- Fenomena kemarau basah tahun ini di luar prediksi para petani di Yogyakarta. Akibatnya, mereka merugi karena tanaman yang gagal panen, atau proses hasil panen yang tidak sempurna.
- Untung Suharjo, Ketua Gapoktan Marem, mencatat, mencatat 32 hektar lahan gagal panen karena hujan deras awal September. Lahan yang gagal panen itu terdiri dari 12 hektar lahan bawang merah dan 20 hektar cabai. Kejadian itu jadi yang paling merana bagi petani di desanya.
- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY mencatat, sejak Agustus hingga Oktober curah hujan akan meningkat. Perkiraan di September mencapai 110-150 milimeter/bulan, pada bulan sebelumnya 51-150 milimeter, sedangkan Oktober nanti mencapai 200-300 milimeter. Normalnya, tiga bulan yang jadi transisi musim kemarau ke hujan itu hanya berkisar 0-50 milimeter/bulan.
- Sayangnya, tidak banyak petani di DIY yang mengikuti program asuransi pertanian. Padahal, lewat program asuransi, Kementerian Pertanian memberikan subsidi 80% dari premi yang harus petani bayar. Jika premi totalnya Rp180 ribu, maka subsidi yang petani terima Rp144 ribu.
Hitung-hitungan Sumarni, petani Kalurahan Giripeni, Kapanewon Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, meleset. Perempuan 65 tahun itu tidak menyangka kemarau tahun ini penuh hujan. Padahal, dia sudah menanam cabai dan bawang merah akhir Agustus lalu.
Namun, hujan deras mengguyur sepanjang awal September. Tiga hari berturut-turut lahan cabai dan bawang merahnya terendam banjir. Air yang menggenang setinggi lutut itu menyebabkan tanamannya mati membusuk.
Hari kedua saat hujan tak kunjung reda, dia bikin parit untuk mengalirkan air yang menggenang di lahannya menuju sungai kecil di dekatnya. Membuat beberapa tanaman terselamatkan.
“Tapi tetap saja saya rugi banyak, enggak sampai 20% bibit cabai dan bawang merah yang bisa diselamatkan,” katanya pada Mongabay, pertengahan September.
Sebenarnya, Sumarni sudah menerima pengumuman kemarau basah ini sejak akhir Juli. dia pun sempat bersyukur atas ramalan fenomena cuaca itu karena jadi tak perlu memasok air terlalu banyak untuk sawahnya.
“Tapi saya enggak nyangka kalau kemarau basah bakal hujan sederas ini.”
Yang dia bayangkan, kemarau basah berarti hujan akan turun sedikit di musim panas. Yang terjadi saat ini, katanya, lebih mirip seperti awal musim hujan.
Dia sudah bertani lebih 30 tahun. Dia bilang, baru kali ini menemui kemarau basah yang intensitas hujan setinggi ini.
“Dulu, kemarau basah itu enggak kayak gini, lihat aja sekarang sudah mendung lagi padahal kemarin sore juga hujan deras. Saya jadi bingung dan khawatir,” keluhnya.
Kekhawatirannya beralasan. Mestinya, Juli-Oktober, waktu budidaya cabai dan bawang merah hingga panen yang berdasarkan penanggalan warga Giripeni.
“Hasil panen cabai dan bawang ini buat modal tanaman padi November nanti, kalau gagal panen bisa batal tanam padi. Lalu kami makan apa?”
Intensitas hujan tinggi juga mengundang hama tanaman, terutama jamur dan kutu yang senang suhu lembap. Parasit ini sudah dia rasakan, cabai yang baru berbuah kini mulai membusuk, padahal belum waktunya panen.
Untuk menghalau hama itu, Sumarni harus merogoh kocek lebih dalam untuk beli pestisida.
“Belum tahu ini yang kena jamur mau diapakan, bingung juga kalau mau disemprot [pestisida] butuh modal lagi. Tapi kalau disemprot juga belum jaminan untuk panen maksimal karena hujan terus juga.”
Sejauh ini, dia sudah mengeluarkan uang sekitar Rp2 juta untuk tanam cabai dan bawang merah, itu pun hanya modal bibit dan pupuk seadanya. Jika berhasil panen, menurut perhitungannya, minimal Rp5 juta dari lahan seluas 200 persegi itu masuk ke kantong.
Cuaca membuat perhitungannya meleset. Saat ini, balik modal saja sudah cukup baginya.

