- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menyoroti transisi energi semu di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya. Pasalnya, tidak ada langkah progresif untuk mengurangi emisi atau keluar dari ketergantungan batubara lewat pengoperasian PLTU ini.
- Umi Ma’rufah, Manager Pengembangan Program dan Kajian Walhi Riau, menyebut ketimbang menunda pensiun PLTU, seharusnya pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) segera menyiapkan road map (peta jalan) transisi yang jelas. Termasuk percepatan pembangunan energi surya yang juga terkoneksi antarwilayah agar Riau tidak terus bergantung pada energi batubara.
- Saat ini, PLTU Tenayan Raya melakukan cofiring biomassa 5%. Mereka pakai serbuk kayu gergaji (sawdust) dan kayu cincang (woodchip) 200 ton per hari, sejak 2023. Sebelumnya, mereka pernah mencoba campuran dari limbah sawit, hingga sampah.
- Ahlul Fali, Manager Kampanyer dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, mengatakan, upaya cofiring PLTU Tenyaran raya menghasilkan emisi baru di sektor Forest and other Land Use (FoLU). Transisi energi mereka, katanya, justru memicu deforestasi lebih luas karena ekspansi hutan untuk tanaman kayu dan perkebunan sawit yang tak terkendali untuk memenuhi kebutuhan cofiring.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menyoroti transisi energi semu di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya dari batubara yang kini mencampur 5% dengan biomassa (cofiring). Belum ada langkah progresif mengurangi emisi atau keluar dari ketergantungan batubara lewat pengoperasian PLTU ini.
Pemerintah tidak memasukkan pembangkit listrik yang terletak di Pekanbaru ini dalam daftar pensiun dini 13 PLTU. Ada beberapa pertimbangan dalam penetapannya, antara lain umur pembangkit, kinerja, efisiensi, dan produktivitas.
Umi Ma’rufah, Manager Pengembangan Program dan Kajian Walhi Riau, menyebut, ketimbang menunda pensiun PLTU, seharusnya pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) segera menyiapkan road map (peta jalan) transisi yang jelas. Termasuk percepatan pembangunan energi surya yang juga terkoneksi antarwilayah agar Riau tidak terus bergantung pada energi batubara.
Riau memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED), menargetkan bauran energi terbarukan 31,22% pada 2025 dan 46,64% tahun 2050. Sayangnya, implementasi masih gelap. Pengurangan emisi saja baru 0,1 juta CO2 periode 2010-2019.
“Apa gunanya ada RUED jika implementasinya masih jauh dari target?”
Ahlul Fali, Manager Kampanyer dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, mengatakan, keputusan tidak memasukkan PLTU Tenayan Raya dalam daftar pensiun dini mencerminkan komitmen nasional dan daerah yang tak sejalan.
Padahal, ada komitmen Net Zero Emission (NZE) dalam pengurangan emisi hingga 2060 dan Peraturan Gubernur Riau 56/2022 tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon.
Dia menilai, RUED Riau menunjukkan energi fosil masih menopang lebih dari separuh kebutuhan bahan baku energi. Akibatnya, target pengurangan emisi di Riau masih lemah dan setengah hati.
Selain itu, peningkatan kebutuhan listrik tidak bareng dengan penambahan energi dari sumber bersih dan berkeadilan.
“Pemerintah provinsi perlu mendorong pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Dengan menerapkan prinsip partisipasi dan pemberdayaan komunitas, transisi yang inklusif dan berkelanjutan, serta keadilan ekologis dan sosial,” katanya.

Penolakan anak muda Riau
Seruan pensiun dini PLTU Tenayan Raya pun pernah mereka suarakan April 2025. Kala itu, mereka aksi bertajuk Our Power, Our Planet, dengan menyusuri Sungai Siak dari Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Rumbai Timur, Pekanbaru, bersama ‘Orang Muda Riau’.
