Pada Maret-Mei 2025, gelombang penolakan tambang pasir menyeruak dari warga pesisir Karossa, Silaja, Kalukku di Kabupaten Mamuju dan Tubo, Salutambung di Majene. Masyarakat pesisir tegas menolak tambang pasir yang akan menghancurkan ruang hidup mereka.
Penolakan warga bukan dapat respon pemerintah dengan pencabutan dan penghentian izin tambang. Masyarakat yang hidup tergantung pesisir justru kena laporkan ke Polda Sulawesi Barat.
Pada 7 Maret 2025, 21 warga Karossa, Silaja dan Kalukku yang mempertahankan dan berjuang untuk lingkungan dan kehidupan kena tuduh melakukan tindak pidana, perusakan dan pengancaman. Tudingan yang lazim aparat keluarkan saat warga mempertahankan ruang hidup yang akan terenggut korporasi.
Belum berhenti pada 21 warga, usai gelombang aksi Mei 2025 di depan Kantor Gubernur Sulawesi Barat, lima warga Kalukku kembali dipanggil ke Polresta Mamuju dengan tuduhan sama.
Tindakan ini terang sebagai upaya kriminalisasi warga penolak rencana operasi tambang.
Ektraktivisme pemerintah gunakan sebagai paradigma pembangunanan dan memilih untuk mengorbankan kehidupan masyarakat pesisir dan lingkungannya sendiri.

