- Setelah lebih dari 60 tahun tidak tercatat, nokdiak moncong-panjang Sir David, mamalia bertelur dari zaman dinosaurus, akhirnya terekam kembali oleh kamera jebak di Pegunungan Cyclops, Papua, berkat kolaborasi ilmuwan dengan masyarakat adat yang memiliki pengetahuan turun-temurun tentang keberadaan spesies ini.
- Penemuan ini memberikan bukti visual pertama tentang kelangsungan hidup salah satu spesies paling misterius dan kuno di dunia, serta menyoroti pentingnya integrasi antara teknologi ilmiah modern dan sistem pengetahuan lokal dalam upaya konservasi satwa langka.
- Dengan habitat yang kini terbatas hanya di satu wilayah pegunungan, status taksonomi yang belum sepenuhnya jelas, serta ancaman ekologis yang belum terpetakan secara menyeluruh, masa depan spesies ini sangat bergantung pada riset lanjutan, perlindungan kawasan, dan kesadaran publik terhadap nilai evolusioner dan ekologisnya.
Spesies mamalia bertelur yang sangat langka, nokdiak moncong-panjang Sir David, telah dikonfirmasi masih hidup di hutan pegunungan Cyclops, Papua. Spesies ini tidak tercatat secara ilmiah selama lebih dari enam dekade sejak spesimen terakhirnya dikoleksi tahun 1961. Penemuan kembali hewan ini tidak hanya menjadi kabar besar dalam dunia konservasi, tetapi juga mengungkap fakta mengejutkan: seekor mamalia dari zaman dinosaurus ternyata masih hidup hingga hari ini, dan kini telah berhasil terekam kamera secara langsung di habitat aslinya.
Nokdiak atau yang disebut juga ekidna, landak semut, atau babi duri, merupakan satu dari hanya lima spesies mamalia bertelur yang masih eksis di planet ini. Spesies ini berasal dari kelompok monotremata, mamalia purba yang sudah ada sejak sekitar 200 juta tahun lalu, sejaman dengan awal kemunculan dinosaurus. Kelompok ini merupakan garis keturunan paling awal dari mamalia modern yang masih bertahan hingga kini, menjadikan kehadiran mereka sebagai bukti nyata warisan evolusi paling kuno yang masih hidup. 2025.
Metode Ilmiah Bertemu Kearifan Lokal
Penemuan kembali nokdiak moncong-panjang Sir David merupakan hasil survei kamera jebak yang dilakukan tim peneliti dari University of Oxford bersama peneliti Indonesia dan masyarakat lokal, sebagaimana dipublikasikan dalam jurnal NPJ Biodiversity (2025). Pada Juni–Juli 2023, mereka memasang 73 kamera jebak di area seluas 7 km² di Pegunungan Cyclops, Papua. Kamera-kamera ini ditempatkan berdasarkan pengetahuan lokal yang akurat mengenai lokasi pergerakan nokdiak dan jejak khas seperti lubang pencarian makan di tanah.

Hasilnya mengejutkan: 110 foto dan 15 video berhasil merekam aktivitas spesies ini, termasuk saat mencari makan dan dalam perilaku kawin. Ini merupakan bukti visual pertama dalam sejarah tentang keberadaan nokdiak moncong-panjang Sir David dalam keadaan hidup. Dalam rekaman tersebut, individu-individu terlihat dengan jelas memperlihatkan lima cakar di kaki depan, yang merupakan ciri khas spesies ini dan membedakannya dari kerabat dekat seperti Z. bruijnii.
Penampakan ini bukan sekadar laporan lisan—tetapi bukti visual langsung dari kamera jebak, menjadikan dokumentasi ini sebagai salah satu pencapaian penting dalam sejarah konservasi modern, dan satu-satunya bukti rekaman hidup dari mamalia zaman dinosaurus yang berhasil bertahan hingga abad ke-21.
