- Indonesia harus mempersiapkan transisi energi serius dan sesegera mungkin. Pasalnya, selain cadangan batubara makin tipis, energi kotor pun memberikan dampak iklim dan lingkungan masif. Organisasi masyarakt sipil pun mengingatkan, transisi energi harus yang berkeadilan dan berkelanjutan.
- Dedi Rustandi, Koordinator Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) meningkat dua kali lipat pada 2021. Akibatnya, cadangannya berkurang signifikan. Pada 2021, cadangan fosil batubara masih 60%. Saat ini, tinggal 40%.
- Grita Anindarini, Deputi Direktur Program Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), meminta kepastian transisi energi yang demokratis. Pasalnya, banyak praktik transisi energi yang belum berkelanjutan dan berkeadilan di sejumlah daerah.
- Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, mengingatkan, perlu banyak pertimbangan sebelum membuat proyek transisi energi. “kalau kemudian transisi atau peralihan energi itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak berkeadilan, merusak lingkungan, melanggar hak-hak manusia, melanggar juga hak-hak perempuan, itu kita mau melakukan apa?”
Indonesia harus mempersiapkan transisi energi serius dan sesegera mungkin. Pasalnya, selain cadangan batubara makin tipis, energi kotor pun memberikan dampak iklim dan lingkungan masif. Organisasi masyarakt sipil pun mengingatkan, transisi energi harus yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dedi Rustandi, Koordinator Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan, PLTU batubara meningkat dua kali lipat pada 2021. Akibatnya, cadangan berkurang signifikan. Pada 2021, cadangan fosil batubara masih 60%, tinggal 40%.
“Mungkin tahun depan sudah berkurang lagi jadi 35 persen,” katanya, di Jakarta, Mei lalu.
Dia perkirakan, 15 tahun mendatang Indonesia bisa k ehabisan cadangan batubara. Kondisi ini, katanya, akan memaksa Indonesia beralih ke energi terbarukan. Sedang, energi terbarukan berjalan lambat. Untuk itu, Indonesia harus mempercepat transisi energi bersih. Ini juga penting untuk mengurangi dampak masif energi fosil.
Energi batubara, katanya, menyebabkan peningkatan eksponensial emisi karbon. “Jadi 154% sejak tahun 2000.”
Dedi bilang, implementasi transisi energi harus mempertimbangkan aspek lokal, karena setiap daerah bisa memiliki pendekatan berbeda. Juga, harus memastikan ada dampak ekonomi pada masyarakat lokal.
Pasalnya, beberapa lokasi produksi energi selama ini justru memiliki tingkat kemiskinan tinggi. Muara Enim, misal, 65%-nya merupakan wilayah batubara, namun 13% penduduk miskin.
Dia mewanti-wanti supaya fenomena ini tidak terjadi di lokasi energi terbarukan.”Dengan pendekatan yang inklusif transisi energi tidak hanya memberikan peluang untuk mengurangi emisi karbon tetapi menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan.”

Senada dengan Edison Siagian, Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri. Menurut dia, sektor energi kontributor perubahan iklim paling dominan, menyumbang hampir 90% emisi CO2 global.
Ada tiga alasan yang mendesak transisi energi. Pertama, melindungi lingkungan dan masyarakat dari dampak negatif perubahan iklim. Kedua, menyediakan energi yang terjangkau bagi masyarakat. Ketiga, menjaga pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan transisi energi dunia.
“Energi baru terbarukan ini, kalau memang sudah disepakati untuk dilakukan, maka ia harus bisa menjamin ketahanan energi kita.”
Namun, katanya, ada kendala implementasi peningkatan bauran energi di daerah. Pertama, keterbatasan anggaran untuk membiayai pengembangan energi terbarukan di seluruh kabupaten/kota.
Kedua, belum optimalnya pelaksanaan kewenangan terkait program dan kegiatan EBT di daerah. Sehingga memerlukan kerjasama seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung implementasinya.
Ketiga, daerah yang bergantung pada batubara akan berpotensi kehilangan sumber pendapatannya karena kebijakan penutupan atau pensiun dini PLTU.
“Juga potensi meningkatnya jumlah angka pengangguran yang disebabkan oleh penutupan sektor pertambangan batubara.”
Tubagus Nugraha, Direktur Eksekutif Bidang Sinkronisasi Kebijakan Program Prioritas Ekonomi Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut transisi energi memberikan dampak positif pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
“Untuk setiap $1 yang diinvestasikan, EBT menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada non-EBT. Berdasarkan hasil pemodelan, terdapat peluang penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak 15,3 juta job-years pada fase konstruksi dan 1,8 juta job-years pada fase operasional hingga tahun 2050,” katanya.
Transisi hijau di Indonesia, katanya, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 berdasarkan Undang-undang nomor 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
“Rencana transisi energi menghadirkan peluang investasi strategis bagi investor yang ingin mengembangkan proyek EBT dan rantai pasok hijau di Indonesia. Memperkuat rantai pasok hijau dalam negeri untuk teknologi EBT dapat mendorong kemampuan produksi energi domestik.”
Secara global, katanya, lebih 325 manajer aset mengelola US$57 triliun, telah berkomitmen mencapai net-zero pada tahun 2050 atau lebih cepat. Untuk menarik investasi itu, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas industrinya dengan cara yang berkelanjutan dan rendah karbon.