Spanduk dan poster terbentang di atas perahu mereka. Seruannya menuntut transisi energi bersih berkeadilan dan pensiun dini PLTU Tenayan Raya, yang operasinya mereka nilai jadi simbol kegagalan pemerintah lepas dari ketergantungan energi kotor.
Operasi PTLU juga mereka tuding penyebab pencemaran Sungai Siak. Tumpahan batubara di sekitar PLTU, limbah hasil pembakaran seperti fly ash dan bottom ash (FABA), jadi pemicu. Ia membahayakan ekosistem dan kesehatan masyarakat di sekitar pembangkit.
Yaresa Wiliam, Tim Leader Lingkungan PLTU Tenayan Raya, menanggapi santai desakan suntik mati PLTU. Dia sudah kerap dengar isu itu ketika masih tugas di area pembangkit listrik tenaga air.
Dia anggap sah aspirasi itu, tetapi PLTU Tenayan Raya merupakan tulang punggung listrik Riau.
“Itu (aksi tolak PLTU) ide bagus. Semua ingin listrik ramah lingkungan. Tapi kita juga bertahap. Transisi energi dari batubara ke biomass yang kita jalani sekarang tidak bisa serta merta digantikan sepenuhnya. Kita harus tetap melayani kebutuhan listrik masyarakat,” katanya, 22 September.
Menyoal tumpahan batubaru di sungai saat proses bongkar muat dari tongkang, William bilang, selalu melakukan pembersihan area sekitar. Termasuk, mengukur kualitas permukaan air sungai dan melaporkannya ke dinas lingkungan hidup di tingkat kota, provinsi, hingga pusat.
Dia pun mendukung transisi energi, namun tidak serta merta dengan menghentikan PLTU, kecuali ada teknologi lain yang menjamin pasokan listrik tetap tersedia. Alasannya, masyarakat membutuhkan listrik sebagai penopang mata pencarian. Penghentian operasi akan berdampak ke banyak orang.

Malah cofiring
PLTU Tenayan Raya beroperasi penuh sejak 2017. Listrik yang mereka hasilkan menopang sekitar 11% kebutuhan Riau.
Sebelumnya, pembangkit listrik yang mampu hasilkan 87,5 MW per unit itu menopang 30% listrik Riau. Namun, kebutuhan listrik di provinsi ini makin meningkat hingga mengurangi persentase yang Tenayan Raya topang.
Ramli, Tim Leader Niaga dan Bahan Bakar, PLN Nusantara Power (NP) Unit Pembangkit (UP) Tenayan, bilang, sebelum pembangkit ini berdiri, beban puncak konsumsi listrik di Riau hanya 700-an MW. Sekarang, lebih dari 1.000 MW.
“Kebutuhan (listrik) di Riau masih bisa ditopang PLTU Tenayan Raya. Daya yang dihasilkan diambil seluruhnya untuk Riau,” katanya, 18 September.
Sadar akan pentingnya pembangkit ini dan emisi yang mereka hasilkan, PLN NP UP Tenayan mulai menerapkan cofiring (pencampuran batubara dan biomassa).
Biomassa yang mereka pakai berupa serbuk kayu gergaji (sawdust) dan kayu cincang (woodchip) sebanyak 200 ton per hari, sejak 2023. Sebelumnya, mereka pernah mencoba campuran dari limbah sawit, hingga sampah.
Jumlah campuran material kayu itu baru 5% dari 4.000 ton kebutuhan harian batubara mereka. Satu hari, pembangkit ini pernah mengujicoba 10% campuran kayu cacahan. Kuota itu merupakan batas tertinggi rekomendasi cofiring biomassa dari boiler mereka.
Saat ini, kapasitas campuran biomassa dan batubara PLTU Tenayan Raya mentok 5%. Selain kayu cacahan, serbuk kayu hasil gergaji belum dapat lampu hijau untuk meningkatkannya jadi 10%. Material ini terlalu mudah menyerap air dan berubah jadi gumpalan bila terkena hujan. Hal itu, dapat menyumbat batubara saat proses pembakaran pada boiler.
