- Memori konflik dengan satwa yang terjadi dalam rentang tahun 1985 hingga 1990-an, masih melekat pada masyarakat yang hidup dan berkebun di sekitar landskap hutan Suaka Margasatwa (SM) Gunung Raya, Sumatera Selatan.
- Meskipun diyakini menjadi habitat macan dahan dan kucing emas, hanya kucing kuwuk– salah satu jenis kucing liar berukuran kecil yang masih sering terlihat oleh masyarakat di sekitar perkebunan warga.
- Belum ada intervensi khusus untuk kucing liar, namun secara umum, upaya rehabilitasi di SM Gunung Raya yang terfragmentasi perkebunan, serta pendekatan edukasi kepada masyarakat terus dilakukan.
- Kasus di Gunung Raya, mengingatkan pentingnya dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) terhadap sejumlah spesies kucing liar yang semakin terancam. Ini dapat menjadi fundamen dalm penguatan konservasi kucing liar di Indonesia.
Bagaimana kondisi hutan Gunung Raya saat ini?
“Sekarang sudah lebih aman berkebun di sekitar Gunung Raya,” kata Parmin, saat ditemui di kebun kopi miliknya yang berbatasan dengan kawasan Suaka Margasawat Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, awal Mei 2025.
Seperti kata Parmin, ujaran “aman berkebun di Gunung Raya” berulang kali diucapkan oleh sejumlah petani dan masyarakat yang ditemui Mongabay Indonesia, saat menelusuri kebun warga di sekitar Gunung Raya hingga Danau Ranau.
“Aman bagi kami, berarti tidak ada lagi satwa yang mengganggu para petani seperti peristiwa konflik dengan gajah yang terjadi sekitar 1980-an dulu,” kata Kenedi, warga Desa Kotabatu, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan.
Dalam artikel Mongabay Indonesia sebelumnya, konflik gajah sumatera dengan manusia di Gunung Raya berlangsung dari 1985 hingga 1990-an. Saat itu, Kenedi sedang dimutasi dari Desa Tanjung Jati ke Desa Gunung Raya.
Diceritakannya, konflik bermula saat pemerintah berupaya mengusir sejumlah warga yang berkebun di sekitar hutan larangan di Gunung Raya. Karena tidak membuahkan hasil, akhirnya gajah yang dikerahkan oleh pemerintah.
Pada 1980-an, Desa Gunung Raya berada di sekitar hutan lindung Gunung Raya. Kawasan hutan lindung tersebut adalah habitat gajah. Sementara Desa Gunung Raya merupakan pelintasan atau koridor gajah dari Gunung Pesagi ke Gunung Raya.
Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, konflik tersebut menyebabkan 14 orang meninggal dunia. Sebagian besar adalah warga Desa Gunung Raya.
“Kalau diingat-ingat lagi, kejadian itu cukup membuat trauma masyarakat karena sampai merenggut nyawa manusia. Sekarang wajar kalau masyarakat cukup sensitif jika bercerita terkait satwa, entah itu gajah, kucing, dan lainnya,” lanjut Kenedi.
Saat ini, walaupun ada informasi masyarakat yang melihat adanya kawanan gajah di sekitar Gunung Raya, belum ada dokumentasi kemunculan gajah dan harimau sumatera di Gunung Raya.
Meskipun diyakini menjadi habitat bagi macan dahan dan kucing emas, di landskap yang kian terfragmentasi itu, hanya kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis)- salah satu jenis kucing liar berukuran kecil yang masih bisa beradaptasi di landskap hutan perbukitan SM Gunung Raya.
“Ia masih cukup sering terlihat bermain di sekitar kebun. Tapi kalau yang lain tidak pernah terlihat. Mungin sudah lari ke hutan di gunung,” kata Parmin. “Ukurannya kecil seperti kucing rumahan. Syukur jenis itu tidang menganggu.”

