- Hutan Adat Kwau di Papua Barat menjadi magnet global bagi pengamat burung, dengan kehadiran spesies langka seperti Parotia sefilata, Vogelkop Bowerbird, dan Arfak Astrapia. Lebih dari seratus spesies burung endemik menjadikan kawasan ini sebagai salah satu spot birdwatching terlengkap di Papua.
- Hans Mandacan, warga asli Kampung Kwau, Papua Barat, dulunya seorang pemburu burung cenderawasih. Namun sejak bergabung dalam program konservasi, ia berubah haluan menjadi penjaga Hutan Adat dan pelopor ekowisata yang berkelanjutan di Pegunungan Arfak.
- Pengelolaan ekowisata diatur oleh Badan Usaha Milik Kampung (BUMKAM) Kwau dan melibatkan warga secara bergilir, hasil dari pengamatan burung dibagi untuk gereja, pendidikan, lansia, dan kebutuhan kampung.
- Hans dan warga terus berjuang untuk pengakuan resmi hutan adat dan berharap dukungan untuk peningkatan kapasitas dan promosi ekowisata
“Raakk… raak… raakk !”
Kicau burung cendrawasih parotia (Parotia sefilata) menyambut perjalanan di hutan adat Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Suaranya bersahutan dan menggema di balik dedaunan pohon tinggi. Hutan ini menyimpan berbagai keanekaragaman hayati mulai dari jenis burung eksotis, tumbuhan hingga jenis kupu-kupu endemik Papua.
“Nah itu jantan muda lagi cari makan,” ujar Hans Mandacan (46) sembari melihat ke arah suara burung cendrawasih parotia. Hans menjadi tokoh utama dibalik lahirnya ekowisata di Kwau. Sebagai pemandu lokal, dia mengenal tiap suara burung, nama-nama jenisnya, serta berbagai satwa yang ada di hutan ini.
Hutan adat Kwau terletak pada ketinggian 1.250 mdpl, bagian dari Pegunungan Arfak yang membentang di Provinsi Papua Barat. Sejak 2019, warga Kampung Kwau mulai mengelola hutan ini secara mandiri melalui ekowisata. Hans mengelola ekowisata bersama warga Kampung serta menjaga hutan adat Kampung Kwau.
“Hutan itu adalah mesin pencetak uang bagi masyarakat. Maka perlu kita lestarikan,” cerita ayah dari tiga orang anak ini. Dua anaknya telah menikah, dan yang paling kecil baru saja lulus dari Universitas Udayana Bali, jurusan pariwisata.
Daya tarik utama ekowisata ini adalah pengamatan burung. Ini menjadi magnet kuat bagi wisatawan mancanegara mulai dari Amerika, Eropa hingga Asia untuk menikmati hutan pegunungan yang senantiasa berkabut dan beralaskan lumut di balik lebatnya pepohonan.
Pasalnya, hutan adat Kwau menjadi habitat jenis-jenis burung cenderawasih langka, seperti dari cendrawasih parotia (Parotia sefilata), Magnificent Bird of Paradise atau cendrawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), Black Sicklebill atau paruh sabit kurikuri (Epimachus fastuosus), burung Vogelkop Bowerbird atau namdur polos (Amblyornis inornatus) yang sering disebut burung pintar.
Berikut wawancara Mongabay Indonesia bersama Hans Mandacan, menggali cerita kisah perjalanan mulai dari pemburu yang berubah menjadi pelindung, serta mimpi-mimpi besar yang tumbuh bersama rimbunnya Pegunungan Arfak.

