Masyarakat Desa Tubo dan Salutambung, aksi memblokade Jalan Poros Mamuju-Majene di Kecamatan Tubo Sendana, 18 Mei lalu. Aksi ini merupakan protes pemberian izin usaha pertambangan (IUP) untuk pasir oleh pemerintah daerah kepada PT Baqba Lembang Tuho (BLT).
Demonstrasi karena izin pertambangan pasir dan batu bukan kali pertama terjadi di Sulawesi Barat, mereka sudah mulai sejak akhir 2024. Terutama masyarakat pesisir terdampak langsung aktivitas tambang seperti di Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah; Desa Sarassa, Kabupaten Pasangkayu, dan Desa Kalukku Barat serta Beru-Beru di Mamuju.
Eskalasi protes warga juga menimbulkan gesekan vertikal dengan aparat kepolisian. Respon represif dan kriminalisasi warga alami karena protes ini.
Hingga 18 Maret 2025 ada 21 warga kena laporkan dan polisi amankan karena penolakan izin tambang dan pasir di daerah mereka.
Sekitar 18 dari 21 warga berasal dari Mamuju Tengah, mereka kena tudingan pengancaman dan perusakan. Tiga warga lain dari Desa Kalukku Barat, dilaporkan setelah penyegelan alat berat perusahaan.
Kemudian, dengan kena tudingan sama, melakukan pengancaman dan perusakan, pada 27 Mei 2025 lima warga dari Desa Beru-Beru dan Kalukku Barat kena panggil Polres Mamuju untuk jadi saksi. Pemanggilan bermula dari laporan satu perusahaan pemegang IUP tambang yang warga protes.

Tata kelola izin buruk
Rangkaian peristiwa itu merupakan sinyalemen aktivitas pertambangan pasir dan batu menjadi satu sektor problematik di Sulawesi Barat. Bicara kontribusi, sektor ini sangat kecil terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Laporan Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat menunjukkan, kontribusi pertambangan dan penggalian terhadap laju pertumbuhan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dan sumber pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat pada triwulan I 2025 sekitar 9,91%.
Kemudian, struktur PDRB Sulawesi Barat dari sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan I 2025 hanya 1,80%, kalah jauh dengan kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencapai 47,32%.
Belum lagi, pengelolaan perizinan pertambangan di Sulawesi Barat secara serampangan. Sejak semula, penerbitan IUP dan surat izin penambangan batuan (SIPB) di Sulawesi Barat menunjukkan rendahnya kepatuhan pemerintah daerah dengan regulasi pertambangan yang berlaku.
Harusnya, seturut Undang-undang No. 4 Tahun 2009 jo. UU No. 3/2020 jo. UU No. 2/2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP hanya boleh terbit dalam Wilayah Usaha Pertambangan yang telah pemerintah pusat tetapkan melalui keputusan menteri.
Selanjutnya, wilayah pertambangan itu diatur melalui peraturan daerah. Dalam konteks Sulawesi Barat, Peraturan Daerah Sulawesi Barat No.1/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Barat 2014-2034 telah menentukan wilayah yang dapat diberikan IUP.
Pasal 29 ayat (1) dan Lampiran XV peraturan itu menetapkan hanya Kecamatan Mamasa saja yang menjadi kawasan peruntukan pertambangan pasir.
Dari 139 izin pasir dan batu yang Pemerintah Sulawesi Barat terbitkan sampai Februari 2025, ada tiga di Mamasa. Bahkan, Walhi Sulawesi Barat pada 2024 menemukan beberapa IUP terbit di kawasan hutan tanpa ada persetujuan dari kementerian yang berwenang di bidang kehutanan.
Begitu pula, beberapa IUP terbit di zona perairan dan pantai tanpa persetujuan dari kementerian atau lembaga yang berwenang, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dengan begitu, sekitar 97% izin pasir dan batuan di Sulawesi Barat terbit di zona yang tidak seharusnya, terutama di luar Mamasa.
Penerbitan IUP pasir di luar Kecamatan Mamasa secara hukum merupakan perbuatan tanpa kewenangan (onbevoegdheid) dari pemerintah daerah. Bahkan, tindakan ini masuk perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi.

