- Nauru, negara pulau kecil di Pasifik, pernah menjadi sangat kaya karena eksploitasi fosfat namun kini menghadapi kehancuran ekologis dan krisis sosial yang mendalam akibat ketergantungan tunggal pada sumber daya alam tersebut.
- Sejak awal 1900-an, lebih dari 80% daratan Nauru ditambang, meninggalkan lanskap batu kapur yang tandus dan tak layak huni, serta memusnahkan keanekaragaman hayati dan kemampuan tanah untuk menyerap air.
- Dampak sosial dari kerusakan lingkungan ini sangat parah: tingginya tingkat obesitas, diabetes, kekerasan dalam rumah tangga, pengangguran, hingga krisis kesehatan mental dan identitas budaya.
- Kisah Nauru menjadi peringatan penting bagi negara seperti Indonesia, bahwa tanpa pengelolaan berkelanjutan, kekayaan alam justru bisa membawa pada kehancuran.
Nauru adalah negara pulau kecil yang terletak di bagian barat Pasifik, tidak jauh dari garis khatulistiwa dan sekitar 4.000 kilometer timur laut Australia, kira-kira 6.700 km jika ditarik garis lurus dari Jakarta. Dengan luas hanya 21 kilometer persegi (kurang lebih seluas Kota Mojokerto) dan populasi sekitar 12.000 jiwa, Nauru merupakan salah satu negara berdaulat terkecil di dunia, baik secara wilayah maupun jumlah penduduk. Tapi kecilnya ukuran tidak mencerminkan besar dan kompleksnya krisis yang menimpa negara ini. Dengan iklim tropis yang panas dan lembap, Nauru dahulu merupakan ekosistem yang kaya akan kehidupan pesisir dan hutan dataran rendah yang mendukung kehidupan subsisten (bercocok tanam dan memancing untuk kebutuhan sehari-hari) masyarakat lokal selama berabad-abad.

Kisah Nauru adalah cerita tentang bagaimana sebuah negara kecil pernah mengalami kejayaan ekonomi luar biasa karena sumber daya alam yang melimpah, lalu terjerembap ke dalam jurang kehancuran ekologis dan sosial ketika sumber daya tersebut habis. Ini bukan hanya studi kasus ekstraktivisme yang ekstrem, tetapi juga cermin bagi negara-negara berkembang yang mengejar pertumbuhan jangka pendek tanpa memperhitungkan keberlanjutan jangka panjang. Seperti banyak negara kecil lainnya, pilihan pembangunan Nauru dibentuk oleh kekuatan eksternal dan ketergantungan global yang tidak selalu berpihak pada keseimbangan lingkungan.
Kekayaan yang Datang dari Kotoran
Burung-burung laut seperti tern, frigatebird, booby, tropicbird, dan petrel menjadi arsitek biologis dari kekayaan fosfat Nauru. Selama jutaan tahun, mereka bersarang secara masif di pulau ini, terutama di dataran tinggi karang di tengah pulau. Dalam koloni-koloni raksasa yang terus-menerus aktif, mereka menghasilkan guano (kotoran burung laut) dalam jumlah besar. Guano ini, kaya fosfor dan nitrogen, terakumulasi secara bertahap hingga membentuk lapisan setebal beberapa meter. Di bawah tekanan dan waktu, endapan guano tersebut mengalami mineralisasi dan berubah menjadi batu fosfat, menjadikan Nauru salah satu sumber fosfat paling murni dan bernilai tinggi di dunia.
Fosfat di Nauru berasal dari jutaan tahun akumulasi guano (kotoran burung laut) yang mengeras di atas batuan karang. Fosfat yang terbentuk dari endapan biologis ini dikenal sebagai salah satu yang paling murni di dunia, dengan kandungan mineral tinggi yang sangat dibutuhkan dalam industri pupuk pertanian. Deposit ini ditemukan secara tak sengaja oleh Albert Ellis dari Pacific Islands Company pada awal abad ke-20, ketika sebuah batu yang dijadikan penahan pintu di kantor perusahaan di Sydney dianalisis dan ternyata mengandung kadar fosfat yang luar biasa tinggi.

Penemuan tersebut mengubah nasib Nauru selamanya. Mulai awal 1900-an, negara-negara kolonial seperti Jerman, Inggris, dan Australia berebut menambangnya. Setelah Perang Dunia I, Inggris, Australia, dan Selandia Baru membentuk British Phosphate Commissioners (BPC), yang mengelola eksploitasi fosfat Nauru secara intensif dan sistematis dengan harga murah, demi menyubsidi pertanian mereka sendiri. Pada masa ini, hampir seluruh keuntungan hasil tambang tidak pernah kembali ke masyarakat Nauru, melainkan ke kas negara-negara kolonial tersebut.
Baca juga: Tak Hanya Raja Ampat, Nikel Halmahera pun Rusak Lingkungan dan Sengsarakan Warga

Namun semuanya berubah setelah kemerdekaan Nauru pada tahun 1968. Pemerintah baru segera mengambil alih industri fosfat dan mengalami ledakan ekonomi besar-besaran. Dalam dekade 1970-an, PDB per kapita Nauru melampaui negara-negara industri maju, dan warganya menikmati layanan sosial gratis, termasuk pendidikan, perumahan, hingga perjalanan ke luar negeri. Negara ini bahkan memiliki investasi real estat mewah seperti gedung pencakar langit Nauru House di Melbourne dan membeli kapal pesiar pribadi. Namun di balik kemewahan ini tersembunyi risiko besar: ketergantungan tunggal pada komoditas fosfat.
Tanah yang Hancur, Masa Depan yang Hilang
Di tengah kejayaan ekonomi, eksploitasi fosfat terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Sekitar 80% dari daratan kecil Nauru ditambang habis-habisan. Hasilnya, bagian tengah pulau, yang dikenal sebagai “Topside,” berubah menjadi lanskap mirip permukaan bulan: gersang, penuh karst setajam silet hingga setinggi 1 meter, tak mampu lagi mendukung vegetasi atau pertanian.

