- Proyek pulau buatan bertajuk Surabaya Waterfront Land (SWL) di pesisir timur Surabaya terus berlanjut di tengah derasnya penolakan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan telah menerbitkan Dokumen Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk meloloskan proyek tersebut.
- Sejak Senin (22/9/2025), ratusan warga pesisir yang terdiri dari nelayan, petani tambak, pelaku usaha perikanan dan mahasiswa mendatangi sejumlah instansi pemerintah, mulai balai kota Surabaya, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jatim. Dalam aksinya, mereka mendesak pemerintah mencabut dokumen PKKPRL yang KKP terbitkan.
- Bukan tanpa alasan bila rencana penimbunan laut untuk membuat empat pulau itu mendapat penolakan warga pesisir. Mereka menilai, kehadiran proyek tersebut hanya akan membuat nelayan dan warga pesisir kian terhimpit. Para nelayan sudah merasakan merosotnya tangkapan imbas massifnya pembangunan di pesisir Surabaya. Dampak yang paling terasa adalah hilangnya habitat ikan maupun komoditas laut lainnya. Nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan.
- Dikor Jupantara, Kepala Tim Kerja Pelayanan Pemanfaatan Ruang Laut BPSPL Denpasar yang wakili KKP nyatakan siap teruskan tuntutan para nelayan ini kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Begitu juga dengan DKP, menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi dan memberikan rekomendasi terkait tuntutan para nelayan. Pihaknya juga akan membentuk tim independen yang berisi perwakilan warga nelayan untuk mengkaji ulang dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, terkait rencana proyek ini.
Proyek pulau buatan bertajuk Surabaya Waterfront Land (SWL) di pesisir timur Surabaya, Jawa Timur, terus berlanjut di tengah derasnya penolakan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan sudah menerbitkan dokumen perizinan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) untuk meloloskan proyek itu.
Senin (22/9/25), ratusan warga pesisir yang terdiri dari nelayan, petani tambak, pelaku usaha perikanan dan mahasiswa mendatangi Balai Kota Surabaya. Dalam aksinya, mereka mendesak pemerintah mencabut dokumen PKKPRL yang KKP terbitkan.
Ramadhani Jaka Samudra, Koordinator Umum Forum Masyarakat Madani Maritim, menyatakan, desakan pencabutan itu lantaran dokumen PKKPRL itu bertentangan dengan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Surabaya.
Merujuk perda itu, lokasi pulau buatan itu bukan wilayah industri maupun wilayah real estate. Tetapi, zona konservasi dan zona tangkap ikan nelayan.
Selain itu, kawasan pantai timur Surabaya juga menjadi zona pertahanan militer yang seharusnya tetap dipertahankan.
“Kita melihat ketidakadilan disini. Laut sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat akan dikuasai oleh investor dan oligarki. Kita tidak butuh laut reklamasi, tapi nelayan butuh laut untuk menggantungkan hidup untuk mencukupi keluarganya,” kata Ramadhani.

Dia dan warga pesisir timur Surabaya bertekad terus menolak proyek SWL demi mempertahankan ruang hidup dan sumber penghidupan warga.
Kalau proyek pulau buatan itu diteruskan, tidak hanya berdampak secara ekologis, tetapi juga sosial .
Ramadhani menyesalkan sikap pemerintah daerah yang terkesan lempar tanggung jawab dan menjadikan rakyat berhadapan sendiri dengan pemerintah pusat dan investor. Padahal, mereka turut andil dalam terbitnya dokumen PKKPRL.
“Seharusnya ketika kita datang ke wali kota, maka wali kota yang harus datang ke pusat, mereka yang harus melobi, mereka yang harus bertarung di pusat, bukan kami rakyat yang disuruh datang ke sana.”
Selain meminta pencabutan izin PKKPRL, warga juga mendesak penghentian proses pengurusan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) oleh PT Granting Jaya, selaku pengembang. Dia tidak dapat mencegah kemarahan warga bila proses tersebut berlanjut hingga sampai pada pengerjaan fisik di lapangan.
Selama ini, katanya, pemda terkesan enggan membersamai suara penolakan warga karena proyek itu sempat masuk proyek strategis nasional (PSN) yang harus dapat dukungan daerah. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, telah mengeluarkan SWL dari daftar 77 daftar PSN.
“Saat Maret 2024 terdapat Permenko Perekonomian Nomor 6 Tahun 2024, di dalamnya ada daftar PSN tambahan, salah satunya SWL ini sehingga pemda beralasan ini PSN. Sekarang tidak ada lagi dasarnya setelah Perpres 6/ 2025 terbit. Jadi, seharusnya Pemda mendengar suara arus bawah,” kata Ramadhani.
M. Fikser, Asisten I Bidang Pemerintahan Kota Surabaya yang menemui warga berjanji meneruskan tuntutan warga ke pemerintah pusat.

