- Pembangunan Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah meluas hingga ke kecamatan satelit. Ini menyebabkan terjadi alih fungsi lahan secara masif, tambak, sawah, dan kebun produktif menjadi hilang.
- Alih fungsi lahan menyebabkan suhu permukaan meningkat hingga 4°C di beberapa kecamatan. Selain itu, sebagian besar area KIK mengalami penurunan muka tanah hingga 3,1 cm per tahun yang mengancam stabilitas lingkungan.
- Meski dijanjikan menyerap ratusan ribu tenaga kerja, KIK tidak berdampak signifikan pada penurunan angka pengangguran. Ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kapasitas tenaga kerja lokal menjadi kendala utama.
- Perluasan kawasan industri melanggar rencana tata ruang wilayah yang seharusnya melindungi lahan agraris dan pesisir. Berikut analisa Mongabay dengan memanfaatkan citra satelit Landsat dan Sentinel-Copernicus bersumber dari Google Earth untuk melihat kesesuaian tata ruang dalam proyek Kawasan Industri Kendal
Secara historis, pesisir Kendal, Jawa Tengah menjadi pusat perikanan dan ekonomi bagi mayoritas warganya. Sektor ini memasok ikan bandeng serta udang segar dari para nelayan. Kini, keberlangsungan sektor vital tersebut terancam oleh rencana pembangunan Kawasan Industri Kendal (KIK).
Pada 2016, Kawasan Industri Kendal (KIK) ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) prioritas dengan luas mencapai 2.200 hektar. Tiga tahun berselang, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2019, status KIK naik menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Proyeksinya pembangunan ini bisa menyerap potensi investasi hingga Rp 200 Triliun dan tenaga kerja sebanyak 500 ribu.
Kini, pesisir Kendal yang ramai saat nelayan mendaratkan ikan bandeng dan udang segar dari perahu kecilnya terancam hilang pelan-pelan. Tambak kian menyempit, pembangunan pesisir kian masif dan suara mesin bor mendominasi. Kawasan Industri Kendal, yang sejak 2016 masuk dalam proyek strategis nasional prioritas melaju cepat.

Kawasan ini juga menjadi Kawasan Ekonomi Khusus yang dijanjikan akan menarik investasi triliunan rupiah dan serapan tenaga kerja di Jawa Tengah. Namun, benarkah bagaimana pembangunan ekonomi ini mampu berjalan pada regulasi tata ruang dan berkelanjutan? Berikut fakta-fakta dari analisis berdasarkan citra satelit Landsat dan Sentinel-Copernicus bersumber dari Google Earth pada Juni 2025 dan melakukan penyesuaian dengan dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Kendal 2011-2031.
1. Alih fungsi lahan meningkat ![]()
Meski pembangunan KIK berada pada zona industri—dokumen RTRW Kabupaten Kendal 2011-2031—pembangunan wilayahnya meluas hingga ke kecamatan-kecamatan satelit, seperti Kecamatan Brangsong dan Kaliwungu Selatan.
Analisa Mongabay pada 2015-2024 menunjukkan tren peningkatan lahan permukiman yang terus meningkat. Jumlahnya meningkat 9,03% dalam 10 tahun terakhir atau bertambah 1.332,02 hektare. Peningkatan ini menunjukkan adanya laju pembangunan yang sangat masif di wilayah kecamatan satelit.
Sayangnya, peningkatan itu mengorbankan lahan-lahan produktif, seperti kebun campuran yang menyusut seluas 551,49 hektare (-3,74%), sawah (-308,58 Ha), ladang (-221,33 Ha), dan tambak (-210,82 Ha). Sementara itu, hutan juga mengalami sedikit pengurangan (-42,18 Ha). Secara keseluruhan, data ini mengonfirmasi adanya pergeseran lanskap yang jelas dari ruang agraris dan perikanan menuju kawasan terbangun.