Mongabay Indonesia: Bisa dijelaskan latar belakang Anda?
Hans Mandacan: Saya asli orang Kampung Kwau, lahir dan besar di sini, saya dari suku Arfak. Dulu saya biasa biasa berburu di hutan, berburu burung-burung, bikin jerat babi, dan rusa. Saya sekolah sampai tingkat SD, saya hanya sampai kelas 2 SMP, tapi tidak tamat.
Karena saya pemburu burung, jadi saya tahu di mana lokasi yang ada burung-burungnya, perlu dua sampai tiga kali untuk mengetahui lokasi itu adalah tempat main burung, juga tempat cari makan burung-burung itu.
Saya dulu cari burung tidak untuk dijual, tapi untuk di makan. Bulu-bulu burung itu lalu saya buat jadi hiasan untuk ikat kepala.
Mongabay Indonesia: Sejak kapan kesadaran untuk menjaga burung dan alam itu muncul?
Hans Mandacan: Di tahun 2009 saya diajak terlibat dalam sebuah program oleh Yayasan Paradisea untuk program konservasi hutan, Itu sampai tahun 2012. Sebelumnya dulu pernah ada, program WWF di kampung kami, itu dulu zaman orang-orang tua kita. Setelah WWF tidak lagi bekerja dilanjutkan oleh Yayasan Paradisea itu.
Di situ saya lalu berpikir, daripada burung-burung ini kita buru, kita makan dan akhirnya punah, dan cuma saya dan keluarga saya yang makan, –sedang keluarga lain tidak, saya pikir dengan mengembangkan ekowisata, maka satu burung saja bisa hasilkan ratusan juta rupiah untuk seluruh orang kampung.
Saat itu, tamu kegiatan ekowisata mulai ada satu-satu, tapi di Kwau masih belum ada fasilitas homestay. Sampai akhirnya kami ajukan proposal ke Pemda untuk bikin homestay dan disetujui.
Homestay yang sekarang tempat kita berada ini didukung oleh Pemda, berdiri tahun 2012, maka berdasarkan kesepakatan kampung, seluruh hasil pemasukkan dari homestay ini diberikan untuk warga kampung Kwau.

Mongabay: Bagaimana pengaturan agar ekowisata ini dapat dinikmati oleh setiap orang di kampung Kwau ini?
Hans Mandacan: Saya saat ini menjadi Ketua BUMKAM (Badan Usaha Milik Kampung) Kwau, jadi kita perlu atur agar semua orang bisa dapat manfaat dari ekowisata.
Jadi misalnya sudah ada grup turis yang booking dari Januari sampai Desember, saya atur agar ada orang-orang yang terlibat pada grup pertama dan selanjutnya. Satu grup sudah check out, grup lain masuk lagi, saya ambil beberapa lagi orang di kampung.
Tiga empat orang disiapkan untuk grup pertama, lalu untuk grup kedua saya ganti dengan yang orang lain, ada jadwal demikian terus sehingga semua orang kebagian. Itu semua di catat, dana yang masuk dari turis saya berikan kepada bendahara.
Di luar itu, ada retribusi dari turis. Seluruh dana hasil itu ditabung, Dari hasil pendapatan itu, di akhir tahun dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembagiannya: 10% untuk gereja, 20% untuk pendidikan anak sekolah, 40% untuk lansia yang sudah tidak bisa bekerja lagi, sisanya untuk kebutuhan kampung yang lain.
Sedangkan untuk orang yang bekerja ada gaji harian, seperti yang kerja sebagai porter, yang perempuan yang masak, ada yang jual kayu bakar untuk turis, ada yang sediakan hasil pertanian untuk konsumsi, dan sebagainya. Termasuk saya, saya pun dibayar secara harian.
Akhirnya dengan cara ini, kami mulai bergandeng tangan untuk jaga kawasan kami ini. Sekarang, –dari total sekitar 200 orang yang di Kampung Kwau, tidak ada lagi yang berburu burung.
Mongabay: Berapa luas wilayah dan hutan yang ada di Kwau ini? Bagaimana pengaturannya?
Hans Mandacan: Kalau secara pastinya belum diukur, tapi kira-kira sekitar 5.000 hektar kalau dari ujung ke ujung. Secara adat, dibagi jadi 4 zona yang kita sebut Igya ser Hanjop artinya berdiri menjaga batas, terdiri dari zona Susti, Nimahanti, Bahamti dan Tumti.
Susti itu tempat warga bikin kebun, Nimahanti itu tempat dulu orang-orang tua bikin kebun, sekarang disepakati untuk tidak lagi dibuka. Bahamti merupakan zona larangan atau wilayah keramat, sedang Tumti adalah area yang sekarang kita pakai untuk pariwisata. Di tiap zona jenis burung-burungnya beda.