Wiliam menyebut, terbatasnya persentase campuran biomassa terhalang dua faktor, kesediaan bahan baku, dan kemampuan boiler. Jadi batas maksimum cofiring hanya 10%.
Dia klaim, pembangkit listrik ini telah mengurangi setidaknya ratusan ribu ton karbon sejak program transisi energi berjalan 2023 tetapi masih melampaui toleransi batas atas emisi.
Dia pun menolak sematan solusi palsu pada cofiring. Menurut dia, penggunaan serbuk kayu dan kayu cacahan, walau menghasilkan abu pasca pembakaran, merupakan karbon netral. Sebab, pohon sumber materialnya juga menyerap karbon.
“Bahan bakunya diperoleh dari penebangan pohon. Alternatif risiko itu bisa dimitigasi. Misal dengan pemilihan batang pohon atau cara-cara penebangan lebih ramah lingkungan,” ujar Wiliam.
Namun, Umi menyoroti upaya cofiring PLTU Tenayan Raya yang ternyata masih melampaui ambang batas yang pemerintah tetapkan. “Artinya strategi cofiring sekadar tambalan yang belum menyelesaikan masalah.”
Dia juga pertanyakan penggunaan kayu bahan baku biomassa. Jangan sampai, katanya, memindahkan masalah dari emisi karbon ke deforestasi yang juga menghasilkan masalah lain.
Ahlul justru menilai praktik transisi energi PLN UP Tenayan sebagai greenwashing. Narasinya terkesan ramah lingkungan, kenyataan tidak sesuai dengan klaim itu.
Skema mencampurkan serbuk dan potongan-potongan kayu kecil, hingga uji coba limbah sawit, justru menghasilkan emisi baru di sektor Forest and other Land Use (FoLU). Transisi energi mereka, katanya, memicu deforestasi lebih luas karena ekspansi hutan untuk tanaman kayu dan perkebunan sawit yang tak terkendali untuk memenuhi kebutuhan cofiring.
“Aktivitas ini bukan hanya gagal mengurangi emisi karbon. Tapi mempercepat deforestasi, memicu konflik lahan, dan perampasan tanah masyarakat adat.”

Pindah dosa, dagang karbon
Dadan Kusdiana, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM), pernah menyebut setiap PLTU berkapasitas 1 GW menghasilkan 5 juta ton CO2. Dari rumusan itu, Tenayan Raya dengan kapasitas 2×110 MW menyumbang 1,1 juta ton CO2.
William tidak membantah hitungan itu. Namun, dia bilang upaya cofiring biomassa mereka telah mengurangi sekitar 100.000 ton CO2. Mereka juga menjalankan skema perdagangan karbon sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pelepasan emisi yang melampaui batas.
KESDM meluncurkan perdagangan karbon subsektor tenaga listrik. Bisnis benda tak berwujud ini berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca lebih 36 juta ton CO2e pada 2030.
PLTU Tenayan Raya masuk dalam daftar 99 pembangkit yang mengikuti skema perdagangan karbon ini.
Meskipun demikian, Walhi Riau mengkritik hal ini. Mereka bilang, mekanisme perdagangan karbon yang pemerintah dorong sesat, karena tidak efektif menghapus emisi secara nyata. Malahan, memindahkan tanggung jawab kerusakan lingkungan ke pihak lain dengan cara membayar.
“Membeli kredit karbon bukan solusi jangka panjang. Itu hanya tindakan membayar agar bisa terus mencemari. Prioritas seharusnya adalah menurunkan emisi dari sumber utama. Bukan sekadar mengalihkan tanggung jawab ke tempat lain,” tukas Umi.

*****
Mempertayakan Komitmen Transisi dalam Kebijakan Energi Nasional