- PBB menyerukan Pemerintah Indonesia segera mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat sebagai bagian sah dari warga negara. Sekaligus menjadikan mereka mitra sejajar dalam proses pembangunan nasional.
- Dalam pernyataan resminya di Jenewa, Swiss, para ahli PBB mengungkapkan keprihatinan mendalam atas ketiadaan pengakuan hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia serta pelanggaran sistematis terhadap hak-hak mereka. Terutama di wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Papua dan Kalimantan.
- Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan dari sekitar 40 juta hektar wilayah adat di Indonesia, baru 3,3 juta hektar yang diakui secara hukum. AMAN juga mencatat lebih dari 250 konflik antara masyarakat adat dan negara atau perusahaan hingga 2024.
- Temuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga memperkuat data AMAN. Dalam laporan Catatan Akhir Tahun 2023, KPA mencatat 241 kasus konflik agraria yang melibatkan lebih dari 160 ribu keluarga. Sebanyak 42 persen di antaranya melibatkan pemerintah atau BUMN sebagai pihak utama.
PBB menyerukan Pemerintah Indonesia segera mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat sebagai bagian sah dari warga negara. Sekaligus menjadikan mereka mitra sejajar dalam proses pembangunan nasional.
Dalam pernyataan resminya di Jenewa, Swiss, para ahli PBB katakan, keprihatinan mendalam atas ketiadaan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat di Indonesia serta pelanggaran sistematis terhadap hak-hak mereka. Terutama, di wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Papua dan Kalimantan.
“Kami mendesak Indonesia untuk secara resmi mengakui masyarakat adat dan melibatkan mereka sebagai mitra penting dalam membentuk pembangunan nasional yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis hak,” demikian pernyataan yang rilis Kamis (6/11/25) itu.
PBB menyebut, meski Indonesia sudah menyetujui Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), namun negara ini belum memberikan pengakuan resmi kepada kelompok-kelompok adat yang mengidentifikasi dirinya sendiri.
Kondisi ini berdampak pada pelanggaran hak atas tanah, budaya, dan hak menentukan nasib sendiri.

Militerisasi Papua
Dalam pernyataannya, PBB juga soroti revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua, yang membuka ruang sentralisasi kekuasaan di pusat dan melemahkan tata kelola masyarakat adat.
Kebijakan itu berisiko memperdalam kemiskinan struktural, penganiayaan, dan pengungsian, terutama di tengah militerisasi wilayah Papua Barat yang telah berlangsung puluhan tahun.
“Revisi UU Otonomi Khusus berpotensi memperburuk penderitaan masyarakat adat Papua yang telah lama menghadapi diskriminasi dan represi,” tulis PBB.
Para ahli di PP juga memperingatkan bahaya program transmigrasi yang mengancam kelangsungan budaya dan eksistensi masyarakat adat.
“Program ini mempercepat asimilasi paksa, pergeseran demografis, dan mengurangi kontrol masyarakat adat atas tanah leluhur mereka,” sebut pernyataan itu.
Para ahli PBB menyoroti pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) dan berbagai proyek ekstraktif di wilayah adat yang berlangsung tanpa persetujuan bebas, didahului, dan terinformasi (free, prior and informed consent/ FPIC) dari masyarakat terdampak.
Mereka menilai, praktik tersebut telah menyebabkan pengambilalihan tanah, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak-hak ekonomi serta budaya masyarakat adat.
“Proyek-proyek besar dijalankan tanpa melibatkan masyarakat adat. Akibatnya, mereka kehilangan lahan, sumber penghidupan, bahkan dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka,” tulis pernyataan itu.
Para ahli juga mengaitkan dampak proyek ekstraktif dengan krisis iklim, yang memperburuk kerentanan masyarakat adat terhadap bencana dan ketimpangan sosial.
Selain kehilangan tanah dan sumber daya, para ahli PBB menyoroti meningkatnya kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis adat di Indonesia. Mereka menyebut, aktivis yang memperjuangkan hak ulayat atau menolak proyek ekstraktif sering jadi korban kriminalisasi dan penyiksaan.
“Para pembela hak asasi manusia dan demonstran adat menghadapi kriminalisasi dan kekerasan yang semakin meluas, termasuk penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan paksa, serta dicap sebagai ‘teroris’,” ujar mereka.
Ribuan keluarga adat dilaporkan masih hidup dalam pengungsian internal akibat proyek pembangunan dan operasi keamanan di wilayah leluhur mereka. Beberapa komunitas adat yang hidup dalam isolasi sukarela, kata para ahli, kini menghadapi risiko pemusnahan bertahap, baik secara fisik maupun budaya.