Menurut Erwin Wilianto, pendiri Yayasan SINTAS Indonesia dan anggota IUCN-SSC Cat Specialist Group, tentunya semua jenis satwa memiliki peran bagi ekosistem termasuk ruang hidup manusia, baik secara langsung maupun tidak.
“Selain sebagai apex predator, sebagian besar kucing liar memiliki peran penting dalam budaya. Mereka menjadi tokoh sentral dalam pelestarian alam,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Rabu (4/6/2025).
Bagi Erwin, kucing-kucing karismatik ini adalah salah satu kunci dari keutuhan hutan yang merupakan sumber pangan, air, dan udara bersih yang manusia gunakan. Bahkan, oleh yang hidup jauh dari hutan.
“Saat hutan kehilangan figur sentralnya, maka hutan tidak lagi bermakna. Lalu dibabatlah. Dan kita bisa bayangkan apa yang terjadi kemudian,” lanjutnya.

Edukasi dan rehabilitasi
Sejak lama, sejumlah peneliti menyarankan pentingnya melakukan intervensi konservasi kucing liar di luar kawasan konservasi. Hal ini berangkat pada fakta bahwa banyak kantong habitat yang telah terfragmenstasi atau bahkan terkepung perkebunan masyarakat.
Ini juga diperkuat dengan perilaku kucing liar yang sangat mobile atau membutuhkan ruang gerak cukup luas.
Sebagai gambaran, menurut Erwin Wilianto, harimau dan macan tutul dapat bergerak lebih dari 10 kilometer dalam sehari untuk mencari pakan maupun pasangan. Ini juga tergantung ketersediaan sumber daya di habitatnya.
“Ada catatan harimau membutuhkan sekira lebih dari 60 kilometer persegi. Tapi untuk kucing kecil di Indonesia, belum banyak referensi terkait ini,” katanya.

Terkait kondisi Gunung Raya yang sudah terfragmentasi perkebunan masyarakat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan terus berupaya melakukan pengamanan, edukasi, sosialisasi, serta rehabilitasi.
Namun, bentuk intervensi secara spesifik terkait kucing liar belum dilakukan. Tetapi secara umum, kerja-kerja edukasi terus dilakukan. Baik dalam bentuk sosialiasi di lapangan atau media sosial.
“Juga ada program pendidikan lingkungan, tetapi karena terbatas, jadi hanya bisa dilakukan di sekolah-sekolah tertentu,” kata Syarifah, koordinator pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] BKSDA Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [3/6/2025].
Menurut Syarifah, masih cukup banyak kawasan di SM Gunung Raya yang kondisinya sangat baik. Misalnya di blok mandariang, yang masuk dalam dalam kategori blok lindung atau kondisinya bagus.
Adanya wilayah yang baik ini, dijadikan sebagai ekosistem referensi, yang kemudian dapat menjadi landasan program pemulihan menyasar blok rehabilitasi.
“Harapannya, wilayah yang direhabilitasi, kondisinya bisa kembali seperti ekosistem referensi tersebut,” kata Syarifah.
Dalam praktiknya, program pemulihan ini menanam jenis-jenis pohon lokal, yang riwayatnya memang ada di sekitar hutan Gunung Raya. Tidak hanya penting secara ekologi, tetapi juga diusahakan bisa dimanfaatkan buahnya.
Misalnya, pohon pulai, meranti, atau buah-buahan hutan seperti rambutan hutan, durian hutan, atau sejenis mangga-manggaan.
“Kami juga bertanya kepada masyarakat lokal, jenis-jenis pohon apa saja yang dulunya ada dan tumbuh di sekitar hutan Gunung raya, nanti akan dipilih untuk ditanam,” lanjut Syarifah.
Program rehabilitasi ini sudah berjalan di tahun-tahun sebelumnya. “Saat ini kami sedang menyusun rencana rehabilitasi lanjutan untuk lima tahun kedepan. Terutama di blok rehabilitasi yang sudah ada tanaman kopinya,” kata Syarifah.

