-
Berladang jadi cara Masyarakat Haruyan Dayak membangun kedaulatan pangan. Tanpa sokongan teknologi mumpuni, hanya berbekal pengetahuan yang tumbuh secara tradisional.
-
Bagi mereka, tidak berladang merupakan hal yang tabu dan dapat mengundang sial (pamali). Aktivitas ini merupakan bagian dari kepercayaan. Makanya, setiap prosesnya selalu mereka buka dan tutup dengan ritual sarat makna.
-
Masyarakat di Haruyan Dayak mempraktikkan pertanian dan perkebunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mereka pakai konsep gilir balik, berpindah ke lahan baru saat produktivitas lahan lama menurun dan akan kembali lagi ke lahan lama suatu saat.
- Meski memiliki praktik menjaga hutan yang berkelanjutan, masyarakat adat Haruyan Dayak tidak lepas dari ancaman. Pasalnya, belum ada payung hukum yang bisa melindungi hak mereka.
Kaki Nurhatifa sibuk mondar-mandir dengan lincah di rumahnya sejak pagi. Matanya menyapu ruangan, mencari perkakas yang akan dia bawa ke ladang.
Tepat pukul 7.00, dia berangkat bersama orangtuanya. Menaiki sepeda motor melewati medan yang cukup terjal di kawasan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel), naik turun bukit, mereka pun sampai di ladang yang luasnya kurang lebih 2 hektar. Hamparan padi yang mulai gemuk dan menguning menyambut mereka.
“Hari ini saya membantu pekerjaan di ladang sejak pagi. Mumpung sekolah masih libur setelah Idul Fitri,” katanya, saat Mongabay temui, awal April lalu.
Meskipun demikian, tidak banyak yang mereka kerjakan hari itu. Hanya memeriksa tanaman untuk memastikan kondisi baik-baik saja, lalu menghabiskan waktu di pondok kecil yang berdiri di tengah ladang.
Perempuan itu bilang, ada adab yang mereka harus jaga. Yakni, membiarkan padi yang hampir matang tumbuh dengan alami.
“Kalau padi sudah mendekati panen, tradisi kami melarang untuk banyak menyentuhnya.”
Dia sangat paham dengan pedoman itu. Lantaran aktivitas ini sudah akrab dengannya sedari dia masih kanak-kanak.
Bagi Nurhatifa, ladang merupakan tempat peraduan. Bahkan di hari-hari sekolah, dia sebisa mungkin menyempatkan mampir di ladang sepulang belajar.
Hubungan erat ini tidak terjadi dalam waktu semalam. Berladang adalah tradisi turun temurun baginya dan masyarakat adat di Kampung Haruyan Dayak lainnya. Dari perempuan, laki-laki, orang tua, hingga anak-anak ambil bagian dari tradisi di Desa Kundan, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) itu.
Bagi mereka, tidak berladang merupakan hal yang tabu dan dapat mengundang sial (pamali). Aktivitas ini merupakan bagian dari kepercayaan. Makanya, setiap prosesnya selalu mereka buka dan tutup dengan ritual sarat makna.
Mereka yang tidak berladang tidak bisa ikut aruh (upacara perayaan), yang maknanya sama seperti berlebaran. Sebab, inti dari ritual adalah merayakan keberkahan yang datang dari tumbuhnya padi di ladang. Kegiatan ini wujud penghormatan pada Sang Pencipta, alam, serta cara mempertahankan identitas budaya.

Palen, tetua masyarakat Haruyan Dayak, menuturkan, ada beberapa ritual kecil dan aruh yang mereka lakukan dalam satu masa tanam padi. Mulai dari pemilihan lokasi lahan, batabas (membersihkan lahan dari semak), batabang (membersihkan kayu), hingga menyelukut (membakar sisa pembersihan), merupakan ritual kecil yang mereka lakukan dengan tata-caranya masing-masing.
Manugal, atau saat menanam padi, mereka lakukan gotong-royong. Ritual ini mereka gelar untuk mengharapkan keberkahan.
“Semua aktivitas memiliki perhitungannya. Kalau salah, kemungkinan terburuknya panen bisa gagal,” ujar pria 54 tahun itu.
Saat benih mulai bertunas, mereka adakan basambu umang. Untuk menolak bala, memohon agar padi tumbuh sehat hingga panen tiba.
Kemudian masyarakat akan mengadakan aruh bakalang tahun ketika padi mudah—varietas padi yang membutuhkan waktu tanam lebih singkat—siap panen. Sebagai ungkapan syukur atas berkah yang mereka terima.
Aruh Mahanyari menjadi perayaan paling besar yang mereka helat setelah memanen semua padi. Sekaligus tanda mulainya masa tanam baru.
Satu rumpun, terdiri dari delapan atau lebih kepala keluarga biasanya melaksanakan aruh ini. Ritual berlangsung antara lima hari hingga sepekan, tergantung kesepakatan bersama.
Semua orang, baik tetangga di kampung lain hingga kenalan dari luar desa, boleh hadir. Latar belakang agama tidak jadi penghalang.
Ketika ritual selesai, tamu yang datang–berapapun banyaknya–menerima sekantong beras hasil panen dari yang menggelar aruh. Mereka tidak boleh menolaknya.
“Pemberian ini seperti membayar zakat bagi kami.”

