- Dua spesies anggrek berhasil ditemukan di Pulau Raja Ampat, “surga dunia” yang dikenal dengan keindahan bawah laut dan juga darat. Kedua anggrek ini diberi nama Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu.
- Dendrobium siculiforme adalah anggrek elegan. Namanya berasal dari Bahasa Latin taitu sicula, yang berarti "belati kecil". Sementara Bulbophyllum ewamiyiuu, dengan bentuk lebih kecil. Ewamiyiuu berasal dari Bahasa Batta, yang digunakan oleh Suku Batanta, dan berarti ‘bergaris’, merujuk pada garis-garis kecokelatan di antara tonjolan pada pseudobulb.
- Di balik keindahannya, kedua anggrek baru ini menyimpan cerita mengkhawatirkan. Berdasarkan data distribusi yang ada, kedua spesies ini diduga merupakan spesies endemik Kepulauan Raja Ampat dengan sebaran alami terbatas.
- Kedua penemuan ini adalah pengingat akan harta karun biodiversitas Indonesia yang masih banyak belum terungkap, sekaligus betapa rapuhnya kekayaan tersebut.
Di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, para peneliti botani mengungkap kekayaan alam yang tersembunyi. Dua spesies anggrek baru berhasil diidentifikasi yang menambah panjang daftar kekayaan hayati Indonesia. Kedua anggrek ini diberi nama Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu.
Pengungkapan berawal dari kegiatan inventarisasi tumbuhan dan pemanfaatannya di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, dengan tajuk “Orchids of the Bird’s Head Peninsula”, yang dilakukan pada 2022 oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua Barat bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dalam survei tersebut, tim berhasil mengoleksi berbagai jenis anggrek alam serta mencatat pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal. Beberapa tahun kemudian, sejumlah koleksi anggrek hasil survei berbunga, sehingga memungkinkan dilakukan pengamatan morfologi mendalam.
Hasil kajian menunjukkan, dua spesies tersebut belum pernah teridentifikasi sebelumnya, yaitu Dendrobium siculiforme Saputra, Schuit., & Metusala dan Bulbophyllum ewamiyiuu Saputra, Schuit., & Metusala, yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional Telopea pada Agustus 2025.
Publikasi ini merupakan hasil kerja sama tim riset antara Reza Saputra (BKSDA Papua Barat), Destario Metusala (BRIN), Andre Schuiteman (Kew Botanic Gardens, Inggris), Yuanito Eliazar (Indonesian Society of Botanical Artists), serta Ashley Field, Katharina Nargar, dan Darren Crayn (Australian Tropical Herbarium, James Cook University).

Destario Metusala, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, mengungkapkan bahwa kedua spesies baru ini merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel secara alami di batang pepohonan.
“Dendrobium siculiforme memiliki batang tegak setinggi 15–50 cm dengan daun tersusun berseling. Bunganya muncul dari bagian atas batang dengan jumlah sekitar enam kuntum. Saat mekar sempurna, diameter bunganya mencapai 7 cm dengan warna krem kekuningan berpola guratan cokelat keunguan,” ungkapnya dalam siaran pers BRIN.
Dendrobium siculiforme adalah anggrek elegan. Namanya berasal dari Bahasa Latin yaitu sicula, yang berarti “belati kecil”, merujuk pada bentuk bagian tengah bibir bunganya yang runcing seperti mata belati. Bunganya berwarna krem kekuningan dengan hiasan urat dan bintik cokelat, serta tiga jalur keunguan yang menawan pada bibir bunganya. Anggrek ini hidup sebagai epifit (menempel di pohon) di hutan dataran rendah pada ketinggian sekitar 630 meter di atas permukaan laut.
Saudara barunya, Bulbophyllum ewamiyiuu, justru menyimpan keunikan pada bagian “batang semu” (pseudobulb)-nya, dengan bentuk lebih kecil, hanya sekitar 8–12 cm dengan satu helai daun di setiap pseudobulb, tetapi warnanya sangat menarik. Sepal dan petalnya berwarna dasar kuning dengan semburat merah marun yang kontras.
