- Selama ini masalah pengelolaan sampah fokus ke sampah anorganik seperti sampah plastik. Ternyata sampah organiknya seperti sisa makanan, sayuran dan buah juga jadi masalah pelik karena menjadikan TPA penuh, bau dan mengeluarkan gas
- Hasil riset PPLH Bali didukung Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Plastic Solution di rumah tangga, rumah makan, pasar tradisional, dan supermarket di Denpasar dan Solo menyebutkan material organik padat dan sisa makanan atau pakan ini masih mendominasi, namun sayangnya sampah belum dipilah
- Rekomendasinya pengelolaan sampah berbasis sumber dengan pemilahan sampah (organik, nonorganik, layak jual dan residu), pengelolaan sampah organik dan pembangunan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di tiap desa
- Beberapa teknik untuk mengurangi material organik dari sumber sampah adalah komposting jadi pupuk padat dan cair serta budidaya maggot sebagai pakan ternak.
Penanganan sampah secara komprehensif ternyata berpengaruh pada aspek lebih luas lagi yakni ketahanan pangan dan perubahan iklim. Sampah anorganik terbukti berbahaya di laut dan darat, tapi masalah besar lain adalah materi organik dari sisa makanan dan organik padat.
Material organik ini tidak disarankan disebut sampah agar konotasinya tidak buruk. Karena materi organik sangat berguna jika dikelola dan tidak tercampur dengan anorganik. Hasil riset sisa pangan di Kota Denpasar, Bali dan Surakarta, Jawa Tengah cukup mengejutkan.
Ni Made Indra Wahyuni, periset dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali memaparkan temuannya dari penelitian dua bulan pada akhir 2021 lalu. Hasilnya, timbulan material sisa makanan cukup tinggi di desa, pasar, supermarket, dan rumah makan.
Peraturan Gubernur Bali tentang pemilahan sampah dari sumber, dinilai belum maksimal karena jumlah sampah Denpasar yang dibawa ke TPA masih tinggi, sekitar 850 ton/hari. Hanya 22% dikelola baik, sisanya bocor ke lingkungan. Indonesia juga menjadi penyampah makanan nomor 2 di dunia, setiap orang membuang sisa makanan sekitar 300 kg/tahun. Sementara di Bali, komposisi sampah terbanyak adalah material organik terutama dari upacara keagamaan sekitar 70% dan anorganik 30%.
Karena itu PPLH Bali didukung Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Plastic Solution Fund meriset timbulan sisa makanan atau food waste di rumah tangga, rumah makan, pasar tradisional, dan supermarket. Pengecekan sampah dilakukan 6 kali yakni pada hari biasa, akhir pekan, dan upacara agama (rahinan).
Pemaparan hasil riset pada 12 Februari 2022 di Banjar Tegeh Sari, Denpasar ini melibatkan responden survei sebanyak 23 KK di 7 Desa (Kecamatan Denpasar Utara dan Denpasar Timur), 3 pasar induk, 3 pasar tradisional, 3 pasar modern/ritel, dan 3 café/warung makan. Survei dihelat November-Desember 2021 dengan metode pengisian kuesioner awareness perception practices (APP) rumah tangga dan volume food waste, observasi, dan wawancara.
baca : Aplikasi Bank Sampah Digital ini Jadi Basis Data lebih 15 Ribu Warga Bali
Untuk rumah tangga, jumlah responden 161 orang dalam usia 30-50 tahun, kebanyakan perempuan. Pengelolaan sampahnya dengan cara diangkut. Dari jumlah itu, sekitar 80% belum melakukan pemilahan sampah dan sampah dominan adalah material organik.
“Ketika ditanya apakah mau memilah, rata-rata bersedia tapi malas dan sibuk. Kendalanya tidak ada sistem pengelolaan, dan pengangkutan ingin tepat waktu,” papar Wahyuni.
Data timbulan sampah dari 7 desa menyatakan Desa Tonja menghasilkan organik terbanyak yakni 592 ton/6 hari. Sedangkan untuk sampah anorganik terbanyak di Desa Kesiman Kertalangu sekitar 260 kg/6 hari. Sedangkan untuk timbulan sisa makanan, paling banyak Desa Kesiman Petilan sekitar 81 kg/6 hari.
Untuk responden di supermarket atau retail sebanyak 63 responden, berumur 40-50 tahun. Untuk lokasi retail yakni tiga pasar induk (Kumbasari, Pasar Renon, Batukandik) tercatat terbanyak adalah sisa makanan atau pangan sekitar 1,234 kg per hari (62%).
Sementara untuk rumah makan, terbanyak 1.218 kg/6 hari terbanyak warung soto. “Potensial dimanfaatkan bagi pembudidaya magot,” sebut Wahyuni.
Kesimpulannya, di skala rumah tangga, material organik dominan adalah jenis organik keras sisa upacara dan daun. Sedangkan di pasar induk, supermarket, dan rumah makan, material organik terbanyak sisa makanan.