Konflik kepentingan
Suhardi Duka, Gubernur Sulawesi Barat, ditengarai terlibat dalam konflik kepentingan dengan tambang di Mandar Sulbar. Jaringan Advokasi Tambang merilis temuan ikhwal keterlibatan Suhardi melalui putra bungsunya Muhammad Zulfikar Suhardi, yang memiliki saham 20% di perusahaan tambang CV Surya Stone Derajat dengan mengkapling area tambang 15 hektar di Sampaga, Mamuju.
Zulfikar, menjadi anggota DPR Fraksi partai Demokrat menggantikan ayahnya Suhardi yang terpilih jadi Gubernur Sulbar pada 2024.
Berdasarkan metode Social Network Analysis (SNA), data terbuka milik pemerintah seperti dokumen administrasi hukum umum (AHU) dan data tim pemenangan pada pilkada Sulbar 2024 juga ditemukan keterkaitan Suhardi dengan tim pemenangan dan simpatisannya di korporasi tambang yang sarat konflik kepentingan. Antara lain, PT Jaya Pasir Andalan (JPA) di Kalukku dan Beru-Beru, Mamuju dan PT Baqba Lembang Tuho (BLT) di Tubo-Salutambung, Majene.
Terdapat beberapa nama yang diduga terhubung dengan Suhardi baik langsung maupun tidak, seperti Basit, Chairul Amri, Hairil Amri, Hajrul Malik, Samsuddin Kono dan Taslim. basit, Mereka inilah yang ditengarai mewakili kepentingan Suhardi, menjadi penjaga klan saat dia berkuasa. Chairul dan Hairil adalah saudara kandung.
Saat ini, Basit menjabat sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Mamuju. Dia orang kepercayaan Suhardi sejak masih sebagai Bupati Mamuju. Menurut pemberitaan di berbagai media lokal, Basit ini salah satu direksi PT Jaya Pasir Andalan. Basit juga wakil komisaris utama dengan kepemilikan saham 50% pada PT Baqba Lembang Tuho.
Sementara nama Samsuddin Kono seperti yang dilansir di salah satu media lokal di Sulbar, merupakan salah satu direksi PT JPA sekaligus sebagai komisaris utama dengan kepemilikan saham 50% pada BLT.
Nama lain yang terhubung dengan Suhardi ialah Chairul Amri dan Hairil Amri, kakak-beradik. Mereka berdua merupakan tim pemenangan Suhardi pada pemilihan gubernur 2024. Chairul tercatat sebagai direktur BLT. Adiknya Hairil Amri menjabat di salah satu direksi di JPA. Nama lain yang juga terdapat dalam dokumen AHU BLT ialah Taslim.
Tidak hanya pada sektor tambang, kepentingan Suhardi juga dapat ditelusuri pada sektor perkebunan sawit melalui Hajrul Malik, tim pemenangannya pada Pilgub lalu. Saat ini, dia menjabat sebagai Tenaga Ahli Gubernur Bidang Kerja Sama Antar Lembaga Provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan dokumen AHU perusahaan, Hajrul Malik saat ini juga menjabat sebagai komisaris pada PT Manakarra Unggul iLestari.
Selain pemain lokal yang sebagian orang dekat Suhardi, investor asing diduga kuat terlibat dalam operasi tambang yang sedang dan akan merusak eksositem pesisir Sulbar ini. Hasil tambang dari sana disinyalir untuk menyuplai material IKN sekaligus ekspor pasir ke luar. Tujuannya, mempercepat proses akumulasi pembesaran modal.
Pada 24 April 2025, tiga warga negara asing asal Tiongkok, dua investor di salah satu perusahaan tambang ditangkap di Pasangkayu karena tak memiliki dokumen resmi. Kemudian, Balai Gakkum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengamankan seorang warga Korea Selatan karena menambang di kawasan hutan lindung.
Dalam beberapa temuan, dua WNA itu bertindak sebagai pembeli pasir yang membangun kerja sama dengan perusahaan lokal. Pasir ini akan mereka kirim keluar Sulbar melalui jetty.
Indikasinya bisa terlihat dengan munculnya surat permohonan akomodir melalui Dinas ESDM Sulawesi Barat nomor surat B/600.3.1/51/2023 tentang permintaan akomodir data sektor pertambangan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Permohonan akomodir untuk pembangunan terminal khusus dalam zona perikanan tangkap dan pelabuhan laut. Sepuluh perusahaan itu antara lain, PT Jaya Batu Andalan, PT Alam Sumber Rezeki, PT Kulaka Jaya Perkasa, PT Tapandullu Bumi Mamuju, PT Hasilindo Utama Investama, dan PT Aira Samudera Pasirjaya. Lalu, CV Maju Bersama, PT. Samudera Pantoloan, PT. Aneka Bara Lestari dan PT. Tambang Batuan Andesit.
Kalau merujuk kepada korporasi tambang pasir ini yang antri permohonan pembangunan jetty khusus tambang, masa depan masayarakat pesisir Sulbar menjadi pertaruhannya. Mereka akan jadi korban kepentingan korporasi.

Tim evaluasi?
Gimik lain yang sedang pemerintah munculkan adalah, ketika Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Salim S. Mengga, mengunjungi lokasi rencana pertambangan yang sejak awal warga Kalukku, Mamuju, tolak.
Area ini, ada konsesi PT Jaya Pasir Andalan, yang disinyalir terhubung dengan kepentingan Suhardi.
Salim meminta warga mempercayakan penanganan tambang kepada tim evaluasi. Padahal, tim seperti ini cenderung hanya menguntungkan perusahaan tambang. Hal itu terlihat dalam narasi sistematis Pemerintah Sulbar yang jadi fasilitator perusahaan tambang agar berjalan dan warga terima.
Sebenarnya, pemerintah tidak lagi perlu tim evaluasi, cukuplah mendengar teriakan ribuan warga dan suara rakyat dari pesisir. Juga melihat bagaimana daya rusak ekstraktivisme seperti tambang mengorbankan kehidupan masyarakat.
Ekstraktivisme bukan sekadar aktivitas ekonomi, namun jadi paradigma dan model pembangunan. Ia tersusun rapi dengan jargon kemajuan, legal lewat regulasi, dan aparatus menjaganya. Ruang hidup rakyat jadi korban demi kepentingan segelintir elite dan korporasi.

*****
*Penulis adalah Alfarhat Kasman, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang. Tulisan ini adalah opini penulis