- Orang Rimba di Jambi rentan alami gangguan kesehatan di tengah ruang hidup yang terus tergerus. Orang Rimba banyak alami sakit kronis seperti tuberculosis (TBC) dan hipertensi, seperti di Desa Pelakar Jaya, Kecamatan Pemenang, Merangin, Jambi.
- Saat hutan masih asri, Orang Rimba biasa hidup dari satu tempat ke tempat lain di dalam hutan (nomaden). Kini, ruang mereka di hutan sudah banyak berubah menjadi berbagai peruntukan dari kebun kayu, kebun sawit dan lain-lain.
- Orang Rimba di Pematang Kejumat merasa alami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Ketika hendak mengakses fasilitas kesehatan, mereka kadang alami penolakan. Amin, Orang Rimba yang tinggal di Pematang Kejumat, mengatakan, mereka tidak jarang harus pindah-pindah tujuan puskesmas atau rumah sakit untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.
- Christy Abigail Wulandari, dokter yang pernah mendampingi Orang Rimba, mengatakan, pemerintah harus bersikap aktif dalam memeriksa dan memberikan pelayanan kesehatan terhadap mereka, bukan pasif, hanya menunggu pasien datang ke rumah sakit. Apalagi, ketika ada kecurigaan kasus TBC lebih tinggi di komunitas tertentu.
Orang Rimba di Jambi rentan alami gangguan kesehatan di tengah ruang hidup yang terus tergerus. Orang Rimba banyak alami sakit kronis seperti tuberculosis (TBC) dan hipertensi, seperti di Desa Pelakar Jaya, Kecamatan Pemenang, Merangin, Jambi.
Saat hutan masih asri, Orang Rimba biasa hidup dari satu tempat ke tempat lain di dalam hutan (nomaden). Kini, ruang mereka di hutan sudah banyak berubah menjadi berbagai peruntukan dari kebun kayu, kebun sawit dan lain-lain.
Kini, sebagian mereka pemerintah relokasi, masukkan ke rumah. Sebagian lain masih hidup di hutan membangun sudung–tempat berteduh beratap terpal,daun-daunan dan beralas reranting,kayu—secara mandiri.
Ayep, Kepala Desa Pelakar Jaya, mengatakan, dua tahun lalu ada 12 Orang Rimba di Desa Pelakar Jaya mengidap TBC. Kini mereka sudah sembuh dengan pengobatan dan pendampingan intensif.
“Bahkan ada yang kasus bayi tetanus, ada, tahun 2020,” katanya kepada Mongabay, belum lama ini.
Keluarga bayi yang terkena titanus itu, katanya, merupakan pindahan dari komunitas lain.
Dia bilang, sulit mengidentifikasi kesehatan Orang Rimba sebelum mereka bermukim.
Tahun ini, ada dua komunitas Orang Rimba di Pelakar Jaya pemerintah mukimkan menetap. Satu Komunitas dengan pimpinan Tumenggung Yudi, ada kepala keluarga. Satu komunitas lain pimpinan Tumenggung Abas ada sembilan keluarga. Jarak tempat tinggal antar dua komunitas itu berkisar dua km.
Ayep tidak menampik, ada kerentanan kesehatan di Komunitas Orang Rimba, namun pemerintah terus berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap warga.
Di Pelakar Jaya, katanya, para kader desa aktif mendampingi kebutuhan warga soal kesehatan. Komunitas Orang Rimba mendapat perlakuan khusus, para petugas kesehatan yang mendatangi komunitas langsung.
Dia bilang, kurang gizi juga menimpa anak-anak Orang Rimba. Saat Mongabay di Pelakar Jaya, tengah ada Posyandu.
“Rata-rata kalau di SAD (Suka Anak Dalam) itu kurang gizi,” katanya.
Untuk menanggulangi kekurangan gizi itu, kata Ayep, mereka telah memberikan bantuan gizi dari berbagai bentuk bantuan dari pemerintah.
Nasib yang tidak jauh berbeda juga Orang Rimba di Pematang Kejumat, Kelurahan Limbur Tembesi, Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun, alami.
Lokasi pemukiman Orang Rimba ini berada di perbatasan antara Sarolangun dan Merangin, tetapi masuk ke Sarolangun. Kejumat merupakan nama sungai yang jadi nama dusun, Pematang Kejumat.

Sulit akses fasilitas kesehatan
Orang Rimba di komunitas ini merasa alami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Ketika hendak mengakses fasilitas kesehatan, mereka kadang alami penolakan.
Amin, Orang Rimba yang tinggal di Pematang Kejumat, mengatakan, mereka tidak jarang harus pindah-pindah tujuan puskesmas atau rumah sakit untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Ini kan gak bisa tertunda, mau nolong nyawa itu kan penting,” katanya.
Dia bilang, rumah sakit selalu membuat alasan untuk menolak mereka berobat di sana. Sedsng mereka harus bayar mobil ambulan bila harus pindah rumah sakit hingga makin menyulitkan.
“Dokternya gak ada, rumah sakit tutup, di situlah alasan dibuat. Padahal, kalau rumah sakit besar itu enggak pernah tutup.”
Dia dan orang-orang Rimba lain di komunitasnya sudah mematuhi berbagai peraturan pemerintah.
“Biasanya kalau darurat itu, pasti di ruang ICU, malah ditutup ruangan itu, akhirnya meninggal,” kata Amin tanpa menyebutkan spesifik nama rumah sakitnya.
Amin tidak menampik, ada rumah sakit yang sigap menerima mereka ketika mereka ingin berobat, seperti rumah sakit di Merangin dan Bangko.
Rumah sakit di sana, katanya, langsung menangani mereka ketika mereka tiba, administrasi bahkan urus kemudian.
Ketika hutan hilang, katanya, mereka hidup susah, tertindas, dan sulit mencari makan.
“Semua ada di hutan. Obat di situ, makanan di situ.”