Catatan AMAN
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, hingga 2024, lebih dari 17 juta jiwa masyarakat adat hidup di wilayah adat seluas lebih dari 40 juta hektar. Dari jumlah itu, baru sekitar 3,3 juta hektar mendapatkan pengakuan hukum melalui peraturan daerah atau penetapan pemerintah.
AMAN juga menyinggung gelaran suksesi kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun daerah yang tidak memiliki relevansi dengan masyarakat adat. Alih-alih, keberadaan mereka justru semakin memburuk.
Pada 2024 saja, perampasan wilayah adat mencapai 2,8 juta hektar dengan tindak kriminalisasi dan kekerasan menyertai.
Sementara itu, lebih dari 4.200 komunitas adat harus berjuang agar wilayahnya tidak diserobot atas nama pembangunan.
Masih menurut sumber yang sama, terdapat 250 kasus konflik masyarakat adat dengan negara dan perusahaan dalam lima tahun terakhir. Mulai dari penambangan nikel di Halmahera, pembukaan sawit di Kalimantan, hingga proyek infrastruktur di tanah Papua dan Nusa Tenggara.
Situasi itu terjadi karena gelaran proyek tanpa diawali persetujuan bebas dari masyarakat adat. Celakanya, dalam banyak kasus, konflik ini berujung pada kriminalisasi para pemimpin adat, perusakan situs budaya, hingga pengusiran warga dari tanah leluhur.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN menilai, pernyataan PBB ini sebagai bentuk peringatan moral sekaligus diplomatik yang tidak boleh terabaikan.
“Ini pengingat bagi Pemerintah Indonesia atas kewajibannya sebagai anggota PBB yang terikat pada hukum internasional,” katanya saat Mongabay wawancarai, Senin (10/11/25).
Laporan para ahli itu, katanya, merupakan tindak lanjut dari kunjungan PBB ke Papua pertengahan tahun ini. Mereka, katanya, mendengar langsung yang terjadi dengan masyarakat adat disana, bagaimana tanah-tanah mereka dirampas dan wilayah adat dihancurkan atas nama pembangunan.
Papua hanya potret kecil dari masalah struktural yang lebih luas di Indonesia: lemahnya pengakuan hukum terhadap masyarakat adat.
“Perjuangan RUU Masyarakat Adat sudah berjalan selama satu dekade, tapi belum disahkan. Ini saatnya DPR dan pemerintah serius, karena tanpa undang-undang, negara terus melegalkan perampasan wilayah adat melalui izin tambang, sawit, dan proyek strategis,” katanya, tegas.
Rukka menilai, hambatan terbesar dalam pengesahan RUU Masyarakat Adat justru datang dari partai politik yang memandang pengakuan masyarakat adat sebagai hambatan pembangunan. Padahal, yang dia perjuangakan adalah keadilan dalam pembangunan.
Dalam konstitusi sejatinya telah mengakui hak asal-usul masyarakat adat tetapi tanpa Undang-undang pelaksana, pengakuan itu berhenti di atas kertas.
Alih-alih, hukum sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan justru melegalkan perampasan tanah adat.
Rukka juga kritik revisi UU Otsus Papua yang lemahkan kewenangan masyarakat adat Papua.
Papua, katanya, sudah lama berada dalam situasi militersisasi, sejak dari masa Presiden Soeharto hingga kini dan mendapat stigma anti pembangunan.
”Padahal mereka hanya mempertahankan haknya. Bahkan akses komunikasi pun kerap ditutup.”