Modal kedaulatan pangan
Budaya Masyarakat Haruyan Dayak ini merupakan modal kedaulatan pangan. Pengetahuan tradisional ini membuat mereka bisa mencukupi kebutuhan individu dan komunal.
Rohani, perempuan adat Dayak, mengelola ladang keluarga seluas tiga hektar. Dalam setahun dia menanam padi satu kali.
“Panennya kurang lebih saban 4-6 bulan, tergantung jenis benih,” jelasnya.
Dari lahan, dia dapatkan sekitar 300-500 gantang gabah per panen. Estimasinya, satu gantang sekitar 4 kilogram. Itu berati, hasil panennya mencapai 1.200 kg – 2.000 kg.
Masyarakat di kampung ini tidak mengomersilkan beras yang mereka panen. Dalam situasi tertenu, saat ada yang membutuhkan, mereka lebih sering memberikan dengan cuma-cuma.
“Kami menganggap padi sebagai anugerah paling indah yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Bukan untuk diperjual-belikan.”
Kalaupun ada yang menjual, harganya sering tidak logis. Hanya Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram.
“Seikhlasnya yang mau membeli saja.”
Sementara surplus panen mereka simpan dalam lulung atau lumbung padi yang terbuat dari anyaman bambu yang terletak di dalam rumah. Menyimpan di lulung membuat padi lebih awet, dan sebagai jaminan cadangan pangan saat ada tantangan, mulai dari bencana hingga musim tanam yang terhambat.
Dalam skenario ekstrem seperti pandemi hingga perang, cadangan ini diprediksi mampu menopang kehidupan komunitas selama tiga hingga lima tahun.
Untuk kebutuhan ekonomi keluarga, warga biasanya beralih fokus ke budidaya tanaman lain. Mereka menanam komoditas bernilai ekonomi seperti pisang, jengkol, umbi-umbian, sayur, cabai rawit, tomat, dan kacang tanah. Juga, hasil hutan lain seperti madu, buah, rotan, damar, gaharu, dan hewan liar buruan.
Dani, warga Haruyan Dayak, menanam padi secara tumpang sari bersama 2.000 batang pohon pisang mahuli di atas lahan 6 hektar.
“Pisang ini dipilih karena tidak sekali berbuah langsung tebang. Tapi bisa terus berbuah hingga lima tahun,” katanya.
Pemuda 30 tahun ini bisa panen sekitar 100 tandan pisang setiap pekan. Estimasi nilai jualnya Rp20.000 per tandan. Dari hasil tersebut, dia bisa memperoleh sekitar Rp8.000.000 dalam sebulan.
Hasil jualan bisa dia pakai untuk beli lauk, gula, garam, serta keperluan rumah tangga lain. Juga, dia tabung untuk masa depan hingga mendukung pendidikan anak-anaknya.