Rekomendasinya adalah mendorong pengurangan sampah sejak dini dan memaksimalkan memilah. Berikutnya, mereplikasi konsep zero waste cities di tingkat desa/kelurahan. Tindak lanjut lain adalah pelatihan pengelolaan sampah makanan misal komposting, budidaya maggot untuk pakan ternak, dan pengembangan usaha produktif pemanfaatan sisa makanan.
baca juga : Sampah Organik Dijadikan Pupuk Cair, Cara Efektif Kurangi Beban TPA
Made Dwi Arbani dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali merespon hasil riset ini dan membandingkannya dengan survei Bappenas yang menyatakan sekitar 29% sampah Kota Denpasar adalah sisa makanan, lainnya sisa upakara dan sampah kebun sekitar 33%.
“Sisa makanan sangat tinggi, ini yang menyebabkan sampah bau. Sistem pola pengangkutan saat ini, sampah menginap beberapa hari karena menunggu angkut dan transfer depo TPS,” jelasnya.
Hal ini memperburuk kondisi TPA Suwung yang harus menerima sampah 4281 ton/hari dan saat ini gunungan sampah sudah 15 meter di sisa lahan sekitar 5 hektar.
Kondisi sampah saat ini di Bali adalah timbulan sampah 1,5 juta ton/tahun, artinya rata-rata 4.281 ton/hari. Tidak terkelola 1.178 ton/hari atau 28%.
Dari jumlah sampah yang terkelola, sebesar 3.102 ton/hari, pengurangan sampah hanya 15%. Dikontribusikan dari aturan pembatasan sekali pakai hanya 8% atau 337 ton/hari dan pemanfaatan kembali 39 ton/hari (0,93%).
Sekitar 57% sampah masih dibawa ke TPA. “Tapi TPA sudah penuh. Dua minggu lalu, gunungan sampah 35 meter sudah ditutupi tanah dan tanaman agar hijau. Open dumping tersisa 5 hektar dan kini sudah setinggi 15 ha. “Beberapa minggu lagi pasti penuh. Ke mana buang sampah? Sampah Denpasar saja sekitar 800 ton/hari. Sangat sulit cari lokasi untuk TPA baru,” keluh Dwi Arbani.
baca juga : Pemprov Bali Batalkan Proyek Pengolah Sampah jadi Energi Listrik, Kenapa?
Ia mengutip rekomendasi Kementerian PUPR bahwa TPA harus ditutup karena sudah parah mencemari lingkungan dan tanah. Strategi yang dibuat adalah Pergub No.47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Selain itu desa diminta bangun tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST).
Skema pengelolaan yang diharapkan adalah sampah wajib dipilah yaitu organik, nonorganik, layak jual dan residu. Pengangkutan terjadwal, diolah di TPS, dan residu diangkut ke TPST. Jika desa tanpa fasilitas, hanya pengangkutan terjadwal lalu dibawa ke TPST.
Dwi menyarankan pengurangan sisa makanan dari rumah dengan buat daftar belanja, ambil makanan secukupnya, dan bawa pulang jika tidak habis saat makan di luar. Selain itu, periksa dan bersihkan lemari pendingin untuk menghindari mikroorganisme, makan seperlunya, dan berbagi melalui donasi pangan. Sementara material organik lain dikompos.
baca juga : Kampung Iklim jadi Model Kelola Sampah Masyarakat, Seperti Apa?
Sampah di Solo
Sedangkan Octoviani Ikasari dari Gita Pertiwi, Jawa Tengah giliran memaparkan temuan sisa makanan di Kota Surakarta yang membawa kota ini menandatangani Pakta Milan untuk komitmen pengurangan dan penanganan food waste di kota-kota dunia. Temuan menarik, pandemi Covid-19 malah meningkatkan sampah pangan. Sebelum pandemi, 0,49 kg/hari (2018) menjadi 0,73 kg/hari (2021).
Riset awal sisa makanan di hotel, restoran, dan katering di Solo dilakukan pada 2018 bersama YLKI dan Univ Slamet Riyadi. Temuannya, kelebihan masakan di hotel 13%. Sekitar 52% untuk karyawan atau sekitar hotel karena tidak boleh dibawa pulang. Kemudian 22% dibuang dan diolah jadi makanan lain, dan 3% jadi pakan ternak.
Sedangkan kelebihan makanan di restoran 9%. Sekitar 52% dibuang, 40% diolah jadi makanan lain, 8% diberikan karyawan. Berikutnya, kelebihan makanan di katering sekitar 10%.
Masalahnya, saat itu di Surakarta juga ada persoalan kekurangan gizi, seperti stunting dan remaja putri menderita anemia. Dari survei gizi anak sekolah, ditemukan berat badan normal 56%, obesitas 18%, kurus 4%, dan sangat kurus 2%.
