Presiden menenkankan soal swasembada pangan harus dilakukan sebagai bentuk negara menjamin ketersediaan makanan untuk rakyat dalam kondisi apapun.
Dia bilang, pangan yang selalu tersedia jadi dasar transformasi bangsa untuk terus bertahan membangun peradaban.
Swasembada pangan tak hanya di tingkat nasional, hingga desa (lumbung desa).
“Menteri Pertanian sudah melakukan langkah-langkah. Kita akan buka sumber-sumber pangan di semua kabupaten,” katanya.
“Ini adalah kunci survival kita sebagai bangsa.”
Strategi serupa juga bakal dilakukan dalam proyek swasembada energi. Antara lain, lewat program listrik perdesaan (lisdes), ini strategi percepatan pemerataan listrik ke pelosok desa.
Prabowo bilang, proyek ini akan memanfaatkan energi terbarukan yang tersedia di setiap daerah, seperti tenaga surya dan air.
“Ini semua supaya ada kemandirian tiap daerah. Kalau ada tenaga surya dan tenaga air tidak perlu kirim-kirim BBM mahal-mahal dari daerah-daerah lain.”
Selain itu, katanya, percepatan swasembada energi juga lewat program pengadaan bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol dan biodiesel untuk menekan ketergantungan penggunaan BBM.
“Kita berharap di daerah Papua pun harus di tanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong juga untuk menghasilkan etanol.”
Menurut Prabowo, lewat swasembada energi Indonesia akan hemat ratusan triliun dari subsidi dan impor.
Proyek swasembada pangan dan energi dia targetkan bisa terealisasi dalam lima tahun.
Swasembada pangan dan energi, katanya, merupakan upaya pemerintah untuk memaksimalkan potensi kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Hasilnya, pemerataan manfaat untuk masyarakat di setiap daerah dan meningkatkan ekonomi nasional. Rakyat pun sejahtera.
Analisa Greenpeace Indonesia, proyek ini akan mengancam 2,4 juta hektar hutan alam, lahan basah dan sabana.
Hingga Oktober 2025, luas pembukaan lahan untuk proyek itu sudah 36.000 hektar, deforestasi seluas 19.900 hektar.
Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, proyek raksasa yang dipromosikan sebagai jalan pintas menuju swasembada gula dan energi terbarukan ini sebagai solusi palsu. Ia mengejar pemenuhan bioetanol dari Merauke lewat mendorong konversi hutan alam skala besar.
Ambisi mengejar energi terbarukan saja akan meningkatkan emisi dan menggeser fokus dari perbaikan produksi gula petani.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral belakangan sudah berencana untuk menargetkan bauran bioetanol pada bensin sebesar 10% (E10) pada 2030.
Industri tebu di Merauke target beroperasi pada 2027 dan menghasilkan 150.000-300.000 kiloliter etanol per tahun, selain gula.
Analisis mereka, pencampuran 10% etanol ini memerlukan sekitar 7,3 juta kiloliter bioetanol, setidaknya 1,37 juta hektar perkebunan tebu.
“Ini bentuk nyata praktik kolonial politik tanah kosong di Papua yang menukar keanekaragaman hayati dan ruang hidup masyarakat adat demi bahan bakar nabati.”
Proyek ambisius ini juga menghancurkan flora dan fauna endemik dan mengancam tiga kawasan konservasi penting.
Mereka juga analisis peta konsesi dan peta kawasan konservasi, Taman Nasional Wasur, Cagar Alam Bupul, dan Suaka Margasatwa Bian. Hasilnya menunjukkan, PSN tebu Merauke berbatasan langsung dengan ketiga kawasan ini.
Taman Nasional Wasur, Cagar Alam Bupul, dan Suaka Margasatwa Bian adalah kawasan konservasi, rumah flora-fauna endemik di kawasan trans-fly ecoregion.
Kerangka hukum terkait konservasi sumber daya alam telah mengamanatkan ada kawasan preservasi di luar kawasan konservasi, termasuk daerah penyangga, koridor ekologis, dan ekosistem penghubung.
Kini, masyarakat juga sudah terdampak banjir. Kampung Sermayam—dengan penduduk dominan transmigran— banjir pada Mei 2025. Sekitar 400 hektar lahan persawahan, 90% terendam banjir.
“Artinya ini akan terjadi ke depan, dengan curah hujan yang tinggi termasuk perubahan iklim yang semakin nyata, karena perusakan yang sama di Sumatera itu akan terjadi di Papua saat ini,” ucap Rio Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Laporan Komnas Ham menyebut, banjir juga terjadi di Distrik Eligobel (meliputi Kampung Kweel, Bupul, Tanas), Distrik Sota (Kampung Toray dan Erambu), Distrik Kurik (Kaliki, Kurik 6), Distrik Malind, Distrik Animha (Kampung Wapeko, Baad, Wayau), dan Distrik Jagebob (Kampung Poo).
