- Peneliti menemukan dua spesies hiu purba, Troglocladodus trimblei dan Glikmanius careforum, yang telah terkubur lebih dari 325 juta tahun di Mammoth Cave, gua terbesar di dunia dengan lorong sepanjang lebih dari 675 kilometer.
- Fosil mencakup gigi bercabang unik dan potongan tulang rawan langka, yang membantu ilmuwan memahami evolusi hiu ctenacanthiform serta perannya sebagai predator utama di laut dangkal Paleozoikum.
- Temuan ini mengungkap bagaimana perubahan iklim dan naik-turunnya laut membentuk keragaman kehidupan, sekaligus menunjukkan bahwa gua-gua kuno menyimpan arsip sejarah alam yang luar biasa.
Gua terbesar di dunia, Mammoth Cave di Kentucky, Amerika Serikat, kembali mengundang decak kagum para ilmuwan dengan penemuan paleontologi yang luar biasa. Setelah terkubur selama lebih dari 325 juta tahun, fosil dua spesies hiu purba akhirnya berhasil diidentifikasi di balik labirin batu kapur sepanjang lebih dari 675 kilometer, jaringan lorong bawah tanah yang tercatat sebagai sistem gua terluas di Bumi.
Di masa lampau, tempat yang kini menjadi Kentucky dan Alabama adalah laut dangkal yang hangat, kaya kehidupan, dan menjadi rumah bagi predator laut tangguh. Kini, sisa-sisa hiu tersebut memberi petunjuk penting tentang evolusi, ekologi, dan pergeseran garis pantai pada saat Bumi bersiap membentuk superkontinen Pangea.
Mengungkap Predator Purba dari Dasar Laut Paleozoikum
Dua hiu purba yang baru diidentifikasi adalah Troglocladodus trimblei dan Glikmanius careforum, keduanya anggota kelompok ctenacanthiform, hiu bertulang rawan yang hidup pada periode Mississippian Tengah hingga Akhir. Masing-masing diperkirakan memiliki panjang tubuh sekitar 3 hingga 3,6 meter, seukuran hiu oceanic whitetip modern.
Penemuan ini dipimpin oleh John-Paul Hodnett, pakar hiu purba dari Maryland-National Capital Parks and Planning Commission (MNCPPC), bekerja sama dengan National Park Service Paleontology Program dan Cave Research Foundation. Nama Glikmanius careforum secara khusus dipilih sebagai penghargaan bagi Cave Research Foundation atas kontribusi sukarelawan mereka dalam eksplorasi gua.

Troglocladodus dikenal lewat giginya yang mencolok: cusp utama berbentuk segitiga biconvex dengan 12–15 garis tonjolan cristae, lengkap dengan beberapa cusp kecil di samping. Bentuk bercabang ini diyakini efektif membantu mencengkeram mangsa bercangkang keras seperti artropoda laut dan moluska. Sementara itu, Glikmanius memiliki gigi yang lebih pendek dan kokoh, dihiasi hingga 25 cristae halus, serta tonjolan mirip kancing di pangkal gigi, ciri khas keluarga Heslerodidae.

Yang membuat temuan ini semakin istimewa adalah ditemukannya sebagian rangka tulang rawan Glikmanius, termasuk rahang atas (palatoquadrate), rahang bawah (Meckel’s cartilage), hyomandibula (tulang penghubung insang), serta gigi-gigi yang masih menempel. Ini sangat langka, sebab tulang rawan hiu umumnya rapuh dan cepat terurai setelah kematian. Stabilitas suhu dan kelembapan di Mammoth Cave membantu menjaga fosil dalam kondisi relatif utuh selama ratusan juta tahun.
Baca juga: Ukuran Hiu Terbesar yang Pernah Ada di Bumi Terungkap
Mammoth Cave: Arsip Kehidupan Laut yang Hilang
Mammoth Cave bukan sekadar situs wisata terkenal dengan stalaktit raksasa dan lorong tak berujung. Kawasan ini menjadi situs paleontologi penting, karena batuan kapurnya merekam sejarah laut dangkal yang pernah membentang di sebagian besar Amerika Utara pada zaman Mississippian. Ketika fosil-fosil ini terbentuk, Kentucky berada di tepian Illinois Basin, perairan dangkal yang mendukung ekosistem laut yang sangat beragam.
Penelitian di gua ini telah mendokumentasikan lebih dari 70 spesies ikan purba, mulai dari kerabat hiu hingga ikan bertulang. Lingkungan laut yang hangat ini menyediakan habitat bagi kawanan cephalopoda bercangkang spiral, karang, dan predator seperti Troglocladodus dan Glikmanius. Setiap lapisan batu kapur menjadi halaman sejarah yang mencatat naik-turunnya laut, migrasi spesies, dan proses pembentukan daratan baru.

Fosil pertama yang memicu penyelidikan lebih mendalam adalah sebuah gigi kecil Troglocladodus, ditemukan oleh Superintendent Barclay Trimble pada ekspedisi tahun 2019. Temuan itu menjadi awal rangkaian ekspedisi intensif yang melibatkan pemetaan lorong sempit, penelusuran saluran sungai bawah tanah, dan ekskavasi hati-hati. Tim peneliti harus merangkak dalam lorong yang hanya bisa dilalui satu orang, bekerja dengan alat kecil seperti pinset dan pisau pahat mini, lalu membungkus fosil dalam kapas dan tabung plastik berlapis pelindung.
Baca juga: Lebih Tua dari Cincin Saturnus: Bagaimana Hiu Bertahan Selama Ratusan Juta Tahun?
Rekonstruksi Evolusi dan Kehidupan Laut Purba
Studi mendalam pada anatomi gigi dan tulang rahang menunjukkan adaptasi yang unik. Troglocladodus diperkirakan predator generalis, memakan invertebrata bercangkang keras, sedangkan Glikmanius memiliki rahang lebih pendek dan kuat yang mungkin digunakan untuk menggigit ikan bersirip dan orthocone, hewan mirip cumi-cumi bercangkang panjang.
Para peneliti meyakini bahwa keragaman bentuk gigi dan struktur rahang di kedua spesies ini adalah hasil evolusi menghadapi perubahan lingkungan drastis. Ketika benua-benua perlahan bergabung membentuk Pangea, garis pantai naik-turun, memaksa spesies beradaptasi atau punah. Temuan fosil ini juga membantu ilmuwan menyusun timeline evolusi hiu dengan lebih rinci, serta membandingkan spesimen dari Eropa, Asia, dan Amerika Utara.

Selain itu, penelitian di Mammoth Cave menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi lintas disiplin dan peralatan modern dalam upaya pelestarian fosil. Para ahli kini mempersiapkan fase penelitian lanjutan menggunakan pemetaan 3D, pencitraan resolusi tinggi, dan penggalian bertahap di lorong-lorong yang belum dieksplorasi.
Mammoth Cave menjadi pengingat bahwa di balik tempat yang tampak sudah dipetakan, selalu ada rahasia menunggu ditemukan. Jika Anda bisa menyelam di laut dangkal 325 juta tahun lalu, mungkin Anda akan melihat hutan karang luas, kawanan ikan bersisik perak, dan siluet hiu-hiu ctenacanthiform melintas perlahan di antara bayangan. Temuan ini bukan hanya membuka jendela masa lalu, tetapi juga menjadi pengingat bahwa rasa ingin tahu manusia tak pernah berhenti menyingkap sejarah panjang Bumi.
Study ini dipublikasikan di Journal of Vertebrate Paleontology.