Terakhir adalah riset plastik dalam rantai pangan 2021 bersama AZWI. Temuannya, dari responden rumah tangga sebanyak 300 KK, sampah pangan terbanyak sekitar 0,73 kg/hari/KK. Potensi sampah rumah tangga sekitar 180 ton/hari, ini sekitar 60% dari total sampah Kota Surakarta. Sedangkan dari 1,8 ton/hari sampah di pasar, terbanyak 32% adalah pangan. Terbanyak di restoran 75%.
Potesi sampah pangan kota ini dihitung sekitar 95 ton/hari. Solusi yang dilakukan di antaranya berbagi pangan langsung, membuat etalase sisa pangan, dan tebus murah. Ada juga program Bread Rescue bersama komunitas foodcycle bekerja sama dengan salah satu toko kue.
baca juga : Kala Limbah Cemari Bengawan Solo, Ecoton Somasi Gubernur Jateng dan Jatim
Pengolahan material pangan dengan pelatihan budidaya maggot BSF. “Penanganan sampah pangan ini bekerjasama dengan hotel, rumah makan, dan supermarket besar,” lanjut Fani.
Pakta Milan ditandatangani lebih dari 300 kota untuk mewujudkan cerdas pangan. Mengembangkan sisitem pangan berkelanjutan, seperti meminimalkan limbah, pengurangan limbah pangan, dan mengembangkan keselarasan kebijakan dan program sistem pangan perkotaan.
Surakarta kota kedua di Indonesia yang menandantangani Pakta Milan setelah Bandung dan Semarang. Komitmen di Kota Surakarta 2002-2026 untuk Kota Cerdas Pangan di antaranya tata kelola, pola makan dan gizi berkelanjutan, keadilan sosial dan ekonomi, produksi pangan, suplai, dan penanganan sampah pangan. Deklarasi Glasgow juga menyinggung sampah pangan ini dengan penanggulangan perubahan iklim. Misalnya implementasi sistem pangan terpadu dan pengurangan emisi gas rumah kaca dari sistem pangan perkotaan.
Teknik Mengolah Limbah Makanan
Ana Rohana Salamah, pembudidaya maggot di Denpasar mengatakan limbah makanan itu bisa menjadi berkah kalau bisa kelola. Cara budidaya ini sederhana, pertama menyediakan tempat sisa makanan misal tempe, buah, lalu diberikan ke maggot, belatung pengurai sampah yang baik. “Punya protein tinggi dan asam amino. Sangat berbeda dengan belatung sampah yang bikin pencemaran dan diare. Beberapa jam saja jadi kompos alami,” papar Ana.
Maggot diyakini tidak mengandung penyakit karena lahir dari lalat BSF yang tidak perlu makan, hanya air minum dan cahaya matahari untuk proses perkawinan. Sisa makanan dihisap bukan dimakan, lalu disemprot dengan enzim. “Makin busuk sampah organik, makin mudah maggot mengurai. Jadi perlu ditaruh di tempat lain untuk dibusukkan. Kalau tidak busuk, perlu waktu lama diproses maggot,” sebut Ana sambil menunjukkan kandang lalat BSF dan wadah maggot-nya.
baca juga : Maggot yang Mengubah Jalan Hidup Santoso
Cara olah material organik lain adalah dengan komposting menghasilkan pupuk cair dan maggot. Hal ini dipraktikkan Bayu.
Komposter bisa dibuat dari ember tumpuk, dari ember bekas kaleng cat atau satu ember besar yang diisi penyangga bagian bawah untuk area cairannya. Jika menggunakan ember tumpuk, ember bawah penampung lindi, cairan hasil pembusukan. Harus ditaruh di tempat teduh agar maggot hidup. Ember atas diisi limbah pangan busuk memancing lalat hitam, lalat ini seperti sukarelawan yang hidup hanya 4 hari. Setelah kawin, jantan mati, betina perlu 3 hari bertelur lalu jadi maggot yang siklusnya 14 hari.
Setelah ada maggot, sekitar 2 minggu, ember bisa ditutup. Lalu diisi sisa pangan. Setelah 2-3 minggu dijemur, dalam cairan lindi ini, mikroba berkembang biak, lalu warnanya gelap, maka jadi pupuk organik cair. Fungsinya mengisi unsur hara dalam tanah, ini yang membuat tanah hidup. “Ini menjawab petani yang kesulitan pupuk. Pengalaman saya, ember penuh 6-7 bulan, jadi kompos padat,” imbuh Bayu.
***
Keterangan foto utama : Ilustrasi. Limbah makanan yang sedang dipilah di Fasilitas Pemulihan Bahan Puente Hills, Los Angeles, Amerika Serikat. Los Angeles County menghasilkan sekitar 4.000 ton limbah makanan per hari. Foto : Sarah Reingewirtz/Star-News Pasadena/SCNG