- Dunia memperingati Global Elephant Day (GED) setiap tanggal 12 Agustus. ‘Gajah Harga Diri Sumatera’ jadi tema di Indonesia untuk mengingatkan semua orang potensi hilangnya simbol kehormatan Pulau Sumatera itu.
- Donny Gunaryadi, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), memperkirakan, opulasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tak lebih dari 1.000 ekor di alam liar. Sejak 2011, statusnya kritis dan belum ada tanda perbaikan. “Dalam rentang satu generasi gajah, yakni 50-75 tahun, sekitar 70% habitat potensialnya telah hilang, terutama akibat alih fungsi hutan,”
- Yuliantoni, Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) dalam sesi diskusi Majelis Gajah,memaparkan gajah sebagai barometer ekosistem, khususnya di kantong habitat Tesso Nilo. Tekanan tinggi akibat perambahan hutan dan konflik manusia hewan ini alami di sana.
- Kabar duka mewarnai GED 2025. Yuni, anak gajah sumatera yang sempat menjadi perhatian publik karena sendirian di kebun sawit Desa Gunung Mulya, Kecamatan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar, pada 10 Maret 2025, meregang nyawa.
Dunia memperingati Global Elephant Day (GED) setiap tanggal 12 Agustus. ‘Gajah Harga Diri Sumatera’ jadi tema di Indonesia untuk mengingatkan semua orang kerentananan hilangnya simbol kehormatan Pulau Sumatera itu karena berbagai ancaman. Saat ini, perkiraan populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) tak lebih 1.000 di alam liar. Sejak 2011, status kritis dan belum ada tanda perbaikan.
“Dalam rentang satu generasi gajah, 50-75 tahun, sekitar 70% habitat potensialnya telah hilang, terutama akibat alih fungsi hutan,” kata Donny Gunaryadi, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Selasa (12/8/25).
Kematian gajah, katanya, tak sekadar kehilangan satwa liwar juga sinyal penanda kegagalan kolektif dalam menjaga identitas ekologis dan martabat Sumatera.
Dia bilang, satwa tambun ini hadir sebagai penjaga keseimbangan ekosistem hutan tropis dan mewakili nilai budaya yang masyarakat hormati. Bila lenyap, maka ekosistem yang menaunginya pun akan ikut runtuh.
Donny mengapresiasi langkah positif pemerintah baru-baru ini, seperti upaya pengembalian 81.000 hektar hutan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, lanskap Bukit Tigapuluh di Jambi, dan kawasan lain untuk konservasi serta penyelamatan gajah Sumatera.
Kebijakan ini, katanya, bukan garis akhir. Melainkan titik awal perjalanan panjang melindungi gajah yang memerlukan pengawalan ketat.
“Tanpa komitmen jangka panjang dan kerja kolektif, harga diri Sumatera bisa hilang bersama lenyapnya gajah dari hutan-hutan terakhirnya,” katanya.

Majelis Gajah
FKGI memanfaatkan Hari Gajah sebagai ruang netral yang mempertemukan pemerintah, sektor usaha, akademisi, masyarakat sipil, serta warga, untuk bersatu melindungi gajah. Tahun ini, mereka bersama Nonblok Ekosistem, Sikukeluang, Heal Indonesia, Akar Ilalang, Arasati Hakiki, dan Semacam Lab menggelar Majelis Gajah di Kota Pekanbaru.
Pertemuan ini jadi ruang dialog lintas sektor untuk berbagi gagasan, pengalaman, dan harapan mengenai masa depan gajah Sumatera. Praktisi konservasi gajah, seniman, institusi pemegang regulasi, penegak hukum, mahasiswa dan masyarakat umum menghadiri acara ini.
Pemutaran film dokumenter “Pulang” produksi FKGI, menceritakan potret konflik gajah-manusia di Taman Nasional Way Kambas, Lampung jadi pembuka acara.
Film juga mengisahkan gajah-gajah yang kehilangan rumah dan tak tahu ke mana arah pulang. Mengajak penonton menyelami fakta alih fungsi hutan memaksa hewan pintar ini keluar dari jalur jelajahnya.
Setelah itu, pembacaan puisi oleh Riang Gembira, bocah berusia enam tahun, menceritakan kisah anak gajah bernama Togar yang kakinya terluka parah akibat jerat manusia.
Induk dan keluarganya yang ketakutan mendengar suara dan keramaian manusia meninggalkan Togar. Hingga akhirnya Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Siak, menyelamatkan dan merawatnya.
Yuliantoni, Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) dalam sesi diskusi memaparkan gajah sebagai barometer ekosistem di kantong habitat Tesso Nilo. Tekanan tinggi karena perambahan hutan dan konflik manusia membuat gajah makin terdesak.
AKBP Nasruddin dari Polda Riau, menyebut, ada 48 kasus pembukaan lahan di kawasan hutan di Riau 2025. Praktik ini, katanya, jelas mengancam habitat gajah Sumatera.
“Diperlukan sinergi antara kepolisian, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan agar gajah dan manusia dapat hidup berdampingan.”
Ujang Holisudin dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, menambahkan, pentingnya membangun narasi positif kepada publik bahwa gajah bukanlah hama.
“Kerja konservasi itu tidak mudah dan punya tantangannya sendiri. Kami pernah dihadang masyarakat saat hendak mengembalikan gajah ke habitatnya. Padahal itu memang rumahnya, dan bukan hama bagi kebun,” katanya.