Mongabay: Apa yang dicari oleh turis di Kwau ini, apa keunikan alam dari tempat ini?
Hans Mandacan: Biasanya ada beberapa jenis turis. Ada turis bird watching, turis pengamat kupu-kupu, dan turis budaya. Mereka itu karakteristiknya beda-beda, yang lihat burung fokus hanya ke burung saja, atau yang kupu-kupu hanya lihat kupu-kupu saja.
Untuk turis budaya, kami siapkan traditional cooking, lihat rumah tradisional, kita ajak putar-putar lihat kampung dan kehidupan masyarakat.
Secara jumlah, turis yang mengamati burung ini yang paling banyak. Ada yang booking satu minggu sampai satu bulan full tinggal di sini juga. Rata-rata turis tinggal 7-8 hari di sini. Kalau yang sebulan itu mereka yang sedang lakukan penelitian.
Mongabay Indonesia: Burung-burung seperti apa yang unik dan banyak ingin dilihat oleh para turis?
Hans Mandacan: Di pegunungan Arfak punya burung-burung yang unik, yang berbeda dengan wilayah lain di Papua. Arfak ini punya keunikan cenderawasih lebih banyak daripada kawasan lain, seperti di Jayapura, Malagufuk (Kabupaten Sorong), dan tempat lain. Seperti cenderawasih misalnya jenis Western Parotia (Parotia sefilata), itu cenderawasih yang menari di atas tanah. Jenis itu hanya ada di Pegunungan Arfak.
Lalu ada jenis Vogelkop Bowerbird (Amblyornis inornatus), yang jadi khas di Arfak, yang disebut sebagai burung pintar. Ini beda dengan yang ada di Papua New Guinea. Ada perbedaan sehingga [para peneliti] beri nama berbeda untuk burung yang di Arfak.
Lalu ada Buff-Tailed Sicklebill (Epimachus albertisi) cenderawasih yang menari di atas kayu, ada Magnificent Bird of Paradise (Cicinnurus magnificus) yang menari di atas ranting kayu, ada Black Sicklebill (Epimachus fastosus) yang menari di batang kayu yang patah. Ada Long-Tailed Paradigalia (Paradigalla carunculata), ada Arfak Astrapia (Astraphia nigra) yang punya warna khas.
Total ada lebih 100 jenis-jenis burung di Kwau. Turis pengamat burung biasanya bisa tinggal berminggu-minggu untuk mengamati burung-burung ini. Mereka punya semacam aplikasi khusus, ambil foto dan ambil suara dari burung-burung ini.

Mongabay: Darimana saja turis-turis ini datang?
Hans Mandacan: Mereka umumnya dari mancanegara. Tiongkok yang paling banyak, lalu ada dari negara-negara Eropa, seperti Belgia, Belanda, Inggris, lalu ada dari Amerika, Asia ada yang dari India, Jepang, lalu dari Timur Tengah seperti dari Israel, Libanon, bahkan dari Palestina. Kalau dari Indonesia agak kurang.
Turis-turis ini ada yang datang langsung, ada pula yang datang didampingi tour leader-nya.
Ada juga turis yang datang dari kapal pesiar, mereka one day trip. Kapalnya berlabuh di Manokwari lalu ke sini. Seperti tahun lalu, turis kapal pesiar masuk tiga kali. Kita tinggal atur transportasinya. Dalam setahun, sekitar 350 turis yang berkunjung ke Kwau ini. Semua kami catat di buku tamu.