Dampak ekonomi
Bukan tanpa alasan bila rencana penimbunan laut untuk empat pulau buatan di pesisir timur Surabaya itu mendapat penolakan warga pesisir.
Mereka menilai, kehadiran proyek tersebut hanya akan membuat nelayan dan warga pesisir kian terhimpit. Terlebih, para nelayan sudah merasakan merosotnya tangkapan imbas massifnya pembangunan di pesisir Surabaya.
Sebelumnya sudah ada pembangunan kawasan permukiman elit di kawasan pantai timur Surabaya, dan juga jembatan Suramadu. Dampak yang paling terasa adalah hilangnya habitat ikan maupun komoditas laut lainnya.
Habitat udang, kerang, teripang, ikan dan berbagai komoditas laut lainnya terus menurun hingga saat ini. Nelayan yang sebelumnya dapat dengan mudah mendapatkan tangkapan di sekitar pantai, kini harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan.
“Dulunya waktu sebelum ada Laguna, sebelum ada Suramadu, hasil kita melimpah, tapi sekarang jangankan 50%, 20% sudah kecil hasil kita, hilang yang 80%,” kata Diah Tini, nelayan perempuan Nambangan.
Para perempuan nelayan dan pengolah hasil tangkapan laut juga gelisah, bila proyek ini terus berlanjut. Ketakutan akan berkurangnya sumber pendapatan dan makanan membayangi kehidupan warga setiap hari.
“Kalau benar ada reklamasi, kita mau makan apa, kami nelayan harus memutar kemana untuk mencari ikan. Kami bisanya hanya menjadi nelayan,” katanya menolak reklamasi dan menuntut pencabutan izin dan proses Amdal.
“Di Bali selatan, di tahun 2017, Pelindo III melakukan reklamasi seluas 85 hektare, yang terjadi sekarang apa, terjadi bencana. Berapa yang akan direklamasi di kenjeran, 1.084 hektare, akankah daratan kita tenggelam,” seru Heru saat orasinya.

Pemiskinan warga
Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyebut reklamasi pesisir Surabaya lebih 1.000 hektar itu bukan untuk kepentingan nelayan, tetapi oligarki dan investor. Di banyak tempat, reklamasi menimbulkan banyak persoalan lingkungan.
Dia tegaskan, reklamasi apapun dalihnya akan menyebabkan masyarakat di pesisir Surabaya, akan merasakan dampak yang luar biasa.
“Bukan hanya tangkapan yang berkurang, yang kami takutkan adalah nelayan dan perempuan tidak lagi bisa melaut atau mencari ikan, karena pesisirnya rusak,”katanya, ditemui di Balai Kota Surabaya, Senin (22/9/25).
Dia juga soroti pembangunan pulau buatan berpotensi picu pengerukan pasir laut dalam jumlah besar. Apalagi, pemerintah telah memperbolehkan penambangan pasir melalui peraturan pemerintah mengenai pengelolaan sedimentasi.
Maka, sudah dapat dipastikan kerusakan lingkungan juga akan terjadi dari aktivitas penambangan pasir untuk reklamasi ini, dan mempengaruhi lebih dari 5.000 orang yang tinggal di sekitarnya.
“Jadi ini kerusakan bergandeng yang dilakukan oleh negara. Jika diteruskan, maka yang terjadi adalah pemiskinan terstruktur.”
Bagi Susan, izin reklamasi yang pemerintah berikan menjadi ancaman di banyak tempat. Selain Jakarta dan Surabaya, ancaman sama juga terjadi di Manado melalui penetapan PSN. Celakanya, kendati banyak menimbulkan dampak, pemerintah justru terkesan abai.
“Nelayan dan petambaknya sudah sejahtera sebenarnya dengan laut mereka, jadi tidak butuh direklamasi. Kecuali memang negara mau semakin memperkaya makelar tanah, yang kita tahu ini adalah investasi.”

Apa kata pemerintah?
Pada Kamis (9/10/25), Forum Masyarakat Madani Maritim melanjutkan protes dengan menemui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Jatim. Hadir pula dalam pertemuan itu Dikor Jupantara, Kepala Tim Kerja Pelayanan Pemanfaatan Ruang Laut BPSPL Denpasar secara daring.
“Kami siap membantu meneruskan tuntutan para nelayan ini kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang ingin Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pamanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dicabut permanen,” kata Dikor melalui zoom di hadapan perwakilan nelayan.
Begitu juga dengan DKP, menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi dan memberikan rekomendasi terkait tuntutan para nelayan. Mereka akan membentuk tim independen yang berisi perwakilan warga nelayan dari Forum Masyarakat Madani Maritim dan dinas terkait, untuk mengkaji ulang dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, terkait rencana proyek ini.
“Kami sudah mendengarkan alasan keberatan warga dan nelayan, dan siap memfasilitasi tuntutan mereka yang menolak reklamasi kepada Kemenko Perekonomian, juga kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Isa Anshori, Kepala DKP Jatim.
Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan dari Granting Jaya atas tuntutan pencabutan izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, yang para nelayan dan warga pesisir timur Surabaya suarakan. Upaya meminta penjelasan melalui sambungan telepon tak kunjung mendapat respons.
*****