Kematian anak gajah
Kabar duka mewarnai GED 2025. Yuni, anak gajah Sumatera yang sempat menjadi perhatian publik pada Maret lalu karena sendirian di kebun sawit Desa Gunung Mulya, Kecamatan Gunung Sahilan, Kampar, meregang nyawa.
Tim Wildlife Rescue Unit (WRU) sempat mencoba mengembalikan Yuni ke kelompoknya di alam, namun gagal. Mereka kemudian membawanya ke PLG Minas untuk perawatan dan nutrisi.
Selama tiga hari, Yuni menolak susu formula, dan upaya mempertemukannya dengan induk gajah di lokasi juga gagal. Mereka kemudian memindahkan ke PLG Sebanga, Bengkalis, di sana induk gajah bernama Puja baru melahirkan. Puja menolak Yuni.
Supartono, Kepala BBKSDA Riau, menyebut, tim medis memberikan buah sebagai nutrisi sambil memantau perilaku Yuni yang tampak hiperaktif. Pada 8 April, kondisinya menurun, nafsu makan hilang, tubuh melemah. Padahal sudah ada pemberian air gula, elektrolit, infus, dan perawatan lebih dari sebulan.
“Yuni tak mampu melawan kombinasi penyakit dan stres akibat terpisah dari induk dan kelompoknya. Ia meninggal pada 11 April 2025.”
Hasil nekropsi menunjukkan dugaan peradangan pada lambung dan usus. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi kemungkinan serangan Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV), juga mereka lakukan, namun hasilnya negatif.
Uji histopatologi di Institut Pertanian Bogor mengungkap tiga faktor kematian: pneumonia dengan pendarahan di paru-paru, gastroenteritis yang memicu dehidrasi dan hypovolemic shock, serta stres berat akibat terpisah dari induk dan kelompoknya yang melemahkan daya tahan tubuh.
Pengumuman kematian Yuni terjadi empat bulan kemudian. Untuk memastikan hasil dua kali uji laboratorium dan pemeriksaan histopatologi akurat. Supartono juga menyebut, akan memperkuat pencegahan kematian anak gajah melalui pemeriksaan kesehatan rutin, pemberian nutrisi tepat, dan perawatan intensif di pusat konservasi.
Zulhusni Syukri, Koordinator Wilayah Riau FKGI, menanggapi kematian gajah Yuni. Menurut dia, ada berbagai faktor yang membuat gajah anak gajah terpisah dari kelompoknya. Salah satunya, kematian induk baik karena konflik dengan manusia, seperti kena racun, jerat, atau terbunuh, maupun sakit atau kondisi fisik yang lemah.
“Anak gajah juga dapat tersesat akibat fragmentasi habitat, misal, jalur jelajah yang terpotong perkebunan, permukiman, atau infrastruktur, sehingga tercecer ketika kawanan berlari menghindari gangguan,” katanya 14 Agustus lalu.
Konflik antara gajah dan manusia juga kerap membuat kawanan gajah tercerai-berai. Mereka terhalau dari wilayah yang manusia anggap mengganggu aktivitas, membuat gajah-gajah kecil tidak mampu mengikuti kawanan.
Faktor lain bisa berasal dari kondisi anak gajah yang terlalu lemah atau sakit hingga tertinggal dari rombongan. Misal, gajah Togar terpisah dari kelompok karena kakinya kena jerat, serta gajah Dita, terisolasi akibat kena usir.
“Gajah yang cedera atau lemah sulit mengikuti kelompok, dan jika induknya mati, peluang anak gajah bertahan hidup di alam liar sangat kecil.”

*****