Baca juga: Ekidna, Hewan Aneh yang Nenek Moyangnya Sezaman Dinosaurus
Peran Kunci Pengetahuan Adat
Masyarakat adat di sekitar Pegunungan Cyclops telah lama mengenal keberadaan nokdiak, jauh sebelum spesies ini tercatat secara ilmiah oleh para peneliti. Dalam bahasa Terpera yang digunakan oleh komunitas Yongsu Sapari dan Yongsu Dosoyo, hewan ini dikenal sebagai “Payangko”, nama yang tidak hanya merepresentasikan spesiesnya, tetapi juga menyiratkan hubungan spiritual dan ekologis yang erat antara manusia dan alam sekitar. Pengetahuan lokal tentang Payangko telah diwariskan lintas generasi, mencakup informasi detail seperti waktu kemunculan hewan, lokasi lubang penggalian yang biasa muncul setelah hujan, serta perilaku nokdiak saat mencari makan atau bersembunyi di bawah tanah.

Informasi tersebut menjadi petunjuk krusial dalam perencanaan riset ilmiah modern. Tim peneliti menggunakan pemetaan partisipatif dan wawancara mendalam dengan warga lokal untuk menyusun peta potensi keberadaan satwa ini, yang kemudian digunakan sebagai dasar penempatan kamera jebak secara strategis. Tanpa kontribusi masyarakat lokal, upaya penemuan kembali spesies ini hampir mustahil dilakukan, mengingat medan Pegunungan Cyclops yang sulit dijangkau dan luas wilayah yang belum sepenuhnya dipetakan secara biologis.
Selain itu, masyarakat lokal mempraktikkan sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis nilai-nilai adat, termasuk larangan berburu dan larangan menebang pohon di zona-zona tertentu yang dianggap “keramat” atau sakral. Praktik ini tidak hanya menjadi bagian dari kosmologi dan budaya lokal, tetapi juga berfungsi sebagai bentuk konservasi ekologis yang efektif. Kawasan larangan tersebut sering kali menjadi benteng terakhir bagi spesies-spesies endemik seperti Payangko. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan adat bukan sekadar pelengkap, tetapi komponen penting dalam strategi konservasi berbasis komunitas.
Baca juga: Melacak Ekidna, Satwa Keramat Orang Papua di Cyclops
Taksonomi Masih Perlu Ditinjau
Identifikasi spesies melalui citra kamera jebak memerlukan ketelitian dan kehati-hatian tinggi, apalagi jika menyangkut spesies yang sangat mirip secara morfologi. Nokdiak moncong-panjang Sir David diketahui memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan Zaglossus bartoni, dan berbeda pula dengan Zaglossus bruijnii dari segi panjang bulu, jumlah cakar, serta ciri morfologis tengkorak. Dalam rekaman terbaru, individu yang tertangkap kamera memiliki lima cakar di kaki depan, yang sesuai dengan ciri khas Z. attenboroughi. Hal ini memperkuat identifikasi, tetapi belum sepenuhnya menutup kemungkinan keterlibatan kerabat dekat lainnya.
Para peneliti juga mencatat bahwa hingga kini belum ada kajian integratif yang menyatukan analisis morfologi, genetika, dan variasi geografis dari seluruh anggota genus Zaglossus. Ketiadaan kajian tersebut menyebabkan batas antara spesies masih bersifat tentatif, terutama dalam konteks distribusi yang saling tumpang tindih di kawasan pegunungan Papua. Dengan hanya dua spesimen museum Z. attenboroughi yang diketahui secara global, kebutuhan akan studi lanjutan menjadi mendesak. Pengambilan sampel DNA dari jejak biologis (seperti kotoran atau bulu) maupun rekaman video resolusi tinggi dapat menjadi solusi untuk memperjelas status taksonomi spesies ini dalam waktu dekat.
Selain dari aspek akademik, kejelasan taksonomi ini penting untuk menyusun strategi konservasi yang lebih presisi. Jika nokdiak yang terekam ternyata merupakan populasi unik atau subspesies yang berbeda dari yang selama ini tercatat, maka status konservasinya bisa lebih kritis daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memahami siapa sebenarnya Payangko bukan hanya persoalan ilmiah, tetapi juga dasar dari kebijakan pelestarian yang efektif.
