- Kita dapat mengetahui individu owa jawa jantan atau betina dengan mendengarkan suaranya.
- Dikarenakan owa jawa tidak duet maka suara sang betina akan lebih dominan. Sebenarnya, male/jantan juga bersuara, hanya tidak berayun. Sementara female/betina, saat bersuara ada alunannya atau grid call, yang panjang dan nyaring.
- Diperkirakan, hampir semua jenis owa di dunia, saat bersuara atau “bernyanyi” akan sahut-sahutan antara jantan dan betina. Namun, ada dua spesies yang tidak melakukannya, yaitu owa jawa (Hylobates moloch) dan owa mentawai (Hylobates klossii).
- Bioakustik merupakan ilmu biologi terapan yang mempelajari karakteristik suara, organ suara, fungsi suara, fisiologi suara, analisis suara, dan manfaat suara satwa. Pendekatan ini banyak digunakan di Eropa dan Amerika untuk mempelajari perilaku, neuro, dan genetik satwa.
Hanya dengan mendengar suara owa jawa, kita dapat mengetahui individu tersebut jantan atau betina.
Fauzia Yudanti, Data Koordinator Data Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (Kiara), mengatakan dari suara memang kita dapat mengenali perbedaan individu tersebut. Pagi hari, saat owa aktif biasanya akan mengeluarkan suara.
Diperkirakan, hampir semua jenis owa di dunia, saat bersuara atau “bernyanyi” akan sahut-sahutan antara jantan dan betina. Namun, ada dua spesies yang tidak melakukannya, yaitu owa jawa (Hylobates moloch) dan owa mentawai (Hylobates klossii).
“Dua jenis itu memang tidak duet,” jelasnya pada Simposium for Indonesia – Malaysia Bioacoustics (SIMBA 2025) di Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, 23-25 Mei 2025 lalu.
Bagaimana cara membedakannya?
Fauzia melanjutkan, dikarenakan owa jawa tidak duet maka suara sang betina akan lebih dominan. Sebenarnya, male/jantan juga bersuara, hanya tidak berayun. Sementara female/betina, saat bersuara ada alunannya atau great call, yang panjang dan nyaring.
“Jadi, saat terdengar suara panjang, nyaring membahana, serta bernada, dipastikan itu owa jawa betina.”
Kiara bermarkas di Kampung Citalahab, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Yayasan ini memiliki tiga program kerja utama, yaitu riset, pendidikan konservasi, dan pengembangan masyarakat. Fauzia dan tim, memantau pergerakan primata ini di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Dari basecamp Kiara, jarak taman nasional tidak lebih dari 500 meter.
“Tim juga mencatat pergerakan owa setiap 10 menit, dari bangun hingga tidur lagi.“
Dalam satu grup owa, biasanya ada empat-lima individu yang dipantau. Suara owa tentu sangat membatu, dikarenakan area hutan yang luas. Ketika suara terdengar, tim segera mengikuti.
“Mencari hingga ketemu.”

Owa jawa, mengutip Pusat Studi Satwa Primata IPB University, merupakan primata endemik Pulau Jawa yang tidak memiliki ekor. Nama lokalnya owa atau wau-wau kelabu, yang dikenal sebagai satwa monogami.
Betina menghasilkan keturunan setiap 2-3 tahun dengan lama kebuntingan 7-8 bulan. Sang bayi akan berada di kelompoknya sampai dewasa kelamin untuk selanjutnya pergi membentuk keluarga sendiri. Jika terjadi ancaman, owa betina akan mengeluarkan alarm call sebagai pertanda bahaya.
Owa jawa tersebar di taman nasional dan hutan lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebut saja di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Simpang, Leuweung Sancang, Gunung Papandayan, dan Gunung Tilu.
Fauzia menambahkan, berdasarkan karakteristik, tim Kiara coba mendeteksi keberadaan satwa diurnal ini di hutan Citalahab, wilayah TNGHS, menggunakan passive acoustic monitoring (PAM).
Dalam penelitian tersebut, tim memasang alat perekam swiftone pada area hutan primer sejak Agustus 2022 hingga Juni 2023. Metode perekaman 24 jam tersebut, menggunakan pengaturan sample rate sebesar 48 KHz dan gain 28 dB.
Hasilnya?
Tim menemukan 470 suara owa jawa betina yang kemudian dianalisis karakteristiknya menggunakan Raven Pro 1.6. Tim juga menganalisis perilaku owa setelah mereka bersuara, berdasarkan data pemantauan rutin.
Owa betina bersuara 0.64 kali per hari, mulai pukul 2:57 WIB pagi hingga 14:32 WIB siang. Rentang frekuensi suaranya adalah 445,31- 1675,78 Hz.
“Setelah bersuara, sang betina lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat, dibandingkan makan dan bergerak,” paparnya.