11,7 juta tanah adat hilang
Data AMAN menunjukkan, dalam satu dekade terakhir masyarakat adat kehilangan 11,7 juta hektar wilayah adat akibat izin-izin ekstraktif. Dan, hampir 1.000 kasus kriminalisasi terjadi terhadap para pembela masyarakat adat.
“Hampir semua izin, baik kehutanan, sawit, tambang, maupun proyek strategis nasional, tidak pernah melalui proses FPIC,” katanya.
Negara, membiarkan perusahaan menyerang masyarakat adat tanpa perlindungan hukum ketika terjadi penghancuran atas kebun-kebun mereka.
Praktik perampasan ruang hidup ini terjadi di banyak tempat dengan mengatasnaman pembangunan. Di Halmahera, kata Rukka, Komunitas O Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) di Halmahera kini berada di ambang kepunahan akibat ekspansi tambang.
“Mereka masyarakat adat yang belum terkoneksi dengan dunia luar, tapi justru jadi korban tambang. Bahkan ada yang meninggal di penjara akibat kriminalisasi.”
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperkuat temuan AMAN. Sepanjang 2023 hingga pertengahan 2024, tercatat 241 kasus konflik agraria di Indonesia, mencakup lebih dari 700 ribu hektar lahan dan melibatkan 160.000 keluarga.
Laporan tahunan KPA pada 2023 menyebut, 34% konflik terjadi libatkan masyarakat adat dan komunitas lokal, 42% teridentifikasi negara sebagai pihak utamanya, baik melalui BUMN, militer, maupun pemerintah daerah.
“Alih-alih menguat dan semakin berdaulat, hak rakyat terhadap sumber-sumber agraria semakin lemah, bahkan menghilang. Para petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, masyarakat pedesaan dan perkotaan semakin tersingkir dari tanah dan ruang hidup mereka,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA dalam laporannya.
Di Papua, konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan korporasi tambang menyumbang jumlah tertinggi, lebih dari 50% konflik agraria di wilayah timur Indonesia.
Sementara di Kalimantan dan Sumatra, proyek perkebunan dan kehutanan mendominasi.
“Negara seringkali berperan ganda: sebagai regulator sekaligus aktor yang melanggar,” ucap Dewi.
Kritik dari PBB dan temuan lapangan dari AMAN dan KPA menggambarkan satu hal: negara sedang berada di persimpangan tajam. Satu sisi, Indonesia ingin mempercepat pembangunan, membangun jalan, tambang, dan pabrik nikel atas nama transisi energi.
Sisi lain, langkah-langkah itu justru mengorbankan masyarakat adat sebagai benteng terakhir keberlanjutan.
Alih-alih melibatkan mereka, masyarakat adat justru menjadi korban kriminalisasi.
Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 120 aktivis adat dan pembela lingkungan ditangkap dengan berbagai tuduhan, mulai dari “merintangi proyek strategis” hingga “menghasut masyarakat.”
Bagi komunitas adat, demokrasi kini terasa seperti monolog negara yang menuntut patuh, bukan dialog untuk mencari keadilan. Padahal, di balik hutan, laut, dan pegunungan yang mereka jaga, terdapat aset ekologis dan spiritual yang menjadi fondasi identitas bangsa.
“Negara tidak akan pernah benar-benar berdaulat tanpa mengakui masyarakat adat,” tegas PBB.

Rekomendasi
Menutup pernyataannya, PBB tegaskan bahwa kelangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia berada dalam kondisi genting. Mereka mendesak pemerintah, pertama, memberikan pengakuan hukum penuh terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.
Kedua, menghentikan proyek-proyek yang berlangsung tanpa persetujuan masyarakat adat; Ketiga, mengakhiri kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia dan aktivis adat;
Keempat, menjalin dialog langsung dan bermakna dengan komunitas adat sebagai mitra sejajar dalam pembangunan.
“Beberapa masyarakat adat di Indonesia sedang didorong menuju kepunahan bertahap.” Negara harus bertindak sekarang untuk mencegah hilangnya warisan budaya dan kemanusiaan yang tak ternilai.”

*****
Mengapa Masyarakat Adat Waswas Hutan Meratus jadi Taman Nasional?