Subfosil dan Sebaran Masa Lalu
Bukti bahwa nokdiak moncong-panjang Sir David dulunya memiliki sebaran geografis yang jauh lebih luas datang dari penemuan tulang subfosil di Gua Lachitu, Papua Nugini. Situs ini terletak sekitar 80 km di sebelah timur Pegunungan Cyclops dan merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Oenake. Analisis radiokarbon terhadap lapisan sedimen tempat tulang-tulang tersebut ditemukan menunjukkan bahwa hewan ini pernah hidup di wilayah tersebut antara 30.000 hingga 6.000 tahun yang lalu, rentang waktu dari era Pleistosen Akhir hingga Holosen Tengah. Temuan ini mengindikasikan bahwa dulu nokdiak atau ekidna, landak semut, atau babi duri ini pernah menjadi penghuni hutan pesisir tropis yang kini telah mengalami degradasi dan kehilangan satwa khasnya.

Namun, spesies ini tampaknya mengalami penyempitan distribusi geografis yang drastis. Tidak ada bukti kehadirannya dalam survei fauna terbaru di pegunungan lain di pesisir utara Papua, termasuk Pegunungan Torricelli dan Pegunungan Bewani. Bahkan masyarakat lokal di wilayah tersebut tidak lagi mengenali jenis nokdiak apa pun, yang menandakan kemungkinan kepunahan lokal telah terjadi sejak berabad-abad lalu. Hilangnya populasi di luar Pegunungan Cyclops memperkuat peran kawasan ini sebagai benteng terakhir spesies tersebut.
Saat ini, Pegunungan Cyclops berdiri sebagai satu-satunya wilayah yang dikonfirmasi masih dihuni oleh nokdiak moncong-panjang Sir David. Kawasan ini tidak hanya penting secara ekologis karena tingkat endemismenya yang tinggi, tetapi juga secara evolusioner karena menjadi tempat bertahannya spesies dari masa purba. Perlindungan terhadap habitat ini kini menjadi krusial, bukan hanya untuk mempertahankan spesies yang ditemukan kembali, tetapi juga untuk memastikan bahwa bagian penting dari sejarah evolusi mamalia tidak hilang dari muka Bumi.
Masa Depan Spesies Purba Ini Masih Misterius
Meskipun keberadaan nokdiak moncong-panjang Sir David kini telah dikonfirmasi secara ilmiah, masa depan spesies purba ini tetap diselimuti ketidakpastian. Salah satu tantangan terbesar adalah ketiadaan data populasi yang akurat. Kamera jebak yang digunakan dalam survei belum mampu mengidentifikasi individu secara pasti, sehingga metode estimasi populasi seperti capture-recapture tidak dapat diterapkan. Ini berarti kita belum tahu berapa banyak individu yang masih bertahan, seberapa luas wilayah jelajah mereka, atau apakah populasi mereka cukup sehat untuk bereproduksi secara berkelanjutan.
Lebih dari itu, ancaman terhadap habitat mereka juga belum dipetakan secara detail. Pegunungan Cyclops memang memiliki status sebagai kawasan lindung, tetapi tekanan dari aktivitas manusia seperti perambahan, pembangunan jalan, pembalakan liar skala kecil, hingga perubahan iklim mikro tetap menjadi risiko nyata. Selain itu, karena letaknya dekat dengan wilayah urban seperti Jayapura, kawasan ini sangat rentan terhadap tekanan pembangunan. Tanpa intervensi konservasi yang tepat waktu, spesies ini bisa saja kembali “menghilang”—dan kali ini mungkin untuk selamanya.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkret yang mencakup penelitian lanjutan, penguatan perlindungan kawasan, serta pelibatan aktif masyarakat adat dan publik luas. Penelitian lanjutan harus difokuskan pada pengumpulan bukti genetik, pemetaan wilayah distribusi yang lebih luas, serta identifikasi ancaman lokal yang paling mendesak. Di sisi lain, komunitas lokal seperti Yongsu Sapari yang telah terbukti menjaga habitat Payangko secara turun-temurun, harus dilibatkan sebagai mitra utama dalam perencanaan dan pelaksanaan konservasi.