- Sejumlah pihak, seperti Yayasan Hutan Biru (YHB), pemerintah, dan masyarakat menggelar pertemuan untuk berefleksi, sekaligus mencari solusi atas ancaman ekologis di Kepulauan Tanakeke seperti abrasi, kenaikan air laut, dan degradasi ekosistem pesisir.
- YHB menekankan bahwa keberhasilan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pesisir bergantung pada partisipasi aktif masyarakat. Program konservasi harus berbasis komunitas agar perubahan yang dihasilkan bersifat jangka panjang dan berkeadilan.
- Camat Tanakeke menegaskan pentingnya menjaga mangrove sebagai benteng utama pulau, sementara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menekankan pentingnya sinergi lintas sektor serta merencanakan penyaluran artificial reef untuk memperkuat ekosistem laut.
- Diskusi menghasilkan kesepakatan rencana aksi mencakup penetapan kawasan konservasi laut, penyediaan air bersih, pengembangan energi terbarukan, pengelolaan sampah terpadu, serta penguatan ketahanan pangan lokal melalui dukungan dana desa dan BUMDes.
Sejumlah pihak menggelar pertemuan di Hotel Horison Makassar, Rabu (24/9/25) untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang melingkupi Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Pulau ini mencakup lima desa yang dikelilingi hutan bakau.
Dalam satu dekade terakhir, wilayah ini mengalami tekanan besar akibat degradasi ekosistem pesisir, naiknya muka air laut, dan terbatasnya sumber daya alam yang dapat diandalkan. Kondisi itu menuntut upaya bersama untuk menata kembali hubungan antara manusia dan lingkungan guna mencapai keseimbangan sosial dan ekologis.
Rio Ahmad, Direktur Yayasan Hutan Biru (YHB) menyebut, pertemuan itu memiliki arti penting karena pihak-pihak yang selama ini bekerja langsung di lapangan hadir dan memahami tantangan yang dihadapi masyarakat kepulauan.
“Pertemuan kali ini sangat berkesan karena menjadi ruang bagi kita semua untuk berbicara tentang masa depan Tanakeke sebagai rumah bersama,” katanya.
Sejak ≠ 2010, YHB bekerja bersama masyarakat Tanakeke melalui berbagai program pemulihan ekosistem, terutama di sektor mangrove dan pesisir.
“Melalui kemitraan jangka panjang tersebut, YHB belajar bahwa perubahan sejati tidak akan terwujud tanpa keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama.”
Masyarakat Tanakeke kini berhadapan dengan keterbatasan yang makin besar. Banyak sumber daya pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang yang dulu menjadi tumpuan ekonomi kini mengalami penurunan fungsi dan luasan.
“Karena itu, diskusi ini tidak hanya membicarakan masalah lingkungan, juga tentang hak-hak masyarakat untuk hidup dari sumber daya alam yang lestari. Kita berharap dapat mengembalikan hak ekosistem untuk tumbuh kembali agar masyarakat pun memiliki hak untuk memanfaatkannya secara adil,” katanya.

Muhammad Arif, Camat Kepulauan Tanakeke dalam kegiatan itu menyampaikan, keberlanjutan Tanakeke tidak dapat terpisahkan dengan keberlanjutan mangrove yang tumbuh di sekeliling pulau.
“Kalau mangrove habis, maka habislah Tanakeke,” katanya.
Menurut dia, tantangan terbesar Tanakeke saat ini adalah menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan upaya pelestarian lingkungan.
Satu sisi, masyarakat perlu lahan dan sumber penghidupan. Sisi lain, alam tidak lagi mampu menanggung beban akibat eksploitasi berlebih.
“Masalah lingkungan di Tanakeke sebenarnya sudah kita ketahui bersama, tetapi sebagian masyarakat belum tahu langkah apa yang harus dilakukan terlebih dahulu,” katanya.
Dia berharap, melalui kegiatan ini akan lahir kesadaran bersama bahwa menjaga lingkungan bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan bagi keberlanjutan hidup.
M. Ilyas, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, mengapresiasi inisiatif YHB dan komitmen masyarakat Tanakeke. Dia tegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga sumber daya alam.
“Kita berkumpul di sini untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir.”
Menurut Ilyas, menjaga laut dan ekosistemnya tidak bisa dilakukan secara parsial; harus ada sinergi antara pemerintah, lembaga pendamping, dan masyarakat.
“Percuma pemerintah bekerja keras kalau masyarakat tidak ikut ambil bagian,” katanya.
Meski begitu, dia bilang, kerja-kerja konservasi tidak bisa dalam waktu singkat tetapi perlu kesabaran dan konsistensi.
“Apa yang kita tanam hari ini akan memberikan hasil lima tahun mendatang.”
Saat ini, Pemprov Sulsel berencana menyalurkan terumbu buatan (artificial reef) ke perairan Tanakeke sebagai bagian dari program pemulihan ekosistem laut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel.