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, yang dikutip dari penelitian Suci dan kolega [2019], pada 2009, sekitar 70 persen dari luas total kawasan SM Gunung Raya, telah berubah menjadi perkebunan kopi.
Merujuk data terbaru BKSDA Sumatera Selatan yang diperoleh Mongabay Indonesia, sekitar 64 persen [32.608 hektar] dari luas total kawasan Gunung Raya [50.950 hektar], masih masuk blok rehabilitasi. Artinya, blok ini masih terganggu, atau berubah menjadi perkebunan.
Sementara blok lindung atau yang masih terjaga sekitar 32 persen atau sekitar 16.304 hektar, sedangkan sisanya masuk blok pemanfaatan.
“Sekarang pendekatannya harus lebih persuasif, mengajak masyarakat untuk saling memahami dan berkerja sama. Dukungan masyarakat sangat penting dalam menyukseskan program pemulihan ini,” kata Syarifah.
“Kami juga butuh dukungan dari pemerintah daerah, agar bisa ikut mendukung upaya-upaya ini,” kata Syarifah.

Pentingnya SRAK kucing liar
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] merupakan sebuah panduan untuk melaksanakan kegiatan konservasi jenis-jenis satwa liar prioritas, atau dianggap terancam punah di Indonesia.
Dokumen ini bertujuan untuk mengkomunikasikan upaya-upaya konservasi untuk bisa dilaksanakan semua pihak. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat [LSM], serta dunia usaha.
Menurut Syarifah, hingga saat ini, belum ada dokumen SRAK yang spesifik menyasar spesies-spesies kucing liar, khususnya di Sumatera Selatan. Yang ada harimau dan gajah, terus ada juga primata.
“Seharusnya memang ada SRAK untuk jenis-jenis kucing liar itu, karena memang perannya penting di dalam ekosistem,” ujarnya. “Tapi sebelum itu, kami membutuhkan data populasi, tren, dan lain sebagainya yang terkait kondisi kucing liar di alam,” lanjutnya.
Senada, Erwin Erwin Wilianto mengatakan, saat ini belum ada SRAK khusus untuk kucing liar di Indonesia kecuali harimau yang sudah expired dan macan tutul yang akan berakhir tahun depan (2026).
“Bersama para praktisi dan akademisi, Kemenhut berupaya mengkaji ulang status keterancaman satwa-satwa dari keluarga kucing dan beberapa spesies lainnya. Harapannya, dari sini bisa menjadi fundamen untuk penguatan konservasi kucing liar di Indonesia,” katanya.
Tercatat, ada lima jenis kucing liar yang hidup di dataran tinggi Sumatera Selatan, yakni harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang dikategorikan sebagai kucing besar. Dan empat jenis kucing kecil, yakni macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas (Catopuma temminckii), kucing kuwuk atau macan akar (Prionailurus bengalensis), dan kucing batu (Pardofelis marmorata).
Semua jenis kucing tersebut dilindungi Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Berdasarkan Daftar Merah IUCN, kucing emas dan macan dahan berstatus Rentan [VU], kucing batu [Hampir Terancam/NT], kucing kuwuk [Risiko Rendah/LC], sementara harimau sumatera berstatus Kritis [CR].

Erwin menambahkan, kondisi habitat kucing liar saat ini yang sudah sangat dekat atau bahkan berada dalam satu landskap dengan manusia, menggarisbawahi pentingnya edukasi terhadap masyarakat.
“Jika terpaksa, kemungkinan bisa manusia dan kucing liar (kecuali harimau) hidup berdampingan. Di India, macan sudah terpaksa tinggal di urban area,” katanya.
“Tapi harusnya, jika memang masyarakat teredukasi, hutannya terjaga. Jadi, masih jauh prosesnya untuk benar-benar bisa ko-eksitensi dengan manusia,” tegas Erwin.
Referensi:
Suci, S., Dahlan, Z., & Yustian, I. (2019). Propil Vegetasi di Kawasan Hutan Konservasi Suaka Margasatwa Gunung Raya Kecamatan Warkuk Kabupaten Oku Selatan. Jurnal Penelitian Sains, 19(1), 47–53.
*****