Dinamika angka tersebut terkonfirmasi secara visual melalui rangkaian peta persebaran penggunaan lahan. Peta tahun 2024 dengan jelas memperlihatkan bagaimana area berwarna merah (lahan terbangun) meluas secara agresif, tampak memakan dan memfragmentasi area hijau (kebun campuran) dan biru (tambak ikan).
Deputi Jaringan dan Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana, mengatakan bahwa alih fungsi lahan di sekitar Kawasan Industri Kendal secara langsung berkontribusi pada peningkatan ancaman banjir. Ia menjelaskan bahwa konversi lahan resapan seperti area pertanian menjadi lahan terbangun telah menghilangkan kapasitas alami wilayah untuk menampung air.
“Awalnya lahan pertanian yang mampu menampung aliran air, karena berubah fungsinya yang membuatnya tertahan untuk aliran airnya sehingga menyebabkan banjir,” kata Erwin kepada Mongabay (14/6). “Hidrologi di pesisir itu tidak sesederhana itu, ohh kita tidak bisa asal menimbunnya.”

Baca juga: Tolak PSN Rempang Eco City, Warga Terjerat Hukum
2. Peningkatan suhu hingga penurunan muka air tanah
Mongabay juga menganalisa peningkatan suhu permukaan tanah atau Land Surface Temperature (LST) pada 2015-2024 dalam derajat Celcius. Ada peningkatan suhu signifikan di Kecamatan Brangsong dan Kaliwungu. Kenaikannya masing-masing dari 42°C menjadi 46,1°C dan dari 42,2°C menjadi 45,1°C.
Namun, tren pemanasan ini tidak terjadi di Kecamatan Kaliwungu Selatan, yang justru menunjukkan sedikit penurunan suhu dari 46,0°C menjadi 45,1°C pada periode yang sama. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa dampak termal dari alih fungsi lahan paling terkonsentrasi di kecamatan yang menjadi lokasi utama pembangunan.

Penelitian Baihaqi, H. F., dkk (2019) telah mengidentifikasi bahwa peningkatan lahan terbangun di KIK sebesar 87,49 Ha antara 2009-2019 berkorelasi langsung dengan kenaikan suhu permukaan sebesar 5°C dan penurunan kenyamanan termal sebesar 3°C.
“Perubahan tutupan lahan di KIK menyebabkan peningkatan Suhu Permukaan Lahan. Bilamana pembangunan kawasan tersebut tanpa diimbangi peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang krusial untuk kenyamanan,” ujar Prasetyo, Y., Bashit, N., & Baihaqi, H. F. (2021) dalam penelitian berjudul Analisis Korelasi Kawasan Pengembangan Kendal Industrial Park Terhadap Ruang Terbuka Hijau.

Tak hanya peningkatan suhu permukaan, penelitian juga menyebutkan Kabupaten Kendal juga menghadapi ancaman senyap penurunan muka tanah. Penelitian Fadhlurrohman, B., dkk (2020) dengan judul Studi Penurunan Muka Tanah di Kawasan Industri Kendal 2014-2019 menunjukkan laju PMT di KIK mencapai 0,88 hingga 3,1 cm/tahun, dengan laju rata-rata 1,5 cm/tahun. Sementara itu, setelah melakukan overlay, ada indikasi korelasi antara peningkatan laju PMT dengan arah pertumbuhan kawasan terbangun. Yakni, ke arah barat wilayah KIK.
Meski begitu, berdasarkan luasan KIK yang terbangun, yakni sekitar 410.033 meter persegi, 38,5% wilayah terbangun mengalami penurunan yang tinggi (2-3,1 cm/ tahun), 37,4% kondisi sedang (1-2 cm), dan 15,8% dalam kelas rendah.
Perencanaan tata ruang yang dinilai tidak cermat menjadi sorotan utama dalam pembangunan Kawasan Industri Kendal. Pandangan ini disuarakan oleh Deputi Jaringan dan Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana. “Ada perencanaan wilayah yang tidak jeli terhadap pembangunan ini, sehingga meningkatkan ancaman rob atau bencana lainnya,” tegasnya saat diwawancarai Mongabay, 14 Juni 2025.
3. Tidak berdampak pada kesejahteraan warga