Rencana aksi
Pertemuan yang menghadirkan perwakilan pemerintah dan masyarakat itu juga diwarnai dengan penyusunan rencana aksi berdasarkan kesepakatan para stakeholders.
Mereka memaparkan gagasan mereka terkait pemulihan ekosistem, penyediaan air bersih, ketahanan energi, pengelolaan sampah, serta ketahanan pangan dan gizi.
Pada kelompok keanekaragaman hayati menyampaikan pentingnya menetapkan kawasan konservasi laut di sekitar Tanakeke. Mereka juga targetkan penurunan kerusakan ekosistem hingga 50% dalam tiga tahun melalui pembentukan forum pengawasan, kegiatan monitoring bulanan, dan penyusunan peraturan desa terkait pengelolaan mangrove.
Perwakilan PDAM menjelaskan kondisi air bersih di Tanakeke yang dinilai sangat memprihatinkan. Sebagian besar masyarakat masih mengandalkan air tadah hujan atau air payau untuk kebutuhan sehari-hari.
Mereka mengusulkan pembangunan sarana penampungan air bersih berkapasitas besar dan menghidupkan kembali program air siap minum “Air Sinu” yang sebelumnya sempat berjalan namun terhenti karena kendala listrik.
Untuk mendukung upaya ini, pemerintah desa dan BUMDes diharapkan dapat berkolaborasi menyediakan sarana penunjang serta tenaga kerja lokal.
Persoalan energi juga peserta bahas dalam pertemuan itu. Saharuddin Rawe, Kepala Desa Balangdatu menjelaskan, sampai saat ini empat desa di Tanakeke belum memiliki akses listrik memadai.
Usulan yang muncul adalah pembangunan sistem tenaga surya dan kelistrikan berbasis laut dengan dukungan dari PLN dan pemerintah daerah.
Dia juga tegaskan pentingnya kemandirian energi di pulau agar masyarakat tidak terus bergantung pada bantuan luar. Mereka mengusulkan agar desa-desa di Tanakeke membangun jaringan listrik terpadu untuk pemerataan akses.
Isu lain yang menjadi perhatian adalah pengelolaan sampah. Para peserta menilai perlunya strategi menyeluruh yang melibatkan edukasi masyarakat, pembentukan bank sampah, serta pembangunan tempat penampungan sementara di setiap desa.
Selain itu, mendorong pemanfaatan limbah plastik menjadi produk bernilai seperti paving block dan kerajinan tangan.
Bidang pangan dan gizi juga turut dibahas. Beberapa kepala desa menyampaikan bahwa persoalan pangan di Tanakeke bukan terletak pada ketersediaan, tetapi pada distribusi dan inovasi. Cuaca sering menjadi kendala utama dalam pengiriman bahan pangan dari daratan.
Sehingga, masyarakat terdorong untuk mengembangkan pertanian lokal dan memanfaatkan lahan secara maksimal. Pendamping desa menambahkan bahwa dana desa dapat diarahkan untuk mendukung kegiatan pertanian terpadu yang melibatkan BUMDes dan kelompok tani.

Gagasan pengembangan komoditas khas seperti semangka lokal Tanakeke juga mendapat dukungan karena dinilai berpotensi menjadi produk unggulan desa.
Selama diskusi berlangsung, suasana di ruangan tetap kondusif dan terbuka. Para peserta berbagi pandangan, saling menanggapi, dan memberikan masukan berdasarkan pengalaman di lapangan.
“Dari kegiatan ini terlihat jelas bahwa semangat untuk membangun Tanakeke bukan sekadar wacana, tetapi lahir dari kesadaran kolektif bahwa pulau kecil ini harus diselamatkan melalui kerja bersama dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat,” kata Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia.
*****
Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar, Bukti Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir