- Panel perubahan iklim PBB bersiap menggelar COP ke-30 (COP 30) di Belem, Brazil pekan depan. Jaringan masyarakat sipil di Indonesia pun mendesak ajang tersebut sebagai momentum untuk menghentikan operasi PLTU captive untuk industri.
- Keberadaan embangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive batubara menyebabkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), pencemaran air oleh logam berat (tembaga, kadmium, kromium heksavalen), deforestasi, dan menurunkan hasil perikanan serta pertanian di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah
- Asian Development Bank (ADB) dalam laporan iklim 2024 memperingatkan kebijakan (penggunaan batubara) saat ini akan menyebabkan pemanasan global pada tingkat yang berbahaya dengan rata-rata kenaikan suhu sekitar 3°C pada akhir abad ini. Menurut ADB, transisi energi bukan sekadar urusan teknologi dan pendanaan, tetapi persoalan keadilan sosial dan tata kelola.
- La Ode Muhammad Aslan, Guru Besar Kelautan Universitas Halu Oleo, menyoroti bagaimana ambisi energi terbarukan oleh pemerintah semakin ‘tidak jelas’ yang pada akhirnya menimbulkan ‘luka ekologis’.Dia menegaskan, krisis iklim di Indonesia erat kaitannya dengan pola eksploitasi sumber daya yang mengatasnamakan transisi energi.
Pertemuan para pihak dari berbagai negara membahas iklim (conference of parties/COP) 30 di Belem, Brazil, mulai pekan depan. Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia pun mendesak ajang ini sebagai momentum untuk menghentikan operasi PLTU captive di kawasan industri.
Walhi Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Tengah (Sulteng), dan Perhimpunan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) mengungkap kontradiksi antara narasi transisi energi pemerintah dan kenyataan lapangan. Di tengah gencarnya promosi energi hijau, PLTU captive untuk industri mineral turut memperparah krisis iklim serta deforestasi.
Gian Purnama Sari dari Walhi Sultra menilai, Perpres Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan menyimpan kontradiksi mendasar.
Dalam praktik, pemerintah tetap membuka ruang bagi pembangunan PLTU captive — pembangkit batubara khusus industri–guna mendukung hilirisasi industri tertentu.
Hal itu tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) dan penjelasan umum perpres itu, yang menyebut bahwa pemerintah masih memperbolehkan PLTU captive yang mendukung proyek strategis nasional (PSN) atau berorientasi hilirisasi industri tertentu.
Menurut Gian, kebijakan ini ‘menabrak’ semangat transisi energi karena melegitimasi penggunaan batubara di tengah krisis iklim yang kian parah.
Proyek-proyek PSN, katanya, hanya mengorbankan ruang hidup masyarakat pesisir dan pangan lokal, menggeser wilayah tangkap nelayan, serta melemahkan ketahanan ekologis maupun ekonomi masyarakat.
Di Kecamatan Morosi, Kabupan Konawe, Sulawesi Tenggara, kata Gian, PLTU captive PT Obsidian Stainless Steel (OSS) dan PT Virtue Dragon Nickel Indusrty (VDNI) operasikan menghasilkan 0,515 ton karbon dioksida per tahun. Angka itu berdasar konsumsi batubara yang capai 180.000 ton per tahun.
Pelepasan polusi dari PLTU itu signifikan dengan data puskesmas yang menunjukkan peningkatan kasus ISPA di Kecamatan Motui, Matandahi, Morosi, dan Sampara dari 2019 hingga 2023.
Selain itu, limbah cair yang mengalir ke Sungai Motui menyumbang cemaran tembaga (0,0485 mg/liter) dan kadmium (0,09 mg/liter) hingga memicu kematian organisme dan menurunkan produksi tambak udang dan bandeng.
“Kita harus berbicara soal keadilan ekologis dan juga adanya PLTU industri ini mengakibatkan pelanggaran HAM,” katanya.
Bersama koalisi masyarakat sipil, Walhi Sultra menggugat Perpres 112/2022 ke Mahkamah Konstitusi, Juli 2025.
Menurut Gian, hilirisasi nikel ini bukan solusi kesejahteraan masyarakat. Model itu tidak mempertimbangkan berbagai dampak yang masyarakat rasakan akibat pembuangan limbah cair ke sungai. Padahal, Pengadilan Negeri Unaaha melalui putusannya telah melarang pembuangan limbah itu.
“Kalau kejadian (pembuangan limbah cair ke sungai) hampir setiap hari, terjadi sampai saat ini. Mereka masih saja membuang limbah cair ke sungai,” kata Anas Padil, warga di sekitar PLTU OSS kepada Mongabay.