Dalam jurnal berjudul “Two new orchid species from the Raja Ampat Archipelago, Southwest Papua Province, Indonesia”, epitet spesifik ewamiyiuu berasal dari bahasa Batta, yang digunakan oleh Suku Batanta, dan berarti ‘bergaris’, merujuk pada garis-garis kecokelatan di antara tonjolan pada pseudobulb. Bahasa Batta merupakan salah satu bahasa yang paling terancam punah di Raja Ampat, hanya digunakan oleh sekitar 150 orang tua Suku Batanta.
Penamaan spesies ini dalam bahasa Batta menyoroti peran vital komunitas lokal dalam konservasi alam dan menghormati Suku Batanta, atas upaya mereka melindungi hutan Pulau Batanta, khususnya di dalam Cagar Alam Barat Batanta.

Ancaman Raja Ampat
Di balik keindahannya, kedua anggrek baru ini menyimpan cerita yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data distribusi yang ada, kedua spesies ini diduga merupakan spesies endemik Kepulauan Raja Ampat dengan sebaran alami terbatas. Dengan data yang masih minim, tim riset mengusulkan Dendrobium siculiforme berstatus Kritis (Critically Endangered), sementara Bulbophyllum ewamiyiuu masuk kategori Kekurangan Data (Data Deficient) menurut kriteria IUCN Red List.
Penemuan ini sekaligus mengingatkan kita pada sebuah kontradiksi. Di satu sisi, Raja Ampat adalah hotspot keanekaragaman hayati, pulau tropis yang kaya spesies dan diperkirakan masih banyak lagi yang belum terungkap. Namun, di sisi lain, surga yang memesona ini tengah menghadapi bayang-bayang gelap.
Aktivitas pengerukan sumber daya alam, pembukaan lahan, dan tekanan pariwisata yang tidak terkendali mengancam keutuhan ekosistem Raja Ampat. Kerusakan habitat tidak hanya mengancam satwa ikonik seperti cenderawasih, tetapi juga makhluk-makhluk kecil dan rapuh seperti kedua anggrek baru ini. Jika hutan tempat mereka bergantung ditebang atau terganggu, spesies yang bahkan belum sempat kita kenal bisa punah sebelum sempat dipelajari.
“Penemuan ini menegaskan pentingnya hutan-hutan di pedalaman Papua sebagai gudang sumber daya genetik yang belum banyak terungkap. Potensi temuan spesies baru dari Papua sangat besar, tidak hanya dari kelompok anggrek, tetapi juga dari kelompok tumbuhan lain,” ungkap Destario.
Destario juga mengingatkan, adanya risiko pengambilan liar di alam akibat tingginya permintaan pasar. Kemunculan spesies baru biasanya memicu antusiasme para penghobi untuk memilikinya. Bahkan, Bulbophyllum ewamiyiuu sudah mulai diperdagangkan hingga ke Pulau Jawa. Dia menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pihak, termasuk komunitas penghobi anggrek, dalam menjaga kelestarian kedua spesies ini.
Kedua penemuan ini adalah pengingat akan harta karun biodiversitas Indonesia yang masih banyak belum terungkap, sekaligus betapa rapuhnya kekayaan tersebut. Eksplorasi lebih lanjut dan kerja sama erat dengan masyarakat lokal menjadi kunci untuk melindungi kedua spesies baru Raja Ampat ini, agar tidak punah sebelum kita sempat mengenalnya lebih dalam.
“Upaya konservasi harus dilakukan bersama agar keindahan anggrek-anggrek ini tidak hilang dari belantara Papua,” pungkasnya.
Referensi:
Saputra R, Metusala D, Schuiteman A, Eliazar Y, Field A, Nargar K, Crayn DM (2025) Two new orchid species from the Raja Ampat Archipelago, Southwest Papua Province, Indonesia. Telopea 29: 197–205. https://kew.iro.bl.uk/concern/articles/b794ffbc-f088-4e14-9eb5-149547e1d3ef
*****