Pembangunan kawasan industri selalu beriringan dengan janji kesejahteraan masyarakat. Misalnya proyek infrastruktur Pelabuhan Kendal yang menelan Rp 537 Miliar ini diharapkan memberikan sebuah lapangan pekerjaan baru. Tapi bagaimana nasibnya sekarang?
Penelitian kuantitatif oleh Sabara (2024) menggunakan pendekatan Difference in Difference (DiD), menyebutkan bahwa pembangunan KIK tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan pengangguran di Kabupaten Kendal. Penelitian tersebut membandingkan Kendal sebagai kelompok perlakuan dengan 34 kabupaten/kota lain di Jawa Tengah sebagai kelompok kontrol, serta menggunakan data dari 1990–2023.
Sejak Kawasan Industri Kendal (KIK) berkembang pada 2016, angka pengangguran masyarakat tetap tinggi, meski sempat menurun signifikan di 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Kendal tetap tinggi dalam beberapa tahun pertama: 7,56% (2020), 7,55% (2021), dan 7,34% (2022). Meskipun, pada tahun 2023 dan 2024 terjadi penurunan signifikan menjadi 5,76% di 2023 dan 5,01% di 2024.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran, sementara tingkat pendidikan memiliki pengaruh signifikan. Penelitian ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi belum tentu menyerap tenaga kerja, jika tidak diiringi dengan pengembangan sumber daya manusia.

Di sisi lain, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) justru mengalami sedikit penurunan dari 76,93% pada 2023 menjadi 76,85% di 2024. Artinya, sebagian penduduk usia kerja belum sepenuhnya terlibat aktif dalam pasar tenaga kerja, yang mencerminkan keterbatasan ketersediaan pekerjaan yang sesuai atau rendahnya kualitas tenaga kerja lokal dalam memenuhi kebutuhan industri.
Alih-alih memaksakan jenis industri yang tidak selaras dengan konteks lokal, Erwin Suryana mengingatkan visi pembangunan harusnya bertumpu pada potensi asli masyarakat. Ia mengusulkan agar fokus industri KIK selaras dengan komoditas utama Kendal, yaitu perikanan. “Kendal adalah wilayah dengan tangkapan perikanan yang tinggi, jadi harus ada pertahap untuk perkembangannya bisa dimulai dari sektor food processing,” sarannya.
Metode Analisa:
Metode yang digunakan oleh Mongabay untuk mendapatkan penggunaan lahan dan ketidaksesuaiannya terhadap RTRW Kabupaten Kendal, telah disesuaikan dengan kaidah ilmiah. Mongabay memanfaatkan citra satelit Landsat dan Sentinel-Copernicus bersumber dari Google Earth, yang kemudian ditafsirkan secara manual melalui digitasi dan diverifikasi lapangan menggunakan 30 titik sampel. Proses ini mematuhi standar Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014, menghasilkan Overall Acuracy 100% jauh melampaui batas minimum USGS sebesar 85% sehingga menjamin keabsahan hasil analisis (Dwi Yanti et al., 2020). Untuk menentukan kesesuaian penggunaan lahan terhadap RTRW, Mongabay merujuk pada matriks logika dari ketentuan Hartoko (2018) dan Suryaningrum (2019), yang disesuaikan kembali pada dokumen RTRW Kabupaten Kendal 2011-2031.
Selanjutnya untuk menguak lebih dalam dampak kenaikan suhu dari transformasi ini, mongabay memanfaatkan kekuatan komputasi awan Google Earth Engine (GEE). Dengan script khusus, Mongabay memproses citra satelit Landsat (LC08/C02/T1_L2 dan LC09/C02/T1_L2) dari tahun 2015, 2020, dan 2024. Data ini difilter ketat untuk meminimalkan tutupan awan, kemudian diolah untuk menghitung Suhu Land Surface Temperature (LST) dalam derajat Celcius. Melalui teknik quality mosaic dan statistik zonal, Mongabay berhasil memetakan rata-rata LST di setiap kecamatan terdampak untuk memberikan gambaran kuantitatif yang presisi tentang perubahan suhu di lapangan.
(*****)
*Januar Wijaya, seorang lulusan Geografi dari Universitas Negeri Semarang yang sedang magang di Mongabay Indonesia. Januar aktif dalam pemanfaatan data geospasial dan narasi untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan keadilan lingkungan.
Bangun Jalan Tol di Pesisir Utara Jateng, Mangrove Direlokasi, Mungkinkah?