Sungai tercemar
Climate Right International (CRI) menyaksikan langsung aktivitas pembuangan cairan panas limbah PLTU ke sungai di pertengahan Agustus. Tak lama setelah pengadilan menyatakan PLTU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan pencemaran lingkungan.
CRI dalam laporannya mengungkapkan bagaimana polusi debu batubara bersumber dari aktivitas PLTU berdampak pada kesehatan perempuan setempat.
“Kekecewaan semakin mendalam, karena penduduk desa merasa ditinggalkan oleh institusi yang seharusnya melindungi mereka. Ketika pertemuan masyarakat berkisar pada panen bersama dan kehidupan sungai, kini perbincangan ditandai dengan keluhan, hutang, dan penyakit,” dikutip dari laporan CRI.
Sunardi dari Walhi Sulteng memaparkan, pembangunan PLTU skala industri di Morowali dan Morowali Utara telah menimbulkan kerusakan multidimensi.
Dia contohkan, hasil uji laboratorium dari sampel air sungai yang menunjukkan kontaminasi logam berat kromium heksavalen di beberapa sungai utama. Seperti di Bahodopi, jantung wilayah PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali. Deforestasi seluas 722.624 hektar terjadi antara 2001-2019 akibat ekspansi industri nikel.
“Di lain sisi juga PLTU terus menggunakan batubara sebagai bahan bakar utama dalam mengolah smelter dalam satu kawasan,” kata Sunardi.
Sayangnya, pemerintah daerah dan pusat belum memberikan respons tegas terhadap dampak lingkungan dan pelanggaran HAM yang terjadi.
Sunardi menyerukan, pemerintah dan korporasi menghentikan pembangunan PLTU captive baru. Dia meminta, pemerintah fokus pada arah kebijakan energi yang adil secara iklim dan berpihak pada masyarakat, bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi ekstraktif.
“Tanpa keberanian politik untuk meninggalkan batubara, transisi energi hanya akan menjadi narasi kosong di tengah semakin dalamnya krisis iklim dan sosial di kawasan.”

Peringatan ADB
Asian Development Bank (ADB) dalam laporan iklim 2024 menyinggung bagaimana kawasan ini masih tergantung pada energi fosil, meski investasi energi terbarukan terus meningkat.
Sektor energi menyumbang lebih dari 77% emisi kawasan, terutama akibat pembangunan infrastruktur batubara yang belum berhenti.
ADB juga memperingatkan bagaimana penerapan kebijakan saat ini akan menyebabkan pemanasan global pada tingkat yang berbahaya dengan rata-rata kenaikan suhu sekitar 3°C pada akhir abad ini.
“Transisi energi bukan sekadar urusan teknologi dan pendanaan, tetapi persoalan keadilan sosial dan tata kelola,” kata ADB.
Karena itu, adaptasi yang efektif harus mengatasi ketidaksetaraan dan memastikan perlindungan bagi masyarakat rentan.
Pesan ini, katanya, selaras dengan desakan Walhi agar arah kebijakan energi tidak lagi mengorbankan ruang hidup nelayan, petani, dan masyarakat pesisir atas nama pertumbuhan ekonomi hijau.
ADB menutup laporannya dengan peringatan keras. “Keputusan yang diambil terkait aksi iklim di tahun-tahun mendatang akan membentuk masa depan kawasan ini,” kata ADB.
La Ode Muhammad Aslan, Guru Besar Kelautan Universitas Halu Oleo, menyoroti bagaimana ambisi energi terbarukan oleh pemerintah makin ‘tidak jelas’ yang pada akhirnya menimbulkan ‘luka ekologis’.
Dia menegaskan, krisis iklim di Indonesia erat kaitannya dengan pola eksploitasi sumber daya yang mengatasnamakan transisi energi.
Contoh nyata, bagaimana industri nikel telah memicu berbagai kerusakan lingkungan, pengusiran masyarakat adat, deforestasi, hingga pencemaran.
“Laut yang dulu jernih kini berubah menjadi coklat pekat. Nelayan kini kesulitan mendapatkan ikan bahkan untuk makan sendiri.”
Situasi itu memperlihatkan paradoks besar dalam narasi transisi energi Indonesia.
Satu sisi, pemerintah mendorong hilirisasi mineral untuk mendukung industri kendaraan listrik sebagai bagian dari agenda dekarbonisasi.
Sisi lain, praktik penambangan nikel yang tak terkendali justru memperparah pencemaran laut, merusak hutan mangrove, dan menghancurkan ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
“Transisi energi yang tidak berkeadilan justru menciptakan krisis baru—krisis sosial, ekonomi, dan ekologi di wilayah penghasil bahan baku energi bersih.”

Abaikan dimensi manusia
Aslan menyoroti dimensi kemanusiaan dari industri ini. Dia menyatakan, relokasi paksa masyarakat adat, hilangnya ruang hidup, dan munculnya praktik eksploitatif di sektor tenaga kerja merupakan bentuk baru ketidakadilan struktural yang lahir dari ekonomi ekstraktif.
“Masyarakat adat memiliki hubungan spiritual dan ekologis dengan tanah dan lautnya. Ketika mereka dipindahkan demi investasi, mereka kehilangan lebih dari sekadar rumah—mereka kehilangan cara hidup.”
Dia tambahkan, praktik eksploitasi tenaga kerja, perdagangan orang, dan penyalahgunaan narkoba di kawasan industri nikel menunjukkan betapa lemahnya tata kelola dan pengawasan negara terhadap proyek-proyek strategis berkedok transisi hijau.
Keadilan iklim, kata Aslan, bukan hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga tentang menghormati hak-hak masyarakat yang paling terdampak oleh krisis dan pembangunan yang mengatasnamakan energi bersih.
“Stop-lah kalian (investor) membiayai perusahaan-perusahaan yang membunuh masyarakat.”
*****