Rampas ruang hidup dan ekosistem
Kalau lihat lebih jauh, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tidak sebanding dengan dampak eksternalitas yang destruktif terhadap ekosistem pantai dan ruang hidup masyarakat lokal. Padahal, rata-rata warga terdampak oleh 139 izin pasir dan batu bekerja sebagai petani dan nelayan, sektor unggulan dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian daerah Sulawesi Barat.
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Barat tahun 2024 melaporkan, Mamuju merupakan produsen ikan terbesar kedua, sebanyak 56.473 ton setelah Kabupaten Polewali Mandar 76.620 ton. Angka produksi tangkap ikan di Mamuju menurun sejak 2022.
Mamuju pernah jadi produsen ikan terbesar di Sulawesi Barat dengan produksi tertinggi 82.806 ton pada 2021. Salah satu faktor penyebab angka produksi tangkap ikan turun di kabupaten ini karena aktivitas pertambangan di muara sungai dan pantai yang menjadi akses nelayan.
Di Mamuju ada 20 badan usaha, baik perseroan terbatas maupun persekutuan komanditer, yang mengelola sumber daya pasir dan batu dengan luas 201,51 hektar. Meskipun Perda RTRW tidak jadikan kawasan itu sebagai wilayah pertambangan pasir dan batu.
Dari 20 badan usaha, tujuh mengantongi IUP eksplorasi, tujuh memiliki izin operasi produksi, dan enam beroperasi dengan surat izin penambangan batuan (SIPB).
Di Kecamatan Karossa, Mamuju Tengah, ada PT. Alam Sumber Rezeki mengantongi IUP operasi produksi tambang pasir dan batu dengan luas konsesi hampir 70 hektar.Izin tumpang tindih dengan kawasan hutan bakau Dinas Kehutanan.
Di dalam konsesi juga ada tanah warga dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat hak milik maupun surat keterangan tanah (sporadik).
Seharusnya, sesuai ketentuan Pasal 135 dan Pasal 136 Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan tambang dilarang menambang sepanjang persoalan hak atas tanah belum selesai dengan pemiliknya, baik pemilik de jure ataupun de facto.
IUP seturut Pasal 134 dan Pasal 138 UU Minerba bukan bukti kepemilikan hak atas bidang tanah.
Tidak hanya nelayan yang terganggu ruang hidupnya, aktivitas tambang pasir di pesisir Sulawesi Barat juga merusak ekosistem pantai.
Menurut Dokumen Rencana Strategis 2023-2026 Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Barat, provinsi ini mempunyai garis pantai sepanjang 617 kilometer.
Di sepanjang garis pantai itu terdapat hutan mangrove seluas 3.324 hektar. Pertambangan pesisir pantai yang masif ini akan merusak ekosistem penting itu.

Bagaimana jaminan perlindungan warga?
Penerbitan izin pertambangan oleh pemerintah daerah secara serampangan dan kerakusan aktivitas tambang pasir terhadap sumber daya lahan warga serta keberlanjutan lingkungan hidup, pada satu sisi, memicu bentrok antara warga dengan pekerja perusahaan.
Sisi lain, warga cemas dengan agenda advokasi mereka, khawatir terus alami kriminalisasi ketika menyuarakan protes atas kehadiran pertambangan itu.
Pasal 162 UU Minerba mengatur larangan dan ancaman pidana bagi setiap orang yang merintangi aktivitas pertambangan oleh perusahaan berizin.
Namun, Pasal 162 hanya berlaku oleh aparat penegak hukum sepanjang Pasal 136 selesai perusahaan lakukan. Berarti, norma ini tidak berlaku ketika perusahaan menambang di lahan yang masih bersengketa dengan klaim kepemilikan warga, meskipun IUP sudah terbit.
Selain itu, Pasal 66 Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup melarang kriminalisasi terhadap warga dan aktivis yang memperjuangkan keberlanjutan ruang hidup mereka.
Ketentuan itu makin kuat dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.10/2024 mengenai perlindungan hukum terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kemudian, mayoritas izin pertambangan pasir dan batu yang terbit di Sulawesi Barat masih problematik secara hukum, ia legal tetapi tidak legitimate. Sebab itu, alih-alih sibuk menangkap warga dan aktivis, justru penerbitan izin pertambangan di wilayah yang tidak seharusnya itulah yang penting aparat penegak hukum tindak.
Pemerintah pusat juga perlu evaluasi menyeluruh izin-izin yang pemerintah daerah terbitkan, mendorong mereka mencabut atau membatalkan izin-izin yang terbit dengan cara melanggar hukum.
*****
*Penulis adalah Mhd Zakiul Fikri dan Muhammad Ihsan Tahir. Mhd Zakiul Fikri, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Direktur Hukum CELIOS. Muhammad Ihsan Tahir adalah Advokat di Kantor Hukum Rudi Hermanto & Partners Law Firm (RHP) dan pegiat Sulbar Connection Forum. Tulisan ini adalah opini para penulis.
Opini: Yang Untung dan Buntung dari Tambang Pasir Sulawesi Barat