Sebuah studi menunjukkan bahwa hilangnya tutupan vegetasi menyebabkan kerusakan sistem peresapan air tanah, peningkatan erosi, dan punahnya hampir seluruh flora dan fauna lokal. Pohon-pohon pandanus yang dulunya banyak digunakan masyarakat untuk makanan dan bahan bangunan hilang. Burung-burung laut seperti tern dan frigatebird terusir dari habitatnya karena kehilangan tempat bersarang.
Ketika kemampuan bertani hilang, Nauru pun sepenuhnya bergantung pada makanan impor. Ironisnya, makanan yang tersedia di pasar adalah makanan olahan rendah gizi, tinggi gula dan lemak. Akibatnya, negara ini kini mencatat tingkat obesitas lebih dari 70% pada orang dewasa, dan hampir separuh populasinya menderita diabetes tipe 2. Kerusakan ekologis tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga langsung pada kesehatan manusia.
Baca juga: Raja Ampat: Kenapa Pulau-Pulau Kecil Harus Bebas Tambang?
Krisis Sosial dan Identitas
Lemahnya ketahanan pangan hanyalah salah satu efek domino dari keruntuhan ekologis. Ketika lahan pertanian hilang dan budaya subsisten musnah, masyarakat Nauru mengalami krisis identitas. Makanan tradisional yang dahulu diolah dari hasil laut dan kebun lenyap, digantikan dengan makanan instan dan gaya hidup yang tidak sehat. Ini menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan mental dan sosial masyarakat.

Menurut UNICEF, sekitar 24% anak di bawah lima tahun di Nauru mengalami stunting. Sementara itu, laporan regional UNICEF menyebutkan bahwa sekitar 16% pelajar usia 13–15 tahun di negara-negara Pasifik pernah mencoba bunuh diri—angka yang sejalan dengan temuan MSF pada tahun 2019 di Nauru yang menunjukkan bahwa hingga 30% anak dan remaja yang menjadi pencari suaka pernah melakukan percobaan bunuh diri. Sebuah studi kesehatan seksual menemukan bahwa 21% responden positif chlamydia, dan hampir 50% perempuan pernah mengalami kekerasan dalam hubungan. Tingkat pengangguran yang tinggi, rendahnya peluang pendidikan lanjutan, dan minimnya ruang sosial yang sehat memperparah masalah. Dalam masyarakat yang kehilangan keterhubungan dengan tanah dan tradisi, gejolak sosial menjadi sulit dielakkan.
Gugatan dan Upaya Restorasi
Menyadari bahwa sebagian besar kerusakan terjadi selama masa kolonial, pada tahun 1989 Nauru menggugat Australia di Mahkamah Internasional atas tanggung jawab lingkungan. Gugatan ini tercatat sebagai kasus Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia), yang menjadi preseden penting dalam hukum lingkungan internasional. Meskipun akhirnya diselesaikan di luar pengadilan, Australia setuju membayar kompensasi lebih dari 100 juta dolar Australia selama dua dekade.
Sebagian dari dana ini digunakan untuk membentuk Nauru Rehabilitation Corporation (NRC) pada 1999, yang bertugas melakukan pemulihan lahan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemulihan ekosistem tidak semudah mengganti permukaan tanah. Reklamasi lahan di Topside memerlukan infrastruktur besar, teknologi khusus, dan biaya yang sangat tinggi. Hingga kini, kemajuan restorasi berjalan sangat lambat.
Sementara itu, sebagian besar penduduk kini tinggal di wilayah pesisir sempit, yang terus tergerus abrasi dan semakin rentan terhadap naiknya permukaan laut akibat krisis iklim. Di atas wilayah Topside yang rusak parah, Australia membangun pusat penahanan imigran sebagai bagian dari kebijakan luar negeri mereka. Amnesty International menyebut fasilitas ini sebagai salah satu tempat paling tidak manusiawi di dunia.
Kutukan Sumber Daya dan Pelajaran untuk Indonesia
Ekonom ekologis John Gowdy dan Carl McDaniel menggambarkan Nauru sebagai contoh ekstrem dari “kutukan sumber daya”, di mana kekayaan alam yang melimpah justru menjadi akar kehancuran sosial dan lingkungan akibat tata kelola yang lemah. Ketika ekonomi terlalu bergantung pada satu komoditas dan gagal membangun diversifikasi maupun mekanisme perlindungan ekologis, kehancuran menjadi keniscayaan.
Studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Ambio menyarankan pendekatan industrial ecology sebagai solusi potensial: menggunakan lanskap bekas tambang sebagai bahan bangunan, serta mengembangkan agroforestry dan pariwisata alam berbasis pemulihan lingkungan. Namun, pendekatan ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan komitmen lintas generasi—sesuatu yang tidak mudah diterapkan di negara yang terus berjuang secara ekonomi.
Kisah Nauru menyimpan pesan penting bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia. Saat ini, banyak pulau besar dan kecil menjadi pusat eksploitasi besar-besaran. Tanpa perencanaan jangka panjang dan strategi keberlanjutan, risiko pengulangan tragedi Nauru sangat nyata.