Transisi energi seperti apa?
Grita Anindarini, Deputi Direktur Program Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), meminta, kepastian transisi energi yang demokratis. Pasalnya, banyak praktik transisi energi yang belum berkelanjutan dan berkeadilan di sejumlah daerah.
Menurut dia, ada narasi yang hilang dalam transisi energi, yaitu, pemulihan lingkungan dari proyek energi kotor sebelumnya, seperti PLTU batubara.
Pembangkit listrik ini sudah lama berdampak pada lingkungan. Kehidupan sosial pun terdampak. Misal, karena lingkungan rusak, maka warga terpaksa bekerja di PLTU.
Untuk itu, pemulihan lingkungan bukan sekadar membersihkan pencemaran dan kerusakan, juga pemulihan hak masyarakat.
Dalam transisi energi, isu ketenagakerjaan kerap jadi dalih menahan penghentian PLTU. Padahal, banyak warga yang bekerja di PLTU ingin kehidupannya kebali seperti semula.
“Justru PR (pekerjaan rumah)-nya mungkin bukan reskilling, upskilling. Tapi adalah pemulihan lingkungan supaya mereka bisa balik lagi bekerja seperti semula.”
Meski demikian, dia berpendapat, perlu ada diversifikasi ekonomi ketika memensiunkan PLTU dan bertransisi ke energi bersih. Supaya, warga yang bekerja di PLTU dan tidak mau kembali menggarap lahannya, tetap mempunyai alternatif bertahan hidup.
Selain itu, transisi energi bukan hanya soal potensi ekonomi. Proses menuju energi bersih ini mencakup banyak hal.
Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, mengingatkan, perlu banyak pertimbangan sebelum membuat proyek transisi energi.
“kalau kemudian transisi atau peralihan energi itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak berkeadilan, merusak lingkungan, melanggar hak-hak manusia, melanggar juga hak-hak perempuan, itu kita mau melakukan apa?”
Transisi energi, katanya, harus berkelanjutan dan adil. Yang terjadi, banyak fakta menyatakan sebaliknya di tingkat tapak.
Dia contohkan, di Lembah Gunung Slamet, Jawa Tengah. Di wilayah itu terdapat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal yang pemerintah klaim sebagai energi terbarukan.
Proyek itu berdampak bagi lingkungan dan warga yang tinggal, terutama perempuan. Proyek ini menyebabkan sumber mata air dan sungai rusak, kering, serta tidak mengalirkan air.
“Debit air di sungai telah menurun lebih dari 1 meter.”
Perempuan yang semula mengambil air di sungai-sungai untuk kebutuhan sehari-hari, kini harus membelinya. Juga, tambak ikan komunitas yang hancur. Beberapa industri rumahan pembuat tahu tetap bertahan, namun harus mengeluarkan biaya lebih untuk beli air bersih.
Selain itu, kekerasan domestik meningkat. Banyak perempuan yang terlilit hutang pada rentenir karena harus memenuhi kebutuhan keluarga.
Serupa terjadi di Pulau Samosir, di tengah Danau Toba yang menjadi situs geothermal. Kawasan ini awalnya pertanian dan peternakan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar.
Selain itu, ketidakadilan transisi energi juga terjadi saat pembangunan PLTP di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 17 desa menolak proyek itu karena mereka anggap merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian. Namun, aksi penolakan tersebut aparat sambut dengan represifitas.
“Mereka ditindas secara brutal oleh aparat militer, termasuk kekerasan seksual.”
Andriyeni bilang, semua itu terjadi karena pemerintah kerap merencanakan proyek tanpa melibatkan masyarakat, termasuk perempuan.
“Proyek-proyek energi sering diputuskan secara top-down. Tidak ada satu pun skema transisi energi yang memberikan kesempatan untuk partisipasi yang berarti bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, buruh, penyandang disabilitas, dan lain-lain.”
Perempuan, katanya, memiliki tantangan berpartisipasi dalam transisi energi. Salah satunya, keterbatasan akses informasi dan pengetahuan. Penempatan perempuan di kerja-kerja domestik menjadi salah satu pemicunya.
“Sehingga, menghambat perempuan terlibat dalam mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.”
Selain itu, belum ada regulasi yang jadi landasan negara dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan.
Pengetahuan lokal perempuan tentang lingkungan, pangan, dan air sering kali terabaikan, bahkan hilang, akibat proyek besar. Dampaknya, relasi budaya perempuan dengan tanah dan air, yang selama ini menjadi bagian dari identitas mereka hilang.
Padahal, masyarakat lokal, khususnya perempuan, dapat membuat keputusan tentang penggunaan sumber daya lokal dan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan energi. Dengan memperkuat posisi mereka, maka bisa meningkatkan keterlibatan demokratis.
“Tidak ada seorang pun yang kemudian boleh ditinggalkan di belakang.”

*****