Rio bilang, Prabowo tidak memiliki kepekaan terhadap kegentingan yang terjadi di Papua saat ini.
Dia pun mempertanyakan komitmen menjaga lingkungan dan reforestasi 12 juta hektar hutan alam yang Prabowo sampaikan dalam sidang PBB beberapa waktu lalu.
“Seharusnya Prabowo menghentikan pembangunan PSN di Merauke karena sangat luas dan akan memunculkan bencana yang baru bagi masyarakat di Papua, termasuk juga hutan dan keanekaragaman hayati.”

Libatkan militer
Militer pun jadi pengaman proyek. Catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tiga satuan Yonif Angkatan Darat dengan persenjataan lengkap mendarat di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Merauke pada November 2024.
Yonif ini adalah batalyon task force di bawah kontrol operasional. Keberadaan prajurit juga dapat dilihat di Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob.
Jumlah mencapai 2.073 prajurit dengan masing-masing batalyon ada 691 tentara dari Kodam XVII/Cendrawasih. Di proyek food estate, mereka hadir sebagai aktor optimalisasi lahan. Kodam baru juga dibangun di Papua Selatan.
“Kata Sjafrie Sjamsoeddin (Menteri Pertahanan) mereka juga harus mahir menembak. Jadi ada peran ganda militer. Selain mahir menembak dia juga harus bisa membantu pembangunan,” kata Rizaldi Ageng Wicaksono, dari devisi advokasi YLBHI di Jakarta, 16 Desember 2025.
Emmanuel Gobay, pengacara publik YLBHI mengatakan, tentara bersama perusahaan penerima konsesi proyek food estate melakukan pengukuran, pematokan, dan juga terlibat memberikan penawaran pembelian tanah adat.
Ditemukan pula pembangunan sarana prasarana militer di Dusun Muckai, sejak Juni 2025 hingga kini.
Dugaan keterlibatan militer ini makin jelas ketika ada patok atau tanda survei bercat merah. Pada Juni 2025, di lahan adat Marga Kwipalo, ada papan tertulis “Tanah Milik TNI AD Kodam XVII/Cendrawasih”.
Papan itu terpasang setelah warga Marga Kwipalo memasang papan protes penolakan merespon tanaman jati dan karet mereka yang ditebang perusahaan. Papan protes kemudian dibongkar dan diganti.
Emmanuel bilang, kehadiran militer tak hanya untuk mengamankan jalannya proyek, para prajurit juga berperan sebagai operator alat berat untuk meratakan lahan.
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, sejak awal proyek, masyarakat tidak pernah dilibatkan.
“Meskipun ada patok wilayah adat dan plang larangan beraktivitas, tapi perusahaan tidak peduli mereka terus melakukan aktivitas. Begitu juga dengan aparat keamanan. Mereka tahu tentang itu tapi mereka tidak peduli.”
Proyek ini juga dia sebut tak jalankan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent). Pemerintah juga gagal memahami kondisi lahan.
Angky, sapaan akrabnya bilang, tanah di Merauke tak cocok untuk mengembangkan pertanian padi dan tebu. DI sana ada lumpur asam yang akan menghambat pertumbuhan.
Alih-alih membawa kesejahteraan, proyek pangan dan energi ini justru akan menimbulkan masalah bagi masyarakat. Mereka terancam kelaparan karena hutan yang menjadi sumber pangan sudah rusak.
“Ditambah krisis iklim dan perubahan rona lingkungan, masyarakat akan terdampak kelaparan dan kekurangan gizi.”
Saurlin P. Siagian, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM mengatakan, Komnas HAM telah menerima 60 laporan terkait kasus di Papua.
Dari jumlah itu, 20 berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), pelanggaran hak sipil dan politik.
Termasuk kasus perampasan wilayah adat Suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei dari marga Gebze, Moiwend, Gebze, Balagaize, PSN pangan dan energi di Merauke.
Komnas HAM pun tengah menyelidiki kasus ini, termasuk meminta keterangan berbagai pihak seperti masyarakat, perusahaan hingga pemerintah.
“Jadi, banyak problem yang belum dibereskan yang membutuhkan atensi serius dari pemerintah pusat.”
Berdasarkan surat rekomendasi Komnas HAM 17 Maret 2025, secara hukum, proyek ini bertentangan dengan beberapa regulasi nasional yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan mengharuskan ada izin dan konsultasi dalam pemanfaatan hutan adat. Namun dalam pelaksanaan, proyek ini tidak memperhatikan prosedur itu.