Bioakustik untuk penelitian satwa
Bioakustik merupakan ilmu biologi terapan yang mempelajari karakteristik suara, organ suara, fungsi suara, fisiologi suara, analisis suara, dan manfaat suara satwa. Pendekatan ini banyak digunakan di Eropa dan Amerika untuk mempelajari perilaku, neuro, dan genetik satwa.
Junaydy Michael Angelo Ginting, peneliti dari Yayasan Ekosistem Leuser, mengatakan teknologi bioakustik digunakan untuk merekam kehadiran siamang (Symphalangus syndactylus) dan owa serudung (Hylobates lar) setahun penuh di Stasiun Penelitian Sikundur, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Untuk owa serundung misalnya, dikenal dengan model suaranya yang dimulai fase intro, lalu great call khas, yang berfungsi menandai wilayah teritorial mereka. Dengan bantuan bioakustik, suara itu diterjemahkan menjadi bentuk visual yang bisa dilihat gambarnya. Namanya, spektrogram.
“Setiap spesies itu spektrogramnya berbeda, sehingga bisa dijadikan indikator untuk identifikasi satwa. Jadi, suara siamang dan owa serundung memang berbeda,” jelasnya, di acara yang sama.

Keuntungan bioakustik, lanjut dia, kita dapat mengetahui keberadaan satwa tersebut saat itu juga/present, meski tidak terlihat wujudnya. Tentu saja, bila dibandingkan dengan kamera jebak, hasilnya tidak “memuaskan” karena tidak ada visualnya. Namun, metode ini memberi kelengkapan data pada semua spesies yang terekam suaranya.
“Hasil rekaman suara menunjukkan, siamang itu mostly aktif jam 9 pagi WIB, kadang sudah mulai jam 8 pagi. Sementara owa serundung justru lebih awal, sekitar jam 6 pagi.”
Menurut Junaydy, ada temuan menarik dari penelitian ini. Untuk pertama kalinya, tim mengetahui reaksi siamang terhadap suara chainsaw di hutan. Siamang yang hidup berkelompok, ternyata menjauh ketika terdengar raungan suara gergaji mesin tersebut. Hal yang sama dilakukan owa, mereka menghindar.
“Ini reaksi alami siamang dan owa. Mereka terganggu, ada semacam distraction.”
Melalui bioakustik, ada kejutan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
“Ternyata, siamang bisa mengeluarkan suara di malam hari. Ini sebagai false alarm, karena selama ini siamang aktif pagi hari.”

Perkembangan bioakustik di Indonesia
Wendy Erb, peneliti bioakustik dari K. Lisa Yang Center for Conservation Bioacoustics, Cornell University, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa secara sederhana bioakustik diartikan sebagai penelitian tentang suara alam. Suara ini bisa berupa satwa liar, tumbuhan, atau juga cacing di tanah.
Di Indonesia, penelitian bioakustik sudah dilakukan terkait suara dugong di Sangihe, Sulawesi, serta berbagai suara ikan yang terdengar seperti bernyanyi. Juga, sejumlah primata di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tentu juga burung, yang memang jelas terdengar kicaunya, bahkan kodok dan kelelawar.
“Suara serangga menarik untuk ditelisik kedepannya,” jelasnya, baru-baru ini kepada Mongabay.
Secara global, bioakustik digunakan untuk riset di laut Antarktika, merekam nyanyian terkenal paus bungkuk atau Humpback Whale, lalu gajah afrika di Kongo, singa di Kamerun, kodok di Brasil, serta burung di Hawaii.
Untuk penelitian spesies yang sulit dilakukan secara visual -dikarenakan satwa tersebut hidup di pohon dan beraktivitas malam hari, atau hidup di bawah laut- maka perekaman suara bisa menjadi solusi.
“Bioakustik sangat bermanfaat untuk penelitian, kegiatan seni, maupun edukasi yang outreach-nya untuk aksi konservasi.”

Wendi ingat pertama kali datang ke Indonesia tahun 2005, untuk penelitian bioakustik di Kepulauan Mentawai. Tepatnya, riset perilaku simakobu atau dikenal dengan sebutan monyet ekor babi (Simias concolor).
Sejak pagi, dia keliling mencari primata tersebut sembari membawa mikrofon dan alat perekam. Simakobu ini berkelompok kecil dalam keluarga dan Wendi harus paham grup yang dicari dan wilayah jelajahnya.
“Saya lakukan itu setiap pagi, fokus pada empat kelompok saja.”
Kini, peralatan bioakustik sudah moderen. Kalau dulu manusia yang bergerak, kini alatnya padif. Cukup diletakkan di suatu tempat saja, merekam berbagai suara alam.
Terkait kemajuan teknologi ini, Wendy mengatakan, intinya peneliti harus tetap aktif karena alat sifatnya membantu. Peneliti harus turun lapangan, melihat langsung kondisi hutan karena banyak data dan informasi yang akan didapat.
“Kalau hanya mendengarkan hasil rekaman suara, tanpa pernah masuk ke belantara tempat penelitian dilakukan, peneliti akan kehilangan konteks dan tidak mengerti mengapa kondisi itu terjadi.”
Wendy optimis, bioakustik akan tetap digunakan kedepannya. Alasannya, alat tersedia, pengetahuan sudah berkembang, dan para peneliti sangat terbantu dengan metode ini.
“Saya selalu termotivasi untuk melakukan riset bioakustik. Saya sudah meneliti orangutan serta siamang, dan sekarang sangat terobsesi merekam langsung suara tarsius kalimantan (Tarsius bancanus borneanus) yang masih terbatas informasinya,” paparnya.
*****