Ramah alam
Masyarakat di Haruyan Dayak mempraktikkan pertanian dan perkebunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mereka pakai konsep gilir balik, berpindah ke lahan baru saat produktivitas lahan lama menurun dan akan kembali lagi ke lahan lama suatu saat.
Mereka tidak membuka lahan secara ugal-ugalan. Setiap kepala keluarga biasanya hanya mengelola ladang seluas 3-5 hektar.
Menurut Palen, ada beberapa istilah untuk menyebut kategori lahan dalam tradisi mereka. Seperti katuan–hutan primer–yang mereka buka jadi huma atau ladang.
Di huma, masyarakat awalnya menanam berbagai jenis padi, tidak hanya satu varietas. Dalam satu hamparan, mereka bisa tanam 4-5 bibit berbeda, termasuk beras dan ketan. Ketan sendiri mereka butuhkan untuk sesajen dan jamuan dalam ritual adat.
Varietas padi di kampung ini antara lain buyung putih, buyung kuning, siam unus, badagai putih, badagai kuning, taring pilanduk, lurus, puluran, sabai, salak, dalih, putih, kanjangah, uluran, kunyit, sapit hundang, rambutan, ketan, saluang, banyumas, si-hirang, rambutan, dan ketan kuning.
“Penanaman padi yang beragam ini memiliki manfaat. Jika satu jenis padi diserang hama, varietas lainnya bisa tetap bertahan,” katanya.
Mereka juga menanam berbagai tumbuhan untuk keperluan ritual di huma. Seperti kambang babau, halunjung, kambat balik, kayu tulak, raja babangun, daun gandarusa, dan lainnya.
Komoditas ekonomis juga ada di sini. Mereka tanam secara tumpang sari atau setelah panen padi.
Masyarakat juga memiliki kabun (kebun), lahan bekas huma yang tak lagi untuk padi. Di sini, mereka menanam komoditas bernilai ekonomis seperti kayu manis atau karet.
Saat kualitas huma atau kabun menurun, masyarakat akan menanam pohon-pohon berakar kuat, dan mereka biarkan selama beberapa tahun, sehingga nantinya menjadi jurungan—serupa hutan sekunder.
“Selain untuk mengembalikan kesuburan tanah, ini juga tanggung jawab kepada lingkungan, agar mencegah longsor di wilayah pegunungan.”
Jika tidak lagi jadi huma, pohon yang mereka tanam di jurungan akan tumbuh lebat alami, hingga kembali jadi katuan.
Di luar itu, masyarakat menyakralkan beberapa area hutan, yang membuat daerah itu tetap terjaga. Ada hutan pamali, yang menjadi kawasan kuburan dan ‘rumah’ leluhur. Serta hutan keramat, yang berisi tanaman peninggalan nenek moyang. Kedua teritori ini mereka anggap bertuah.
“Pantang untuk disentuh atau dieksploitasi,” ucap Palen.
Dari sisi ekologis, zona ini memiliki fungsi penting sebagai wilayah tangkapan air serta menjadi habitat berbagai keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemik dan dilindungi. Merusak wilayah ini, akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Analisis citra satelit Walhi Kalsel, tutupan lahan di Haruyan Dayak tidak banyak berubah dalam 12 tahun terakhir. Meskipun tekanan terhadap lingkungan di wilayah sekitarnya, yang tidak masyarakat adat huni, meningkat.
“Ini tak lepas dari prinsip hidup masyarakat setempat yang menempatkan hubungan harmonis dengan alam sebagai bagian dari tradisi. Mereka memandang hutan bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi juga sebagai bagian dari identitas. Merusak hutan berarti merusak tatanan kehidupan,” ujar Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel.

Memperjuangkan pengakuan
Meski memiliki praktik menjaga hutan yang berkelanjutan, masyarakat adat Haruyan Dayak tidak lepas dari ancaman. Pasalnya, belum ada payung hukum yang bisa melindungi hak mereka.
“Tanpa adanya peraturan yang mengakomodir hak masyarakat adat, kami merasa terabaikan,” kata Suhaidi Anang, Kepala Desa setempat.
Posisi mereka pun rentan, terutama ketika berhadapan dengan kepentingan luar yang berusaha mengeksploitasi Meratus. Yulius Tanang, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengda HST, berkata, perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan hukum sudah berlangsung menahun.
Harapan sempat memancar kala rencana pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) atas inisiatif DPRD HST sekitar lima tahun lalu.
“Namun, seiring waktu, pembahasannya terhenti,” keluh Yulius, Kamis (24/5/25). Belakangan terungkap, inisiatif tersebut Dewan serahkan ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HST.
Pertengahan 2024, AMAN telah menyerahkan kajian akademik dan draf rancangan perda kepada pemkab. Namun, tidak ada tindak lanjut. Bahkan, tahun ini, rancangan perda ini kembali tidak masuk dalam Propemperda.
Pemkab HST kerap berdalih ada ketidaksinkronan dengan DPRD. Terlebih pasca-pergantian kepala daerah dari Aulia Oktafiandi ke Samsul Rizal.
“Tapi menurut saya, ini lebih karena kurangnya keseriusan mereka saja.” Meskipun demikian, AMAN HST bertekad mengawal proses ini hingga tuntas.
Taufik Rahman, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah HST, membenarkan informasi tersebut. Dia bilang, Inisiatif wacana tersebut pindahtangan ke Pemkab HST, tepatnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD).
“Draf dari AMAN juga sudah ada sejak tahun lalu. Tetapi sampai sekarang, belum ada perkembangan dari dinas terkait,” ungkapnya.
Dia mengaku sudah mengedarkan surat resmi kepada Dinas PMD untuk segera mengajukan pembahasan di tahun 2025. Namun belum ada progres berarti.
“Saya tidak tahu apa pertimbangan dinas terkait belum mengusulkannya. Padahal, Raperda ini sejalan dengan agenda aksi Hak Asasi Manusia (HAM).”
Bagian Hukum, lanjutnya, mendorong agar rancangan pembahasan perda ini segera. Namun, pihaknya tidak punya otoritas untuk memaksa.
Mereka pun hanya bisa menyarankan AMAN agar terus berkomunikasi intens dengan Dinas PMD. “Siapa tahu, melalui komunikasi yang konsisten, pihak dinas bisa tergerak untuk mempercepat proses ini. Harapannya, usulan ini dapat dimasukkan dalam Propemperda tahun depan.”
Mongabay coba menghubungi Edy Rahmawan, Kepala Dinas PMD HST, untuk meminta penjelasan. Namun, tidak ada tanggapan dari yang bersangkutan.

*****
Rencana Penetapan Taman Nasional Meratus, Was-was Singkirkan Masyarakat Adat