Tidak sendirian
Sumarni tak sendirian, ratusan petani lain juga gagal panen cabai dan bawang merah karena kemarau basah. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Marem Kalurahan Giripeni mencatat 32 hektar lahan gagal panen karena hujan deras awal September.
Untung Suharjo, Ketua Gapoktan Marem, menjelaskan, lahan yang gagal panen itu terdiri dari 12 hektar lahan bawang merah dan 20 hektar cabai. Kejadian itu jadi yang paling merana bagi petani di desanya.
Sebelumnya, gagal panen hanya terjadi tak sampai 5 hektar. Itu pun karena hama janda pirang (Helicoverpa armigera) atau ulat yang memakan daun dan menyebabkan kecokelatan pirang.
Perubahan suhu jadi pemicu ulat itu menyerang cabai dan bawang merah, terutama saat temperatur tinggi tiba-tiba jadi lembap karena hujan. Selain ulat, ancaman hama lain adalah jamur dan kutu/gurem.
“Jamur dan gurem ini juga karena perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan suhu juga, akibatnya ongkos pertanian kami meningkat karena butuh pestisida atau obat organik lainnya untuk pengendalian,” katanya.
Anggota Gapoktan, lanjutnya, sudah memahami krisis iklim yang berdampak pada pertanian. Dari kekeringan, banjir, hingga meningkatnya serangan hama menurut mereka karena bagian krisis iklim.
Dampak krisis iklim yang paling petani rasakan adalah rusaknya sistem penanggalan pertanian. Untung, yang tiap tahun menyusun kalender pertanian, jadi tidak berani menetukan agenda pada tanggal yang lebih detail.
Padahal, sebelum 2015, kalender pertanian di Giripeni rinci mengatur jadwa cocok tanam seperti sebar benih padi pada minggu pertama November.
“Begitu juga waktu untuk membajak sawah itu detail, sekarang kami bikinnya agak longgar misalnya Juli itu mulai tanam cabai tapi tidak dijelaskan pada minggu keberapanya.”
Sistem penanggalan ini dulu akurat. Bahkan jadi acuan desa lain di Kulon Progo, terutama untuk mengantisipasi hama walang sangit agar tidak menyeberang wilayah.
Sekarang, jadi acuan warga sendiri pun sulit. “Kami harus membahas lagi sambil melihat kondisi yang tidak seperti dulu.”
Padahal, kalender pertanian ini bagian budaya di sana yang menggabungkan pranata mangsa atau sistem penanggalan menurut para petani. Rusaknya penanggalan, menurutnya, turut memudarkan budaya nenek moyang.
“Tapi tidak ada pilihan lain. Kalau kami paksakan, bisa gagal panen lebih besar lagi, seperti kemarin.”

Gagal panen, harga panen turun
Tidak hanya Kulon Progo, kabupaten lain di Jogja pun mengalami gagal panen karena kemarau basah. Di Gunungkidul, September mestinya jadwal panen dan mengeringkan singkong.
Singkong di sebagian besar wilayah di Kabupaten ini sudah panen. Tinggal menjemurnya agar bernilai tambah. Pasalnya, singkong kering memiliki harga lebih tinggi karena bisa jadi berbagai bahan pangan, seperti tiwul. Kalau gagal kering, harganya akan turun.
Ngatini, petani di Kalurahan Ngeposari, Kapanewon Semanu, gagal menjemur singkong hingga kering sempurna. Singkok hasil panennya hanya laku Rp1.500 per kilogram karena berjamur dan kehitaman.
“Padahal sudah hampir kering tapi malah kena hujan, jadilah harganya turun padahal jadi tumpuan kami buat modal tanam padi.”
Padahal, jika berhasil jemur hingga kering, harganya bisa mencapai Rp2.500 per kilogram. Dia pun sempat mencoba menunda jemur singkong hingga terik matahari muncul.
Nahas, tiga hari panas tidak muncul. Jamur yang dia simpan di dalam rumah malah berjamur karena lembap. Mau tidak mau, dia harus menjual singkong hasil panen itu dalam kondisi berjamur.
Sukinah, petani di Kalurahan Pringombo, Kapanewon Rongkok, alami kondisi serupa. Hasil panen singkong sampai 2,5 ton mestinya bisa hasilkan Rp5.000.000, tetapi hanya peroleh Rp3,5 juta.