Selain itu, ketidakterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan melanggar prinsip partisipasi yang diatur dalam UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Proyek ini juga tidak selaras dengan standar dalam Konvensi ILO Nomor 169 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Tribal.
Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi ini, katanya, prinsip-prinsip yang diamanatkan, seperti hak masyarakat adat untuk menentukan nasib mereka sendiri terkait penggunaan lahan adat, seharusnya tetap jadi acuan dalam setiap kebijakan yang berdampak langsung terhadap mereka.
Aspek lain yang menjadi permasalahan dalam proyek ini adalah konílik regulasi dalam sistem perizinan tanah.
Ketidakjelasan status kepemilikan hak ulayat dan pemetaan lahan oleh perusahaan membuka peluang bagi penyalahgunaan izin hak guna usaha (HGU).
“Hal ini berpotensi merugikan masyarakat adat yang secara turun-temurun telah mengelola dan bergantung pada lahan tersebut untuk kehidupan mereka.”

Usulan kepada pemerintah
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mengatakan, proyek ini tidak akan berhasil kalau masih mengulang kesalahan yang sama.
“Food estate saya pastikan gagal berapapun dana yang digelontorkan.”
Hasil pengamatan Andreas, proyek ini melanggar empat pilar pengembangan lahan, yakni, kelayakan infrastruktur, teknologi, sosial dan ekonomi serta kelayakan tanah dan agroklimat.
Pelanggaran kelayakan tanah dan agroklimat terjadi ketika food estate dilakukan di kawasan yang tidak sesuai hingga menghasilkan kegagalan karena komoditas tidak tumbuh.
Kemudian pelanggaran kelayakan infrastruktur, misal, pembangunan sistem pengairan salah perhitungan. Kemudian, pelanggaran kelayakan teknologi.
Pemerintah Indonesia, katanya, belum bisa memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Misal dalam pengembangan bibit dan tata kelola hama.
Lalu, pelanggaran kelayakan sosial dan ekonomi, bisa terlihat ketika proyek jalan namun mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Andreas mengatakan, pemerintah telah mengabaikan kondisi sosial dan ekonomi lokal ketika merealisasikan proyek food estate ini.
“Empat pilar ini harus diperhatikan dalam pengembangan lahan pertanian skala besar. Satu pilar saja tidak dipenuhi, jawabannya pasti gagal.”
Untuk pengembangan food estate dan energi, kata Andreas, sebaiknya diserahkan oleh petani lokal. Petani lokal memahami betul mengolah lahan pertanian dengan cara tradisional mereka yang sudah diwariskan secara turun menurun.
“Harusnya serahkan saja ke patani lokal, tidak usah pertanian modern. Karena untuk sawah, satu petani, satu keluarga petani bisa menggarap dua hektar itu sudah luar biasa.”

Bercermin proyek serupa di Kalimantan, lahan-lahan bekas food estate justru terbengkalai yang berdampak kebakaran. Bahkan sebagian lahan sudah beralih fungsi, misal, menjadi sawit, seperti di Kalimantan Tengah.
“Sudah puluhan triliun uang dihamburkan dan itu uang rakyat. Tapi hasilnya cuma jadi semak belukar.”
Senada Dewi Kartika Sekretaris, Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sampaikan. Dia bilang, proyek ini justru akan memperkuat posisi pemilik modal untuk menguasai ekonomi politik dan pangan alih-alih memberdayakan masyarakat.
Hal ini pun berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang mempengaruhi keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Imbasnya, bencana yang akan terjadi.
Dewi menyarankan, pemerintah sebaiknya menyerahkan pengembangan tanaman pangan kepada para petani lokal.
Hal ini sebagaimana implementasi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
“Potensi petani kita, nelayan kita, kemudian peternak kita, petambak kita itu sudah cukup kalau memang dia diperkuat.”
Saat ini, katanya, terdapat 17 juta keluarga petani skala kecil. Bila pemerintah memperkuat mereka dengan meningkatkan kapasitas, kualitas, teknologi, produksi, ekonomi, pendidikan hingga pemberian hak tanah maka sektor pertanian akan maju.
“Kalau dari hulu ke hilirnya diperbaiki, sebenarnya kita nggak perlu lagi korporasi maupun militer ikut campur dalam produksi pertanian kita. Bahkan kita nggak perlu impor lagi dari negara-negara luar.”

*****
Dorong Ekspansi Sawit di Papua, Tak Belajar dari Bencana Sumatera?