Mongabay: Waktu era pandemi COVID yang lalu bagaimana kondisi ekowisata di Kwau?
Hans Mandacan: Oh waktu di zaman COVID sama sekali tidak ada turis yang datang, kami orang di kampung balik kerja kebun semua. Pertanian tidak kami tinggal, karena kami tergantung kepada hasil kebun.
Pernah ada grup turis telah booking di tahun 2021, ternyata COVID. Ada yang sudah kirim uang untuk Down Payment (DP). Kami simpan saja dulu uang DP-nya di bank, baru di tahun 2023 akhirnya mereka bisa datang ke sini. Uang DP tidak kami pakai.
Bagi kami uang itu harus disimpan, kepercayan [dari turis] itu yang paling penting. Kalau kepercayaan itu hilang, hilang sudah segalanya.
Mongabay: Dari mana turis tahu lokasi ini? Bagaimana cara mempromosikan ekowisata ini?
Hans Mandacan: Awalnya dikenalkan dengan Charles Roring, seorang birdwatcher dan tour operator asal Manado yang kerja di Manokwari. Dia orang baik. Beliau tadi yang ajak datang penulis buku Lonely Planet, mereka datang melihat spot yang ada di sini.
Dia bilang ‘tunggu saja dua tiga tahun’, saya pikir bohong, ternyata benar, setelah 2 tahun ada turis-turis mancanegara yang datang ke sini.
Sekarang kami juga ada di sosial media seperti facebook, juga bisa dihubungi lewat Whatsapp. Selain itu ada juga yang lewat tour leader yang bekerjasama dengan kami.

Mongabay: Apa yang sekarang jadi ancaman bagi kelestarian hutan ataupun jenis-jenis burung di Kwau ini?
Hans Mandacan: Kalau untuk burung-burung endemik di sini, ancamannya ada dua, pertama dari elang dan kedua dari kucing rumahan yang lepas dan beranak di hutan. Kucing-kucing itu memangsa burung.
Saya pernah lihat sendiri, dulu pernah ketika saya sedang bawa turis, burung itu belum menari, masih bersih-bersih tempat mainnya, tiba-tiba ada kucing, dia loncat mau mangsa burung, syukurnya burungnya bisa terbang kembali.
Kalau elang, -saya diberi tahu oleh tamu saya, itu bagian dari ekosistem di sini jadi tidak masalah. Kalau kucing bukan endemik di hutan ini.
Kalau untuk hutan, kami menolak kalau ada rencana investasi yang mau mengubah hutan yang ada di sini. Kalau investasi masuk, bentang hutan berubah. Tidak ada lagi hutan primer dan pohon-pohon besar seperti ini lagi.
Sudah lebih 10 tahun, kami berjuang untuk menjadikan hutan kami ini sebagai Hutan Adat yang diakui oleh pemerintah, tetapi ini belum terjadi, masih panjang perjalanan di Kementerian Kehutanan.

Mongabay: Apa yang perlu dikembangkan di dalam ekowisata di Kwau ini?
Hans Mandacan: Dari sisi sumber daya manusia (SDM) adalah kemampuan dalam berbahasa asing, yang sekarang biasanya dibantu tour leader-nya. Di luar itu, karena keterbatasan SDM kami belum buka lagi titik-titik pengamatan burung. Sisi SDM harus diperbaiki, termasuk tadi cara berbicara dan berbahasa asing dengan baik kepada turis.
Kami di sini juga kurang memberi informasi. Harusnya ada website untuk menceritakan semua kekayaan dan potensi yang ada di sini. Pasti banyak orang yang ingin tahu hal-hal yang seperti ini.
Mongabay: Apa yang menjadi moto atau filosofi Anda dalam melindungi hutan di Kwau?
Hans Mandacan: Hutan itu adalah mesin pencetak uang bagi masyarakat. Maka perlu kita lestarikan. Hutan harus dijaga untuk anak cucu ke depan, tidak boleh ada investasi masuk untuk bikin pembangunan atau logging kayu. Kami sudah lihat beberapa hutan yang telah dibuka. Setelah dibuka, pohon yang tumbuh beda, bukan lagi hutan primer seperti yang ada di sini.
Dulu orang tua menjaga hutan seperti dengan pengelolaan empat zona ini. Mereka hanya ambil rotan, buah, kayu dan kulit pohon untuk rumah tradisional, dan berburu. Sekarang ada ekowisata yang baik untuk masyarakat. Itu perlu kita jaga.
Artikel ini adalah kerjasama Mongabay Indonesia dengan Rekam Nusantara Foundation
*****
Saat Hati Terpukau Cenderawasih, Sang Burung Surga dari Arfak [dengan: Video]