Christy Abigail Wulandari, seorang dokter, pernah mendampingi Orang Rimba pada 2021-2023 di Merangin.
Dalam proses pendampingan itu, dia mengidentifikasi ada 54 orang dari empat sub Komunitas Orang Rimba sakit TBC.
“Kita lakukan pemeriksaan untuk sekitar 150-an orang dan kita ketemunya 54 kasus,” katanya.
Dia juga banyak menemukan kasus diare dan malnutrisi dalam keseharian Orang Rimba. Dia juga mengidentifikasi penyakit paru obstruktif kronis.
“Itu memang juga cukup tinggi, tapi umumnya orang-orang yang sudah lebih lanjut usia,” kata dokter yang tengah studi master global health di Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu.
Christy belum mengetahui lebih lanjut penyebab penyakit kronis, terutama TBC tinggi.
Belum ada data penelitian komprehensif soal itu.
Pergeseran pola makan masyarakat dan ketersediaan sumber makanan, katanya, juga punya pengaruh kepada kesehatan mereka. Pergeseran pola makan seperti ini, kata Christy, ditemui di banyak komunitas adat di Indonesia.
Kunci dalam penanganan penderita TBC, katanya, identifikasi cepat. Para penderita harus cepat-cepat teridentifikasi kemudian segera obati. Juga perlu akses kesehatan memadai, kendati berada di pedalaman, dan jangan ada stigma.
“Jangan dikucilkan, justru diobati,” katanya.
Untuk bisa mengidentifikasi penyakit, Christy menekankan, perlu kerja sama berbagai sektor, lembaga, atau instansi terkait.
Pemerintah, katanya, harus bersikap aktif dalam memeriksa dan memberikan pelayanan kesehatan terhadap mereka, bukan pasif, hanya menunggu pasien datang ke rumah sakit.
Apalagi, ketika ada kecurigaan kasus TBC lebih tinggi di komunitas tertentu.
“Setelah itu, enggak bisa cuma ketemu saja penyakitnya, harus ada pendampingan khusus supaya pengobatan TBC enam bulan itu bisa selesai.”
Pendekatannya, bisa dengan menggali pengetahuan lokal seperti bagaimana masyarakat Rimba memandang penyakit, bagaimana mengatasinya, dan apa yang menghalangi mereka untuk mendapatkan akses kesehatan/pantangan.
Hal itu dilakukan, katanya, semata-mata untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
Pemerintah, katanya, juga perlu membuat sistem lebih bagus dan mudah terakses masyarakat. Kalau perlu, buat sistem khusus untuk komunitas tertentu, seperti Indian Health System (IHS) di Amerika Serikat.
“Jadi bisa lebih memprioritaskannya, atau membuat keputusan strategisnya juga bisa lebih gampang,” kata Christy.
Sony Propesma, Kepala Dinas Kesehatan Merangin, mengatakan, Pemerintah Merangin sudah membuat ruang rawat inap khusus Orang Rimba.
“Kenapa? Ini persoalan kami juga ini. Di saat mereka datang, sakit, itu bukan satu dua orang yang mengunjungi. Nah, akan mengganggu kondisi pasien yang lain kan itu, bukan diskriminasi gitu tapi kita memberikan ruang … mereka agar bebas berkomunikasi dengan komunitas mereka,” kata Sony, Juli lalu.
Merangin memiliki 27 Puskesmas di 24 kecamatan.
Terkait upaya Dinas Kesehatan Merangin, Sony bilang berusaha memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai TBC maupun kesehatan lingkungan.
Dinas Kesehatan Merangin, katanya, memaksimalkan Posyandu sebagai ruang sosialisasi dan edukasi terkait kesehatan. Dengan petugas Posyandu, masyarakat Rimba lebih mudah berkomunikasi.
Semua Orang Rimba sudah anggota BPJS. Sisi lain, mereka kerepotan pendataan Orang Rimba.
Masalah lain, terkait pembiayaan. Tak jarang Orang Rimba datang ke rumah sakit di Merangin bukan warga Merangin.
Meski demikian, mereka tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka, terkait pembiayaan dibicarakan kemudian dengan instansi-instansi terkait.
Bagi Sony, mereka mempunyai hak akses kesehatan yang sama dengan warga lain.
Dia berharap, semua instansi dari pemerintah daerah sampai pusat atau lembaga terkait saling mendukung dan berkolaborasi satu sama lain.

*****