Uang itu tak mencukupi untuk modal tanam padi pada musim hujan tahun ini. “Saya mulai cari utangan ini, mau bagaimana lagi kondisinya memaksa begitu,” katanya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta mencatat, sejak Agustus-Oktober curah hujan akan meningkat. Perkiraan di September mencapai 110-150 milimeter, pada bulan sebelumnya 51-150 milimeter, sedangkan Oktober nanti mencapai 200-300 milimeter.
Normalnya, tiga bulan yang jadi transisi musim kemarau ke hujan itu hanya berkisar 0-50 milimeter perbulan.
Reni Kraningtyas, Kepala BMKG Jogja menjelaskan, fenomena kemarau basah ini berkaitan dengan perubahan iklim.
“Sebabnya suhu permukaan air laut tergolong tinggi, sehingga membentuk awan hujan.”
Indian Ocean Dipole atau fenomena iklim oleh interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia yang ditandai perbedaan suhu permukaan laut, jelas Reni, masih negatif. Berarti, memengaruhi pola cuaca terutama curah hujan.
“Suhu air laut yang lebih tinggi dari biasanya ini tentu bagian dari perubahan iklim.”
Dia bilang, sudah mengoordinasikan kemarau basah ini pada Dinas Pertanian dan pihak terkait lain. Untuk hortikultura, katanya, kondisi ini memang menyebabkan kerugian.

Terjebak utang, asuransi petani tak ada lagi
Krisis iklim yang menyebabkan gagal panen bukan kali pertama terjadi Jogja. Februari lalu, padi yang siap panen bahkan sempat terendam banjir, seperti di Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Bantul yang melanda 200 hektar.
Sunarsih, petani di Poncosari harus berutang hingga Rp12 juta karena gagal panen itu. Tanpa utang itu dia tak dapat meneruskan usaha pertaniannya lagi.
“Untung dapat dari perkumpulan RT, semoga awal tahun depan lunas soalnya sudah saya cicil,” kata perempuan 55 tahun itu.
Dia bilang, gagal panen itu membuatnya rugi sekitar Rp14 juta. Dia pun sampai menjual sapi.
“Sekarang jadi petani memang bikin khawatir, enggak kayak dulu yang santai bisa diprediksi. Takut gagal panen sekarang.”
Untungnya, kacang yang dia tanam pertengahan tahun berhasil panen. Uang hasil 70 kilogram kacang itu dia pakai mencicil utang, sembari menyisihkan untuk modal tanam padi november nanti.
Sisi lain, dia tak pernah dengan program asuransi pertanian. Pengetahuan baru ini membuatnya kaget karena harusnya bisa mengklaim gagal panen yang dia alami jika ikut mekanisme ini.
Lewat program asuransi, Kementerian Pertanian memberikan subsidi 80% dari premi yang harus petani bayar. Jika premi total Rp180.000 , maka subsidi yang petani terima Rp144.000.
“Kalau bayar iurannya cuma Rp36.000 per hektar saya sanggup, selama ini enggak tahu ada seperti itu,” kata Sunarsih.
Implementasi asuransi pertanian terdapat di Jogja. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Yogyakarta mencatat, wilayahnya mendapat kuota 2.000 hektar sawah untuk masuk asuransi pada 2024. Kuota itu hanya terpenuhi 1.000 hektar, sayangnya pada program ini tak ada pada 2025.
Andi Nawa Candra, Kepala Bidang Tanaman Pangan DKP Yogyakarta menyebut, alasan utama Kementerian Pertanian tak melanjutkan asuransi pertanian karena kebijakan efisiensi anggaran.
“Kami yang di daerah merasa program ini sangat penting karena melindungi petani dari gagal panen, soalnya klaimnya juga lumayan sekitar Rp6 juta,” katanya.
Kulon Progo pernah mencairkan klaim asuransi pertanian karena gagal panen. Menurutnya, mekanisme ini sangat membantu, terutama untuk memastikan petani tetap bisa bertani dengan modal klaim itu.
“Kami juga sudah koordinasi untuk tahun depan seperti apa, tapi belum ada kejelasannya.”
Pentingnya program ini membuat DIY coba membuat program serupa dengan APBD. Tapi, Andi tidak bisa memastikan realisasinya.
Sementara, dia paham dampak signifikan dari krisis iklim bagi pertanian dan petani.
“Kami juga menyadari ancaman gagal panen meningkat tiap tahunnya sehingga memang perlu perlindungan seperti asuransi ini, termasuk supaya petani tidak terjebak hutang buat modal bertani.”

*****
Alih Fungsi Lahan Picu Sumut Alami Krisis Air dan Gagal Panen